Pada suatu ketika, hiduplah seorang Kakek yang bernama Gepeto. Dia hidup sendirian. Gepeto memiliki sebuah toko kecil untuk mencari penghasilan. Dalam kesendiriannya, kakek tua itu membuat berbagai macam boneka dari kayu untuk dijual di tokonya.
Suatu hari, Gepeto selesai membuat sebuah boneka yang berbentuk seorang anak. Boneka itu menggunakan baju kemeja berwarna hijau dengan dasi berwarna pink serta celana panjang berwarna hitam. Sepatunya berwarna coklat tua, dan tentu dengan rambut yang tersisir rapi dengan mata berwarna biru langit.
Kebetulan, sang kakek tidak memiliki anak. Maka, Gepeto berbisik ke boneka yang baru saja dibuatnya, “Alangkah senangnya kalau boneka manis ini bisa bergerak.”
Saat itulah, terjadi suatu keajaiban.
“Selamat siang, Papa.” boneka itu mulai berbicara dan berjalan pelan. Meski masih bertubuh kayu, tapi boneka itu benar-benar bisa bergerak!
Dengan amat gembira, Gepeto berkata, “Mulai hari ini, engkau adalah anakku. Kau kuberi nama Pinokio. Agar kau menjadi anak pintar, mulai besok kau pergi sekolah, ya!”
Pinokio mengangguk.
Keesokan paginya, Kakek Gepeto menjual pakaiannya dan dengan uang itu ia membelikan Pinokio sebuah buku ABC. “Belajarlah baik-baik dengan buku ini!” pesannya.
“Terima kasih, Papa. Aku akan pergi ke sekolah, dan akan belajar dengan giat.” pamit Pinokio penuh semangat.
“Hati-hati ya!” Gepeto melambai melepas kepergian Pinokio.
Boneka kayu itu pun berangkat ke sekolah. Tetapi di belokan, dari arah yang berlawanan dengan sekolahnya, terdengar suara: ”Drum.. dumdumdumdum.. dumdumdum...”
Seketika Pinokio mendekat. Ternyata itu adalah tenda sandiwara boneka. Pinokio lalu menjual buku ABC-nya, membeli karcis dengan uang itu dan masuk ke dalam. Di dalam tenda sandiwara, drama sedang berlangsung, ada sebuah boneka anak perempuan yang tengah dikepung oleh prajurit berpedang.
“Lihat! Jahat sekali prajurit itu.” Pinokio naik ke panggung dan menerjang boneka prajurit. Tali boneka itu putus dan jatuhlah boneka itu. Pemilik sandiwara yang marah segera menangkap Pinokio dan akan melemparnya ke dalam api.
“Maafkan aku. Kalau aku dibakar, kasihan Papa yang sudah tua,” kata Pinokio menghiba. “Aku tadi berjanji pada Papa untuk belajar di sekolah dengan rajin.”
Karena kasihan, pemilik sandiwara akhirnya melepaskan Pinokio dan memberinya beberapa keping uang. “Gunakan uang ini untuk membeli buku-buku pelajaranmu,” kata pemilik sandiwara tersebut.
Kemudian Pinokio pergi untuk membeli buku. Tetapi di tengah jalan, dia berjumpa dengan Rubah dan Kucing. Mereka menyapa Pinokio dengan ramah. “Selamat siang, Pinokio yang baik. Kalau uang emas itu bertambah banyak, pasti Papamu lebih senang, ya!”
Pinokio tertarik dengan tawaran mereka. ”Bagaimana cara menambah uang emas ini?” tanyanya.
“Gampang. Kau bisa menanamnya di bawah Pohon Ajaib. Lalu tidurlah, maka pada saat kau bangun nanti, pohon itu akan berbuah banyak sekali uang emas.” jawab Rubah.
Dengan diantar oleh Rubah dan Kucing, Pinokio menanam uang emasnya di bawah Pohon Ajaib yang sebenarnya cuma pohon Elder biasa. Ketika Pinokio mulai tidur siang. Rubah dan Kucing menggali uang emas itu dan mencurinya.
***
“Tolong! Uangku dicuri!” teriak Pinokio saat terbangun dan mendapati uangnya sudah raib.
Seorang Dewi yang tengah memanen embun di dalam hutan, iba melihat keadaan Pinokio dan segera menghampirinya. “Ada apa, Adik Kecil?” tanyanya.
“Siapa kau?” Pinokio terperangah, kaget dengan kedatangan si Peri Biru yang tiba-tiba.
