Dengan lemah aku mengangguk. Kakinya masih "memainkan" testisku. Aku kesakitan, namun tidak memberontak sedikitpun. Tangan Ibu Anna memegang pergelangan kaki kananku. Dia menariknya kesamping lalu mengikatnya, lalu ujungnya diikatkan ke suatu tempat. Ibu Anna lalu melakukannya dengan kakiku yang satu lagi. Kedua kakiku terpentang lebar ke kiri dan kanan. Agak sakit juga kakiku dipentangakan demikian lebar. Aku mencoba menggerakkan kakiku, namun kakiku sama sekali tidak bergerak sedikitpun. Ibu Anna benar-benar kuat mengikat kedua kakiku.
Keadaanku benar-benar mengenaskan. Mataku tertutup oleh BH hitam yang tadi masih dikenakan Ibu Anna, bahkan wanginya masih dapat kurasakan sekarang. Mulutku disumpal oleh celana dalamnya yang habis dikenakannya, lalu diikat dengan tali. Tanganku masih terikat kebelakang, tertindih oleh tubuhku. Kemeja yang tadi kukenakan sudah basah kuyub dan masih tersangkut di pergelangan tanganku. Yang lebih parah kedua kakiku dipaksa merentang lebar oleh ikatan tali sampai pantatku sedikit terangkat dari lantai kamar mandi itu. Dan tentunya Ibu Anna bisa melihat dengan jelas seluruh tubuhku, termasuk juga alat-alat kelaminku.
Sekali renggut Ibu Anna membuka penutup mataku. Tubuhnya masih telanjang bulat seperti tadi. Keringat mengalir deras ditubuhnya. Salah satu tangannya membawa ikat pinggang kulit. Tampaknya benda itu yang dia pakai untuk mencambukiku. Penisku yang sudah lemas kembali mengeras melihat pemandangan di depanku. Ibu Anna kemudian mengeluarkan celana dalam dari mulutku, namun masih membiarkan ikatan talinya. Bahkan Ibu Anna memperkuat ikatan tali itu. Mulutku sampai dipaksa mengaga karena ikatan tali itu.
Ibu Anna mendekatiku. Wajahku terletak tepat di bawah kedua kakinya. Dengan perlahan dia menurunkan pinggulnya sampai vaginannya menempel tepat dimulutku yang terbuka. Dapat ku cium aroma keras dari vaginanya. Kedua pahanya ada di sisi kiri kanan kepalaku dan menekan kepalaku dengan keras membuat kepalaku tidak dapat bergerak sedikitpun. Ibu jari dan telunjuknya menjepit hidungku, sehingga mau tidak mau aku bernafas melalui mulut. Dan pada saat itulah aku merasakan air menyembur ke dalam mulutku. Tanpa dapat kutahan aku menelan cairan itu. Aku tahu bahwa itu adalah air kencing Ibu Anna. Aku berusaha tidak menelannya, namun tak lama kemudian aku sudah kehabisan nafas. Dengan tersedak-sedak aku menelan air kencing itu.
Aku benar-benar terhina dengan perlakuan Ibu Anna. Aku menelan air kencing itu agar aku dapat bernafas dengan mulutku, namun seakan tidak pernah berakhir Ibu Anna masih terus mengeluarkan air kencingnya. Aku terus-menerus menelan dengan cepat cairan itu. Pandangan mataku perlahan-lahan menjadi gelap. Dadaku serasa panas terbakar. Ketika aku sudah hampr pingsan baru Ibu Anna menghentikannya.
Dengan cepat dia memindahkan semprotan air seninya ke arah wajahku. Dengan cepat aku meneguk cairan yang tersisa di mulutku. Baru setelah itu aku kembali dapat bernafas dengan mulutku. Jantungku berdetak dengan cepat. Dengan susah payah kuatur nafasku yang terengah-engah. Mataku yang tersiram sedikit terasa perih maka itu ku pejamkan kedua mataku. Tak lama kemudian Ibu Anna selesasi mengeluarkan semuanya. Dia melepaskan jepitan tangannya pada hidungku. Baru pada saat itu aku dapat mencium bau pesing dari air kencing Ibu Anna. Perutku terasa kembung oleh cairan itu. Wajah dan rambutku hampir semuanya tersiram air kencing Ibu Anna. Aku masih tidak bisa membuka mataku karena perih terkena cairan itu. Kemudian aku mendengar langkah kaki Ibu Anna meninggalkan ruangan itu.
