Best Gift Ever

Bookmark and Share
"Selamat ulang tahun, Professor!"

Salah satu kening Charles terangkat. Kedua mata hitamnya menatap lekat-lekat wanita berambut merah lebat yang berdiri di hadapannya. Alih-alih membalas ucapan selamatnya tadi, ia malah berujar, "Rogue, apa yang kau lakukan tengah malam begini?"

Gadis bertubuh seksi itu menghela nafas panjang. Senyum manis di wajahnya berubah menjadi senyum jengkel. Ia balas menatap tajam Charles. Sepasang mata coklat almondnya berkilat-kilat. Charles benci mengakuinya, tapi hal ini justru membuat Rogue semakin terlihat cantik.

"Well, menurutmu apa? Aku berdiri di depan pintu masuk kamarmu sambil membawa kue tart dengan lilin ulang tahun di atasnya dan juga sekotak hadiah. Oh, dan ini sudah bukan tengah malam lagi, Professor. Sekarang sudah dini hari"

"Jika benar ini memang dini hari, kurasa kau harus mengecilkan volume suaramu," balas Charles datar, berusaha keras menyembunyikan seringainya. "Aku tak ingin seisi sekolah terbangun dan ikut-ikutan memperingati hari di mana seorang Xavier dilahirkan. Kita berdua tidak ingin terganggu oleh mereka, kan?"
"Maaf," ucap Rogue setengah berbisik, kali ini sembari tersenyum tipis. "Aku hanya ingin jadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu."

"Tak perlu seperti itu. Aku yakin kau orang pertama dan satu-satunya yang mengucapkannya pada hari ini." sudut bibir Charles sedikit terangkat, nyaris membentuk senyuman, ini kebiasaannya kalau sedang senang.

"Kau tahu itu tidak benar, Charles." kening Rogue berkerut, wajah cantiknya menampilkan ekspresi tidak setuju.

Seraya membuka pintunya lebar-lebar dan mempersilahkan gadis itu masuk, Charles memilih untuk tidak berkomentar. Well, ia tahu Rogue benar, dan sepertinya wanita cantik itu memang selalu benar. Bukan hanya dia saja yang akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya hari ini. Orang pertama, ya. Satu-satunya, tidak.

Setelah Magneto berhasil dikalahkan dan seluruh masyarakat dunia mengetahui kalau selama ini Charles selalu berjuang untuk keselamatan umat manusia, keadaan pun berubah drastis. Bukan hanya medali penghargaan yang dia terima, ia juga dihujani pujian dan dielu-elukan sebagai seorang Pahlawan. Bahkan, ada sebuah klub penggemar bernama 'Xavieres' yang dibentuk khusus untuk menghormatinya.

Jujur, semua perhatian ini membuat Charles bosan. Hal yang sebenarnya sangat diinginkannya tiada lain adalah hidup tenang dan damai, tidak ada permusuhan antara mutan dan manusia. Bukannya hidup di bawah sorot lampu panggung bak seorang selebriti seperti sekarang. Namun, seperti yang pernah dikatakan Rogue kepadanya —yeah, lagi-lagi wanita itu mengatakan hal logis sesuai dengan apa yang juga dialaminya sendiri— Charles harus mulai membiasakan diri dan memakluminya. Mau tak mau, kini ia punya pencitraan baru di mata publik, dan ini berarti gunungan hadiah, karangan bunga, dan kartu ucapan selamat sedang dalam perjalanan menuju ke rumahnya.

Charles mengantarkan Rogue ke ruang tengah dan mengawasi gadis itu meletakkan kue tart dan hadiahnya di atas meja. Ia menunggu dalam diam sampai Rogue membalikkan badan untuk kemudian memeluknya hangat.

"Selamat ulang tahun, Prof!"

"Kau sudah mengucapkannya tadi," komplain Charles datar, balas memeluk Rogue dan menyambut ciuman manisnya.

Kemampuan Charles meredam kekuatan Rogue beberapa bulan yang lalu membuat status hubungan mereka berubah, dari sekedar guru-murid menjadi sepasang kekasih gelap. Rogue bukan orang yang munafik. Dia orang yang pesimistis. Dulunya, ia menganggap dirinya tak pantas untuk dicintai siapapun. Dengan kemampuannya menyerap tenaga siapapun yang menyentuh kulitnya, tak heran kalau para lelaki akan kabur berlarian ketika ia datang mendekat, bahkan seorang mutan sekalipun. 