Perempuan itu, berwajah tirus dengan sepasang bola mata yang indah, dengan rambut dibiarkan tergerai pada bahunya, memandangi Pinokio penuh hasrat. ”Kau boneka kayu?” dia meneliti tubuh Pinokio yang penuh engsel dan pasak kayu. ”Siapa yang membuatmu?”
”P-papaku, Papa G-Gepeto.” Pinokio tergagap, dia kesulitan menelan ludah melihat kecantikan sang Peri.
"Namaku Peri Biru.” Perempuan itu memperkenalkan dirinya. ”Kebetulan aku tadi mendengar teriakanmu.”
”Kau bisa menolongku?” Pinokio bertanya penuh harap.
”Apa masalahmu?”
”Uangku dicuri.” dan Pinokio pun menceritakan kisahnya.
”Itu gara-gara kamu nakal, tidak mau menuruti perintah Papamu.” sahut peri Biru sabar.
”Maafkan aku.” Pinokio menunduk.
”Aku akan membantumu, tapi dengan syarat: kau harus berubah menjadi anak yang baik dengan selalu menuruti perintah Papamu. Bagaimana, kau mau?”
Pinokio mengangguk. ”Ya, aku berjanji.”
Peri Biru segera melambaikan tongkat sihirnya. ”Karena kau sudah mau berubah, aku akan memberimu hadiah.” Sim Salabim! Dia menjentikkan tongkatnya dan merubah Pinokio jadi manusia.
”Hah, aku jadi manusia!” Pinokio berteriak kegirangan. Dia segera mencopoti bajunya untuk melihat seluruh tubuhnya yang sekarang terdiri atas tulang dan daging. ”Benar-benar jadi manusia!” teriaknya sekali lagi sambil menari-nari gembira mengelilingi Peri Biru.
Peri Cantik itu cuma tertawa saja melihat ulah Pinokio. ”Hei, kenapa kau tidak pergi ke sekolah?” tanyanya.
”Hmm.. di jalan, aku menjual bukuku untuk menolong anak miskin yang kelaparan dan membelikannya roti. Karena itu aku tidak bisa pergi ke sekolah.” jawab Pinokio.
Tiba-tiba saja “Syuuuut!” penis Pinokio mulai membesar dan memanjang.
“Pinokio! Kalau kau berbohong, penismu akan membesar dan memanjang sampai ke langit.” ingat Peri Biru sambil melirik malu-malu penis besar milik si Bocah.
“Maafkan aku. Aku tak akan berbohong lagi.” Pinokio meminta maaf.
Peri Biru tersenyum. ”Tapi mungkin ada untungnya juga kalau kau berbohong.”
”Hah,maksud Peri?” Pinokio bertanya tidak mengerti.
Bukannya menjawab, Peri cantik itu malah mengecup mesra bibir Pinokio. ”Diamlah, dan biarkan aku mengajarimu.” dia melepaskan pakaiannya satu per satu hingga tubuhnya juga telanjang seperti Pinokio.
Melongo, Pinokio memandangi tubuh mulus sang Peri yang berkilau keemasan. Tak berkedip dia menatap payudara sang Peri yang tampak begitu bulat dan kencang.
Peri Biru tersenyum sambil menjentik pipi Pinokio. "Mengapa kau pandangi aku seperti itu? Tidak pernah lihat perempuan telanjang ya?”
Pinokio mengangguk. Kali ini pandangannya lekat menatap paha mulus milik sang Peri yang tampak licin tak berbulu.
”Apa ada yang aneh pada diriku?" Peri Biru memutar tubuh telanjangnya, sengaja memamerkan bulatan pantatnya yang besar pada si Bocah Boneka.
"Ah, tidak. Aku . . . eh, cuma. . . ” Pinokio tidak mampu menguasai diri lagi. Ditubruknya tubuh sang Peri dan diciumnya bibir mungil milik perempuan itu.
”Hahaha, tidak sabaran kamu rupanya.” Peri Biru memeluk Pinokio dan membalas ciumannya. Dia menjulurkan lidahnya untuk menghisap dan memilin bibir bocah kecil itu.
Mendapat sambutan yang begitu hangat, darah muda Pinokio semakin membuncah. Panas! Menuntut pelepasan! Apalagi ditambah dengan sepasang payudara ranum milik sang Peri yang terasa begitu menekan di dadanya.
"Hmmphh!” ciuman bocah itu turun ke leher Peri Biru yang jenjang, menyucup disana dengan lembut hingga membuat sang empunya menggeliat-geliat kegelian.