Aku ditinggalkannya sendirian dalam ruangan ini. Tanganku yang tertindih tubuhku terasa sakit dan pegal sekali. Kedua telapak kakiku terasa dingin karena tidak dialiri darah. Hal ini masih lebih baik jika dibanding Ibu Anna masih disini. Entah dengan cara apa lagi dia akan menyiksaku. Dengan cepat lelah menyerang tubuhku. Aku mencoba untuk tidur dengan keadaan demikian, namun dengan cepat aku terbangun.
Lama kelamaan aku makin merasa tersiksa dalam posisi demikian. Tubuhku sudah kering, demikian juga dengan wajahku yang tadi dikencinginya. Bau pesing tidak dapat hilang, tiap kali aku bernafas bau itu tercium juga. Namun yang paling parah adalah tangan dan kakiku yang sakit sekali. Entah berapa lama aku dalam keadaan demikian. Perasaanku aku sudah berjam-jam di dalam kamar mandi itu.
Aku mendegar seseorang masuk ke dalam kamar. Sesaat kemudian Ibu Anna masuk ke dalam kamar mandi itu. Dia mengenakan baju bali tipis berwarna putih dan celana yang sangat pendek. Puting susunya tercetak jelas di pakaiannya. Dia tersenyum melihat keadaanku.
"Turuti semua perintah Ibu, kalau tidak mau di hukum lebih parah, " katanya padaku.
Dengan susah-payah aku mencoba untuk mengangguk.
Ibu Anna berjalan ke arahku, lalu tangannya menyalakan shower dan mulai menyiram tubuhku. Tampaknya dia sedang membersihkan tubuhku dari sisa-sisa air kencingnya. Setelah kira-kira sudah bersih dia menghentikan pekerjaannya, lalu tangannya mulai membuka ikatan di mulutku. Aku merasa lega sekali ketika ikatan di mulutku sudah terbuka. Rongga mulutku kering dan rahangku terasa pegal sekali akibat mulutku terus-menerus dipaksa terbuka.
Ibu Anna kemudian membuka ikatan tali pada kedua kakiku. Kakiku terasa lemas sekali seperti tidak ada tenaga sama sekali. Untuk beberapa saat aku bahkan tidak bisa menggerakkan kakiku. Ibu Anna bekerja dengan cepat, sesudah membuka ikatan kakiku dia membalikkan tubuhku dan membuka ikatan pada tangannku. Kemejaku yang basah di lepaskannya dari tanganku.
Dengan menarik rambutku Ibu Anna membawaku keluar dari kamar mandi itu. Aku berjalan terhuyung-huyung karena kakiku masih belum sepenuhnya pulih. Setelah kami berada di ruang tidurnya barulah Ibu Anna melepaskan tangannya dari rambutku. Aku berdiri dengan goyah. Kakiku seakan tidak kuat menahan berat badanku sendiri.
"Berlutut!" bentaknya padaku.
Dengan lutut gemetar aku mencoba untuk berlutut. Dengan kasar tangan Ibu Anna menekan kepalaku sampai mengenai kakinya.
"Bersihkan kakiku!" katanya padaku.
Aku menatap matanya dengan pandangan tidak mengerti. Aku memang tidak terlalu menangkap maksud perkataannya. Aku sudah memikirkannya, lebih baik untuk sementara ini aku menuruti semua perkataanya dan juga aku menjaga agar tidak terlalu banyak bicara.
"Jilati kaki majikan kamu, anjing!" katanya padaku dengan dingin.
Aku seperti disiram air dingin mendengar perkataannya padaku. Aku menatap kaki Ibu Anna, melihat kulit kakinya yang mulus dan bersih. Tidak ada alasan buatku untuk membantah perintahnya. Baru ketika aku mau melakukannya.
"CCTTAARR!!"
Sebuah pukulan mendarat di kulit pantatku.
"Aaahh!!" teriakku kesakitan.
"Kamu memang benar-benar seperti anjing, harus dipukul baru mengerti" katanya padaku.
Dengan cepat kedua tanganku memegang kaki Ibu Anna yang disodorkannya padaku. Lidahku mulai menyapu permukaan kakinya.
"CCTTAARR!!"
Kembali sebuah pukulan mendarat di pantatku.
"Aaahh!!" teriakku.