Bahkan, jika ada orang yang berkata kalau suatu hari akan ada seorang pria yang jatuh ke pelukannya, ditambah lagi pria itu adalah tokoh yang amat terkenal, Rogue pasti akan menghajar orang itu hingga mampus. Akan tetapi, lihatlah Rogue sekarang ini…

"Tubuhmu indah sekali," ucapan Charles membuyarkan lamunannya. "Kau selalu tampak cantik. Buah dadamu juga semakin kelihatan membesar dari hari ke hari."

Rogue menatap mesra wajah kekasihnya. Ia tersenyum, " Itu karena kau selalu meremas-remasnya terus belakangan ini."

"Aku akan melakukannya terus, Rogue. Rasanya begitu nikmat, empuk dan hangat." bisik Charles.

"Bagaimana dengan buah dada Jean?" Rogue tahu, sang Professor pernah juga tidur dengan wanita itu.

"Aku tidak mau membahasnya sekarang." lidah Charles terasa kelu mengingat pengkhianatan Jane kepadanya. "Bagiku, kau bukan sekedar pengganti dirinya. setiap orang ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dan sekarang, kaulah yang terbaik bagiku."

Kedua mata Rogue yang tadinya diselimuti kecemburuan bercampur kekhawatiran kini kembali bersinar cerah. Senyum manisnya kembali mengembang. "Akankah kita menikah? aku ingin punya anak darimu. entah sehebat apa anak kita nanti."

Charles menggeleng. "Tidak sekarang, Rogue. Mengingat aku masih punya reputasi yang harus kujaga di sini, sebaiknya kita merahasiakan hubungan ini rapat-rapat."

Rogue tertawa kecil dan memberi Charles kecupan sekali lagi. "Ya, aku mengerti."

Ia mengerang lirih ketika sang Professor memperdalam ciumannya. Ia balas mengulum bibir bagian bawah kekasihnya dan menggigitnya pelan, sebelum membiarkan lidah Charles membelai lembut permukaan bibirnya dan masuk untuk berduel dengan lidahnya. laki-laki itu menggumam memprotes saat Rogue menjauhkan bibirnya darinya. Tanpa terasa mereka memang sudah bercumbu selama beberapa menit dan nyaris kehabisan nafas, tapi Charles terlihat tidak bosan berlama-lama mengulum bibir mantan anak didiknya itu.

"Saatnya meniup lilin," bisik Rogue dengan nafas memburu.

Charles menjilat bibirnya yang basah dan terasa membara akibat cumbuan panas tadi, keningnya berkerut-kerut. "Meniup lilin? Buat apa!"

"Dalam tradisi manusia, jika kau meniup lilin ulang tahun sambil mengucapkan harapanmu dalam hati, maka harapanmu akan terkabul," jelas Rogue sabar. Ia menjentikkan jarinya pelan, membuat semua lilin yang ada di atas kue tart menyala secara serentak. "Nah, sekarang tiuplah! Jangan lupa berharap dalam hati!"

Tetapi Charles malah diam mematung. "Itulah yang kutanyakan tadi. Untuk apa? Aku sudah punya semua yang kuinginkan saat ini. Reputasi, kehormatan, kedamaian antara mutan dan manusia, dan yang terpenting, aku punya kau di sisiku. Tak ada lagi yang kuinginkan, karena sepertinya semua harapanku sudah dikabulkan."

Mengabaikan semburat merah jambu yang muncul di kedua pipinya, Rogue menggumam, "Buatlah harapan apa saja, Professor, dan cepat tiup lilinnya."

Charles mengerang, tapi ia tetap memikirkan satu harapan yang sekiranya bisa segera terwujud. Di saat itulah sorot mata tajamnya tertuju pada jubah hijau tua yang sedang dikenakan Rogue. Menyeringai samar, laki-laki itu membatin, "Aku berharap bisa segera merasakan tubuh indah yang ada di balik jubah itu."