"Pinokio...!" wanita itu menyebut nama si Bocah ditengah-tengah rintihannya.
"Ada apa, Peri?!" Pinokio terus menurunkan ciumannya.
"Ter-ternyata, t-tanpa diajari, k-kamu cukup pintar juga.” wanita itu terengah-engah saat merasakan hidung mancung Pinokio mulai menyapu-nyapu ujung buah dadanya yang montok. ”Kamu suka dengan tubuhku?” dia bertanya.
"Saya suka tubuh Peri!" sahut Pinokio di sela-sela dengusannya.
Peri Biru tertawa kecil. “Itu namanya kamu teransang!” sahutnya sambil membusungkan dada, mempermudah Pinokio dalam melakukan aktifitasnya.
Pinokio menjilati bukit kembar itu dengan rakus dan menciumi putingnya yang mungil kemerahan bergantian. "Empuk banget.” bisiknya dengan mulut penuh.
Peri Biru tidak menjawab. Dia membiarkan saja Pinokio meraba-raba sepasang buah dadanya yang montok ranum. Terasa putingnya bergetar-getar setiap kali bocah itu menghisapnya. Pinokio melakukannya dengan lembut, seperti takut melukai benda mungil itu.
”Uahhh!” wanita itu merengek manja. Menggeliat sambil merintih. Matanya meredup. Dia mulai terangsang. Di dadanya, mulut Pinokio masih terus bergerak, mencucup dan menghisap berpindah-pindah. Puas sebelah kanan, berganti dengan sebelah kiri. Bervariasi dengan remasan-remasan tangan mungilnya yang romantis, mendatangkan rasa geli-geli nikmat yang amat sangat bagi sang Peri.
"Oukh, Pino! Hmmnrhhh . . . hisap terussssh, akh!" lirih Peri Biru sambil membusungkan dadanya yang bulat sempurna. Dia begitu menikmati sentuhan Pinokio yang sebentar keras dan sebentar lembut. Bocah itu memang benar-benar pintar membuat gairahnya mengalir deras.
”Bener nih kamu tidak pernah main sebelumnya?” tanya Peri Biru di sela-sela napasnya yang terengah.
”Dulu, aku kan cuma boneka kayu.” ujar Pinokio sambil membuka mulutnya dan memasukkan kembali puting buah dada yang merah kecoklatan milik sang Peri.
”Auww! K-kamu pinter... banget!” wanita itu menjerit lirih. Dan perempuan itu menggelinjang-gelinjang nikmat saat puting mungilnya yang keras dikulum rakus oleh si Bocah Boneka. Untuk kesekian kalinya, dia harus mengakui, bahwa kuluman bibir Pinokio lebih enak daripada kuluman bibir lelaki-lelaki dewasa yang pernah bercinta dengan dirinya.
"Hsssh, arghhhh! Terus, Pino! Terus, sayang...!! Hmmmhhh...!" dua telapak tangan Peri Biru sampai meremasi rambut Pinokio karena saking gemasnya.
Pinokio sendiri kini sudah sangat terangsang. Penisnya mengacung penuh merasakan puting buah dada yang sungguh nikmat itu. Dia terus mengulum, lalu melepas. Mengulum lagi. Melepas lagi. Bergantian kiri dan kanan. Berulang-ulang dengan tak ada bosannya. Membuat puting itu semakin tegang saja.
”Oukhhh, Pino! Teruskan, sayang...!! Ssshhhhhh... enak sekali! Oughhhhh!" Peri Biru merintih, mulutnya mendecap-decap seperti orang kepedasan. Buah dadanya terasa semakin keras, pertanda perempuan itu kini kian terangsang.
Pinokio menggigit pentil susu yang kenyal itu. Dihisapnya. Lalu dijilatinya dengan penuh nafsu. Sebentar kemudian, dia mengecupi buah dada ranum itu bertubi-tubi. Lalu kembali ke puting susunya .yang siap menanti. Dihisapnya lagi. Terus digigit-gigit kecil. Dikulum-kulum. Lalu dilepaskannya lagi. Membuat tubuh Peri Biru menggelinjang tak karuan.
”Geli, Pino!” wanita itu mendesis manakala lidah si Bocah Boneka terus menyerang tempat-tempat sensitif di tubuhnya.