Mataku menatap matanya seakan memprotes tindakannya. Ibu Anna bukannya tidak tahu perbuatanku.
"DIAAM!!" bentaknya sambil menampar keras pipiku.
"Kecuali saya ijinkan kamu tidak boleh berbicara apa-apa," katanya padaku.
"Mengerti?" lanjutnya.
Aku hanya mengangguk.
"Lanjutkan tugas kamu," katanya lagi.
Aku melakukannya dengan cepat, sementara itu Ibu Anna sesekali masih mencambuk pantatku dengan ikat pinggang itu. Aku tidak berani untuk berteriak, aku hanya menahan meskipun sesekali keluar juga erangan kecil dari mulutku.
"CCTTAARR!!"
"Bersihkan juga sela-sela jarinya," perintahnya padaku.
Dengan patuh aku melakukan semua perintahnya padaku. Setelah sekitar lima menit dia mengganti dengan kakinya yang satu lagi.
Setelah Ibu Anna merasa sudah cukup, dia menyuruhku untuk berhenti. Ibu Anna memberiku isyarat untuk mengikutinya. Kemudian Ibu Anna mengambil 2 utas tali yang tergeletak di lantai dan juga celana dalam yang tadi digunakannya untuk menyumpal mulutku. Perasaanku mengatakan tali itulah yang digunakannya untuk mengikat kedua kakiku tadi.
Aku berjalan di belakangnya dengan wajah menunduk. Ibu Anna membawaku keluar dari kamarnya. Mataku melihat sekeliling, tidak ada orang lain selain kami di rumahnya. Ibu Anna membawaku ke bagian belakang rumah itu. Di sana ada ruang terbuka, namun di skelilingnya dipagari tembok tinggi. Tidak mungkin ada orang yang dapat melihat kami, pikirku. Dapat kukatakan fungsi ruangan itu adalah sebagai tempat menjemur baju.
Ibu Anna membawaku ke arah tiang besi yang letaknya di tengah-tengah ruangan itu. Dasar tiang besi itu tertanam dalam lantai, tampaknya sangat kokoh. Diameter tiang itu sekitar 10 centi dengan tinggi sekitar 2 meter dan di cat berwarna hitam. Fungsinya adalah tempat untuk mengikat tali jemuran. Ibu Anna melepaskan tali yang terikat di tiang itu. Setelah semuanya terlepas, Ibu Anna menyuruhku untuk berdiri dengan punggungku menempel di tiang tersebut. Kedua tanganku di tarik kebelakang lalu kedua pergelangan tanganku diikat jadi satu oleh tali yang tadi dibawanya. Tali itu adalah tali sepatu miliknya.
Tak ketinggalan kedua kakiku juga diikat menjadi satu dengan tiang itu. Dan terakhir Ibu Anna mengambil tali jemuran yang tali dilepaskannya. Diikatnya leherku dengan tali itu menyatu dengan tiang itu. Kaki dan tanganku diikat dengan kuat, namun sebaliknya ikatan pada leherku dibuat sedikit longgar. Setelah diriku dalam posisi demikian, Ibu Anna mulai mengayunkan benda yang ada di tangannya.
"CCTTAARR!!"
"CCTTAARR!!"
"CCTTAARR!!"
Terus menerus Ibu Anna mengayunkan tangannya. Akupun tidak ketinggalan untuk menjerit-jerit, namun tanpa kusadari aku berusaha menahan jeritanku, aku takut jeritanku terlalu keras sehingga membuat orang-orang sekitar mendengarnya. Cambukannya mengenai dada, perut dan juga pahaku, bahkan ada sebuah yang nyaris mengenai alat vitalku. Dengan menahan sakit aku menerima pukulah-pukulan itu.
Sudah sekitar 20 kali Ibu Anna mencambukiku, namun tampaknya belum ada tanda-tanda dia akan menghentikannya. Mau tidak mau aku merasa heran juga dengan kekuatannya. Setelah beberapa kali lagi mencambukku Ibu Anna kemudian menghentikannya. Tangannya memunguti jepitan-jepitan baju yang berserakan di lantai. Dia mengambil 4 diantaranya, kemudian membawanya ke arahku.
Dengan perlahan tangannya mencoba menjepitkannya pada putingku. Aku tidak berkata apa-apa, namun mataku memandang perbuatannya dengan gelisah.
"Aaahh" teriakku keras ketika Ibu Anna menjepitkannya.
Bersambung . . . .