Rogue bertepuk tangan antusias setelah Charles meniup semua lilinnya hingga padam tak bersisa dalam sekali tiup. "Ada apa, Professor? Kenapa kau menatapku seperti itu?" ia memperhatikan tatapan mesum kekasihnya.

"Aku ingin membuka hadiahku sekarang," kata Charles dengan nada dalam dan berbahaya. Ada kilau misterius di mata kelamnya yang membuat jantung Rogue sontak berpacu kencang dan bulu romanya berdiri. "Oh, bukan. Bukan itu yang kumaksud." Charles menggeleng ketika Rogue menyodorkan kotak hadiah darinya. "Yang kumaksud adalah kau. Aku ingin membuka 'bungkusmu', manis."

Seketika itu Rogue menelan ludahnya dengan agak kesulitan. Kedua kakinya terasa lemas, seolah meleleh akibat sorot lapar dan suara bernada dingin-tapi-seksi milik sang Professor. Dia tahu ini akan terjadi, tapi tidak secepat ini dan tidak di tempat seperti ini. Tanpa sadar, gadis itu mundur satu-dua langkah. Charles mengikutinya perlahan-lahan, seperti seekor pemangsa yang hendak menerkam buruannya.

"Aku menginginkannya sekarang, Rogue. Dan apapun yang aku inginkan, pasti akan kudapatkan!" bisiknya.

Nafas Rogue seakan terhenti. Apakah dia harus menyerahkan tubuhnya sekarang? Tapi ucapan Charles barusan membuat organ kewanitaannya mendadak basah. Ia harus susah payah meredam gairahnya. Yah, aneh memang. Tapi mengingat kekuatan Telepati Charles  yang kuat, ditambah lagi tatapan mata tajamnya yang seolah bisa melumerkan apa saja, tak heran kalau ia mampu membuat Rogue terangsang bahkan sebelum ia menyentuhnya.

"A—aku tak tahu apakah aku siap…" gadis itu tak melanjutkan ucapannya. Tak ada gunanya berbohong. Toh sudah lama ia juga ingin melakukan kontak fisik yang 'lebih' ketika bermesraan dengan sang professor. Hanya sekedar berciuman dengannya lama-lama membuatnya frustrasi, dan kini ia penasaran. Jangan-jangan laki-laki itu membaca apa yang ada di dalam pikirannya ini.

"Professor, aku malu!" sergah Rogue ketika kedua tangan Charles terulur ke arahnya, berniat melucuti jubahnya. Gadis itu menggigit bibir bagian bawahnya. Dia tahu kalau penolakannya ini terkesan payah, karena sebenarnya ia malu tapi mau. Wajahnya pasti sudah merah padam saat mendengar Charles tertawa lirih.

"Apa yang membuatmu malu, Rogue?"

Sembari menahan nafasnya -sekaligus berusaha meredam hasratnya- Rogue menjawab, "Well… Aku takut kau kecewa. Aku tidak secantik Jean. Aku tidak ingin membuatmu kecewa setelah melihat tubuhku secara langsung." Setelah mengatakan itu, gadis itu menunduk dalam-dalam, takut mengetahui bagaimana reaksi Charles.

"Rogue, lihat mataku," pinta sang Professor lirih, mengangkat lembut dagu mungil kekasihnya. "Apa kau sudah pernah bercermin akhir-akhir ini?"

Hermione membalas sindiran Charles dengan tertawa kecil. "Professor…"

"Rogue!" potong Charles, ekspresinya berubah serius. "Bagiku kau sempurna. Kau cantik, seksi, dan tak ada yang salah dengan tubuhmu. Hanya idiot berselera rendah yang menganggap sebaliknya, dan aku bukan idiot." laki-laki itu berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang. "Justru akulah yang tidak pantas untukmu. Aku ini jelek, botak dan sudah tua. Tubuhku sendiri pun jauh dari sempurna. Terlalu tinggi dan kurus, seperti tiang gawang."

"Jangan berkata begitu. Kau jenius, pemberani, pemikir yang hebat, dan mahir mengendalikan pikiran. Tak banyak mutan yang punya kekuatan besar sepertimu. Ada puluhan, bahkan ratusan kelebihanmu yang tidak dipunyai pria lain. Aku mencintaimu apa adanya, professor. Termasuk semua kekuranganmu." Rogue membungkam protes Charles dengan mengecup bibirnya mesra. "Kau belum tua. Kau juga tidak jelek, dan kuyakinkan kau, tiang gawang jelas tak ada apa-apanya dibanding dirimu."