Pinokio menjilati perutnya yang licin dan langsing. Terutama pusarnya. Sambil terus mencium, tangan Bocah itu juga membelai-belai kedua paha Peri Biru yang masih terkatup. Tubuh wanita itu gemetar, seperti panas dingin. Menengok ke bawah, pandangannya beradu dengan penis Pinokio yang mengacung tegak. Peri cantik itu menelan ludah. Benda itu terlihat begitu menggoda. Tanpa sadar, tangan wanita itu terulur. Digenggamnya batang kemaluan itu.
Pinokio yang sedang asyik menciumi paha Peri Biru, tersentak tertahan. ”Oukhhhh...!" dia menggelinjang. Rasanya begitu nikmat digenggam seperti itu.
”Berbaringlah. Sekarang giliranku!” Peri Biru mendorong tubuh Pinokio hingga telentang di atas tanah. ”Aku gemes melihat punyamu!” ujarnya sambil menyergap selangkangan Bocah itu.
”Auwww . . . !" Pinokio menjerit kaget.
Namun wanita itu tidak menghiraukan. Dengan mesranya, dia membelai-belai batang kemaluan itu yang bukan main luar biasa besarnya. Benda itu juga panjang, dengan ujungnya membengkak berkilat membentuk topi baja.
”Ouhh, enak!” rintih Pinokio merasakan gelitikan pada kantung zakarnya.
”Besar banget, Pino. Aku jadi negeri!" bisik Peri Biru sambil mulai menciumi benda hitam itu.
”Ngeri kenapa?" Pinokio bertanya tidak mengerti.
”Ngeri kalau-kalau vaginaku sobek dan rusak!" Peri Biru menunjuk lubang mungil di selangkangannya, menunjukkan kalau benda itulah yang dinamakan vagina.
Pinokio melongo, ”Lho, memang mau dimasukin situ?” tanyanya polos.
”Habis mau dimana lagi?” sahut Peri Biru.
Pinokio tetap melongo. ”Cukup?”
”Nggak tahu. Punyamu ini besarnya nggak ketulungan!" Peri Biru bergidik.
”Kan bisa disihir, dikecilin.” cetus Pinokio.
Peri Biru menggeleng. ”Nggak apa-apa, begini saja lebih enak. Aku belum pernah merasakan batang yang besar dan panjang seperti punyamu." ujarnya sambil mulai menciumi penis yang semakin membengkak itu.
”Geli, Peri!” tubuh Pinokio mengejang. Matanya membeliak dengan mulut mendesis menahan kenikmatan.
”Tahan! Ini enak kok!” Peri Biru menempatkan dirinya diantara kedua kaki Pinokio yang tertekuk. Tangan kanannya mengocok alat vital si Bocah Boneka yang mengacung tegak, sedang tangan kirinya membelal-belai kantung zakarnya yang lembut dan hangat. Bukan main, jari-jarinya hampir tidak muat menggenggam penis yang luar biasa itu.
Tak tahan lagi, Peri Biru segera menjulurkan lidahnya dan menjilat batang kemaluan itu. Dia membuka bibirnya dan dengan sedikit kesulitan, memasukkannya ke dalam mulut.
Pinokio menggelinjang, kaget sekaligus nikmat. "Ouw, Peri! Hmmhhhh . . . enak sekali!" rintihnya. Kedua kaki bocah itu terangkat dan menyepak-nyepak karena saking enaknya.
Rintihan Pinokio membuat Peri Biru jadi semakin bersemangat. Dikulumnya benda hitam itu dengan penuh nafsu. Ujungnya yang botak, dihisapnya keras-keras. Kadang digigit-gigit kecil juga. Sambil tak lupa mencucup dan menciumi kantung zakarnya yang menggantung indah. Lelehan air liurnya yang kental makin menambah kenikmatan hisapannya.
Pinokio merintih-rintih. Kedua kakinya semakin keras menyepak. Matanya membeliak-beliak, sehingga hanya putihnya saja yang tampak. Tampaknya bocah itu sangat menikmati kuluman sang Peri.
”Enak, Pino?" tanya Peri Biru ditengah-tengah kesibukannya.
”Enak sekali, Peri. Ennaaakkkh!!!" Pinokio menyahut polos.
Hisapan wanita itu semakin lama semakin cepat, membuat tubuh kurus Pinokio bergetar tak karuan. Jemari bocah itu mencengkeram rambut panjang sang Peri kuat-kuat dengan diiringi rintihan yang semakin menghebat. Hingga akhirnya, bocah itu menjerit histeris. Pantatnya yang bulat terangkat tinggi-tinggi dengan kedua telapak tangan menekan belakang kepala Peri Biru kuat-kuat. Ia membenamkan penisnya yang besar dalam-dalam sampai mentok ke tenggorokan sang Peri.