"Kasus ini selesai, kalau begitu." Charles menyuguhkan senyuman langkanya. "Sekarang aku sudah bisa membuka 'bungkusmu', kan?"

Rogue terkesiap ketika menyadari apa yang terjadi pada jubahnya —atau lebih tepatnya, apa yang terjadi pada penutup auratnya. Jubahnya lenyap, digantikan dua utas pita panjang dan tebal yang melintang secara tegak lurus, hanya menutup bagian dada dan kewanitaannya saja. Dan di tengah-tengah tubuhnya, persisnya di bagian perutnya, kedua ujung pita tersebut membentuk sebuah simpul.

"Hadiahku," kata Charles, menyeringai tipis. "Kau hadiah terbaik yang pernah kudapat, Rogue…" Tanpa menghiraukan pekik kaget gadis itu, Charles bergegas mendorong tubuh kekasihnya itu ke tempat tidurnya. "…dan aku ingin segera 'membukamu' di atas ranjangku."

Charles membaringkan tubuh Rogue dengan hati-hati di atas ranjangnya. Kedua matanya tak henti-hentinya memancarkan sorot apresiasi akan keindahan yang tersaji di hadapannya. Siapapun bajingan yang tega meninggalkan tubuh seindah ini, jelas-jelas dia seorang otak udang, pikirnya geram.

"Apa yang kau lakukan, Professor?" tanya Rogue lirih. Kedua pipinya bersemu merah, tampak tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.

"Memandangi singa betina yang menunggu untuk kujinakkan malam ini," balas Charles, menyeringai tipis. Namun ketika ia hendak menarik lepas penutup aurat di tubuh Hermione, tiba-tiba saja kekasihnya itu menampik tangannya. "Ada apa, manis?"

"Well, tak adil rasanya… Aku di sini nyaris telanjang bulat, sedangkan kau masih berpakaian lengkap." Rogue mengigit jari telunjuknya, tersenyum nakal. Dia tak tahu kalau pemandangan eksotis yang ia suguhkan ini semakin membuat gairah Charles melunjak.

"Kau mendapat kehormatan untuk melucutiku, kalau begitu," balas laki-laki itu enteng, salah satu alisnya terangkat dengan elegan. "Dengan tangan atau kekuatanmu, terserah kau saja."

"Terima kasih. Tapi aku lebih suka melakukannya dengan kekuatanku." Rogue melambaikan salah satu tangannya. Seketika itu pula semua pakaian yang melekat di tubuh Charles robek dan terbang kemana-mana.

Seringai di wajah laki-laki itu melebar. Ia puas mendapati reaksi Rogue begitu melihat tubuhnya yang kini polos tanpa busana. Gadis itu mencermatinya lekat-lekat dari atas ke bawah dengan binar di matanya, dan ini membuat kepercayaan diri Charles bertambah tebal. Sejujurnya ia memang tak perlu merasa malu dengan tubuhnya sendiri. Dia punya dada yang bidang, perut yang rata, postur tegap yang didukung dengan sedikit otot di bagian lengan dan bahu, serta pantat yang kencang. Sebagai seorang pria berusia kepala enam, tubuhnya masih sangat bugar. Dengan pengecualian kondisi kakinya tentu saja.

"Oh, Professor…" Kedua mata Rogue terbelalak saat melihat ukuran kejantanan kekasihnya. Rasa gugupnya pun bertambah, dan kini malah bercampur cemas. "Aku tak tahu… Aku tak pernah melihat yang sebesar itu…"

Kedua tangan Charles membelai kejantanannya, sebelum kemudian memijatnya dan menggoyang-goyangkannya sedikit, seolah berusaha meyakinkan Hermione kalau tak ada yang perlu ditakuti dari organ kebanggaannya tersebut. "Kuyakinkan kau, manisku, besar dan panjangnya pas. Didesain istimewa untuk memberimu kepuasan luar biasa."

Rogue menahan nafasnya. Kata-kata sang Professor bereaksi seperti mantra baginya, sontak membuat perut bagian bawahnya menghangat dan bergejolak. "Mudah-mudahan saja tidak sakit." ujarnya lirih sambil membelai lubang kewanitaannya. 

Charles tersenyum. "Percayalah padaku. Biarkan aku menjadi orang pertama yang mampu memberimu kepuasan yang sebenarnya. Ijinkan aku membuatmu merasa utuh dan lengkap."

Rogue menggigit bagian bawah bibirnya, mengangguk pelan. Dia percaya Charles tidak akan pernah menyakitinya. "Kalau begitu lakukan, Professor. Buatlah aku puas, utuh, dan lengkap!"

Permintaan Rogue ini membuat Charles tersenyum makin lebar. Ia bertekad akan membuktikan diri pada gadis itu sebagai pria yang benar-benar jantan dan tangguh di atas ranjang. Ia ingin membuat Rogue terbang melayang, lupa pada segalanya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika dia mampu memberikan pengalaman baru yang luar biasa kepadanya.

Sambil menciumi wajah Rogue perlahan-lahan, tangan Charles meraih simpul pita yang menutup aurat kekasihnya, dan kemudian menariknya lepas. Rogue mengerang lirih begitu merasakan kulitnya bersentuhan langsung dengan kulit sang Professor. Hangat, aman, dan nyaman. Itulah yang ia rasakan.

Kedua tangan Rogue terulur dan melingkari pinggang Charles, menarik tubuh pria itu agar bisa semakin merapat dengan tubuhnya. Ia ingin merasakan betul-betul setiap inchi tubuh pria yang dikasihinya tersebut, bagaimana kehangatan dan kepadatannya ketika beradu dengan tubuhnya sendiri. Dalam hatinya ia memuji betapa kokoh dan solidnya otot yang terbentuk di punggung dan buah pantat Charles ketika ia membelai tubuh bagian belakang kekasihnya itu.

"Buah dadamu. Ini bagian yang paling aku suka dari tubuhmu!" Charles menangkap kedua payudara Rogue dan meremas-remasnya dengan mesra, seperti takut akan menyakiti gadis itu.

Mendengarnya, kedua mata Rogue berbinar. Rasa malu dan mindernya lenyap tak bersisa, berganti dengan rasa rindu dan gairah yang meletup-letup. "Sudah, jangan bicara lagi. Aku sudah tidak sabar merasakan kehangatan kamar tidur kita."

"Aneh," gumam Charles, salah satu alisnya terangkat dan bibirnya membentuk seulas senyum. "Terakhir kali kutahu, kamar ini adalah kamar tidurku, bukan kamar tidur kita."

"Akan jadi kamar tidur kita kalau kau mengijinkanku menemanimu tidur di sini sampai pagi!" Rogue menyahut ragu-ragu. Ia tak ingin Charles menolaknya dan mendepaknya keluar setelah selesai melakukan aktivitas intim bersamanya —hal yang rasanya mustahil terjadi.

"Apa yang membuatmu berpikir aku ingin kau berada di sini sampai pagi?" tanya Charles menggoda.  Melihat wajah Rogue memucat, ia menyeringai. "Yang sebenarnya adalah aku ingin kau tetap berada di sini sampai dua puluh empat jam ke depan. Bagaimanapun, kau adalah hadiahku dan aku ingin menyimpanmu selama seharian ini."

Rogue menghela nafas lega untuk sesaat sebelum menyadari maksud ucapan Severus tadi. Dua puluh empat jam tidak terdengar buruk. Asalkan mereka tidak terus-menerus 'berduel' di atas ranjang.

"Tubuhmu seksi sekali. Terutama dada dan pantatmu." Charles tersenyum nakal saat tangannya meraih kedua bagian tubuh Rogue itu secara bergantian, membuat sang gadis menggelinjang dan mendesah lirih.

"Ukurannya sangat pas dalam genggamanku." Charles meneruskan serangannya, meluaskan jelajahnya ke bagian-bagian tersensitif Rogue. Kedua tangannya turun, melintasi lekuk tubuh bagian samping gadis itu, sebelum semakin turun dan turun, dan akhirnya sampai ke organ kewanitaannya. Di saat yang bersamaan, lidah Charles menyapu leher jenjang kekasihnya. Mengecup, menggigit pelan, mengulum, dan menandai leher jenjang itu sebagai wilayah kekuasaannya.

Untuk sekian kalinya Rogue menggelinjang sembari meneriakkan nama sang Professor. Dia belum pernah merasa begitu bergairah seperti sekarang ini. Dari teknik yang ditunjukkan Charles kepadanya, sepertinya pria itu tahu betul apa yang sedang dilakukannya. Dia tahu bagian mana saja yang harus disentuhnya, dijilatnya, diciumnya, dan dikulumnya. Bagian mana yang dapat memberikan kenikmatan luar biasa bagi seorang wanita. Sebagaimana tekadnya tadi, ia ingin menunjukkan kepada Rogue bahwa ia mampu memuaskannya.

Charles menggunakan kedua lututnya sebagai tumpuan agar tubuhnya tidak ambruk menimpa tubuh Rogue, sekaligus memerangkap tubuh gadis itu supaya tidak terlepas dari jajahannya. Rogue begitu responsif dan berisik. Ia menggelinjang, mengerang, merintih, memekik, dan sesekali mencakari punggung Charles jika rangsangan pria itu dirasanya terlalu dahsyat. Hampir saja Charles kehilangan keseimbangan ketika kedua kaki Rogue melingkari pinggangnya dan berusaha menghujamkannya ke tubuhnya.

"Belum saatnya, Rogue. Belum saatnya," gumam Charles, nafasnya memburu. Ia harus memastikan foreplay yang dilakukannya ini sudah cukup untuk membuat vagina Rogue mampu menerima penisnya. Dia tak ingin membuat kekasihnya itu kesakitan.
"Professor… Oh, Professor…" Rogue terus memanggil.

"Aku di sini, sayang. Aku ada di sini bersamamu." Charles menyambut bibir tipis gadis itu dan melumatnya dengan rakus.

"Berhenti menyiksaku, kumohon…" pinta Rogue. Wajah cantiknya merah padam dan dibanjiri peluh. "Aku menginginkannya sekarang. Sekarang!" desaknya.
"Tidak. Jangan dulu." Charles terus mengulur waktu.

"Aku menginginkannya sekarang, berengsek!" caci Rogue, setengah meracau. Kenikmatan yang direguknya nyaris tak tertahankan. Ia tak mampu berlama-lama menunggu. Ia butuh penetrasi sesegera mungkin atau ia akan meledak dalam hitungan detik.

Charles membalas umpatan kekasihnya dengan seringai. "Untuk urusan beginian, aku rela menjadi berengsek."

"Professor…!" rengek Rogue makin kencang. Kedua matanya terpejam rapat dan bibirnya membentuk membuka huruf O.

"Baiklah! Seperti yang kau minta, Rogue!"akhirnya laki-laki itu mengalah, dan memposisikan penisnya tepat di bibir kemaluan Rogue yang sudah basah dan terbuka lebar. Dia mencumbui bibir kekasihnya sambil disaat yang bersamaan melesakkan senjatanya perlahan-lahan. Kedua tangannya merengkuh tubuh montok Rogue, mendekapnya erat-erat seolah takut gadis itu akan kabur dari atas ranjang.

Keduanya sama-sama mengerang nikmat saat merasakan tubuh mereka yang sekarang telah dipersatukan, saling melengkapi, saling mengisi, dan terpatri tak terpisahkan. Charles menghentikan penetrasinya, menanti reaksi Rogue selanjutnya. Apakah wanita itu akan mengeluh kesakitan, atau justru sebaliknya. Reaksi yang didapatnya membuat laki-laki itu terkejut. Alih-alih sok santun seperti biasanya, Rogue justru berteriak-teriak kencang dan menggerakkan pinggulnya maju-mundur dengan cepat.

"Merasa keenakan, eh?" goda Charles, tersenyum penuh kemenangan. Keterkejutannya bertambah saat tiba-tiba kedua tangan Rogue meremas pantatnya dan menghujamkan tubuh bagian bawah pria itu, berusaha memadukan irama gerak tubuh mereka menjadi sebuah kesatuan.

"Jangan diam saja, Professor! Bergeraklah! Aku membutuhkanmu!" geram Rogue.

Charles menggeleng, namun tak bisa menyembunyikan seringai puasnya. "Kadang aku penasaran sampai kapan kau akan terus sok imut, Rouge." Meski demikian, ia menuruti permintaan kekasihnya itu. Charles mulai bergerak, menciptakan ritmenya tersendiri. Perlahan-lahan pada awalnya, sebelum kemudian semakin cepat dan cepat.

Erangan mereka berdua terdengar bersahut-sahutan sesaat setelah Charles mempercepat tempo permainan mereka. Sementara Rouge mengangkat pinggulnya sedikit demi sedikit untuk memberi keleluasaan akses bagi Charles menggoyang tubuhnya.Bibir mereka kembali bertemu dan berduel, sembari kedua tangan mereka meraba-raba, merasakan tiap inchi keindahan tubuh satu sama lain. Saling mempelajari, saling mengklaim, dan saling menjelajahi apapun yang dapat mereka raih.

"Oh Tuhan… Professor…!" desis Rouge, menancapkan kuku jemarinya ke punggung kokoh kekasihnya.

Charles membenamkan penisnya dalam-dalam, sebelum menariknya menjauh, dan membenamkannya lagi. Lagi dan lagi. Entah berapa lama ia melakukannya secara terus-menerus, sampai akhirnya dia benar-benar lepas kendali.

Di saat yang bersamaan, Rouge meneriakkan nama sang Professor keras-keras begitu tubuhnya mencapai puncak kenikmatan. Bisa jadi teriakannya ini akan terdengar hingga ke seluruh penjuru sekolah dan membangunkan seisi penghuninya. Namun ia tak peduli. Yang ia pedulikan sekarang adalah pria tua tapi luar biasa yang baru saja membawanya melambung tinggi mencapai surga.

"Kau milikku, Rouge," gumam Charles, masih memacu tubuhnya demi mengejar pelepasannya sendiri. "Katakan!"

Rouge mengerang lirih saat Charles melesakkan senjatanya sedikit lebih dari yang sudah-sudah. Pria itu mengubah tempo permainan mereka menjadi lebih cepat dan keras, membuat Rouge kehilangan kemampuannya untuk bicara. Kenikmatan yang tadinya sudah lewat, kini kembali terbangun dan mulai mencoba menenggelamkannya lagi.

"Katakan, Rouge! Katakan kalau kau milikku!"

"A—aku…" suara yang keluar dari bibir indah Rouge hanya berupa bisikan parau. "Aku milikmu, Professor…!"

Sembari menjebol pertahanan terakhir gadis itu, Charles menarik nafas dalam-dalam. Peluhnya bercucuran, membuat tubuhnya mengkilap, dan wajahnya merah padam menandakan betapa besar gejolak yang menguasainya. Gejolak yang kemudian membuatnya meledak dan nyaris ambruk menimpa tubuh Rouge. Orgasme yang ditunggunya sedari tadi akhirnya datang juga.

Rouge kembali menggelinjang hebat dan meneriakkan nama kekasihnya sebelum terkulai lemas. Untuk kedua kalinya, Charles berhasil menghantarkannya sampai ke puncak dalam satu babak permainan panas mereka.

Baik Charles maupun Rouge sama-sama terengah-engah saat ini. Tubuh keduanya terasa bagai terbakar, sekaligus terasa ringan dan lega. Sebelum Charles sempat bergerak lagi, Rouge mendekap tubuh pria itu erat-erat, memaksa Charles untuk berguling agar bisa berbaring di samping kekasihnya itu.

"Kau luar biasa, Rouge. Seperti yang kubilang tadi, kau hadiah terbaik yang pernah kudapat," ucapnya sembari memberi Rouge kecupan lembut di kening dan membelai rambut keriting lebatnya yang kini lembab karena keringat. "Dan terima kasih banyak. Untuk pertama kalinya, aku bisa bersenang-senang di hari ulang tahunku."

"Sama-sama, Prof. Sama-sama." Rouge tersenyum lemah, masih berusaha mengatur nafasnya. "Kukira aku juga menginginkan hadiah yang sama untuk bulan September nanti."

END