”Crroott! Crrrroooottss! Crrottttsssss...!!" cairan kental yang hangat menyembur kencang dari batang kemaluan bocah itu.
Peri Biru tidak menyia-nyiakannya. Dengan nikmat disedotnya batang kemaluan Pinokio yang belepotan oleh sperma. Semuanya ia tampung di dalam mulut dan ditelannya dengan hati-hati. ”Sperma perjaka! Gurih!” gumamnya sambil mengelap lidah.
Pinokio melenguh keenakan sambil memejamkan mata. Tubuhnya yang kurus terasa lemas tak bertenaga. ”Nikmat sekali. Tapi, aku jadi capek.” bisiknya pelan.
Peri Biru tertawa sambil menyeka sisa-sisa sperma di mulutnya. ”Tapi, kamu senang kan?” dia bertanya.
Pinokio mengangguk.
”Ada lagi yang lebih enak. Kamu mau?”
”Mau-mau!” Pinokio menyahut antusias.
”Jangan sekarang. Beristirahatlah dulu.” Peri Biru memperhatikan penis Pinokio yang masih berada dalam genggamannya. Benda itu sekarang sudah separuh tegang, tapi masih terasa hangat dan basah.
Sementara itu, tangan mungil Pinokio masih juga terus meraba-raba tubuh sintal sang Peri. Jari-jarinya bermain di belahan kemaluan wanita cantik itu.
”Pino!” Peri Biru merintih saat Pinokio menguak dan menusuk-nusuk bibir kemaluannya. Bagian dalam benda itu tampak memerah, bersinar begitu indahnya.
Dituntun oleh naluri, Pinokio meraba-raba vagina yang sempit itu. Terasa licin disana, juga hangat. Diatas pertemuan antara dua bibir, tampak sekerat daging kecil yang kelihatan menarik. Dia menyentuhnya, dan Peri Biru langsung mengernyit keenakan.
“Jilat, Pino. Disitu!” dengusnya pelan. Wanita itu membuka kakinya lebih lebar agar Pinokio dapat melihat bagian dalam kemaluannya dengan jelas. Sedetik kemudian, "Auww...!" dia menjerit keras, tubuhnya yang montok tersentak ke atas. Rupanya Pinokio telah membenamkan hidungnya yang panjang ke dalam belahan daging yang aduhai itu.
"Pino! Uffhh! Ssssh…. Enak!” Peri Biru merintih sambil menekan-nekan kepala Pinokio, menggerakkannya ke sana-ke mari seperti ingin membongkar seluruh bagian vaginanya. Kaki wanita itu melejit-lejit merasakan kenikmatan tiada tara yang diberikan oleh si Bocah yang kini sudah menggunakan lidahnya untuk menyapu dan menjilat bibir kemaluan Peri Biru yang segar merangsang. Begitu pintarnya Pinokio menjilat hingga Peri Biru jadi merem melek dibuatnya.
”Oukhhhh, Pino! Enak... Enak sekali... Terus, sayangghhhh! Terus! Lebih cepat dikit! Hmmmhhhhh!” wanita itu merintih-rintih tak karuan. Matanya merem melek. Sementara kepalanya terlempar kesana kemari.
”Kamu senang menciumi punyaku?” tersendat-sendat suara Peri Biru.
”Senang sekali, Peri Punyaku jadi tegang lagi, nih!" kata Pinokio sambil menunjukkan penisnya yang kembali membesar dan mengacung tegak.
”Wow, cepet banget!” sang Peri takjub.
Tapi Pinokio tidak menjawab, ia kini asyik menjilat kemaluan Peri Biru yang terasa semakin panas dan basah, tanda kalau wanita cantik itu sudah benar-benar terbakar oleh nafsu birahi. Kedua kakinya terus menyentak-nyentak ke atas, dengan pantat bulatnya terangkat bergoyang-goyang. Sungguh permainan yang sangat mengasyikkan sekali.
”Pino, sshhhh!” Peri Biru merintih. ”Aku sudah tak kuat lagi!" matanya yang sendu melirik ke selangkangan Pinokio. ”Cepat masukkan!” pintanya.
Pinokio berhenti menjilat. ”Apanya?” dia bertanya bloon.
”Itumu,” Peri Biru menunjuk penis si Bocah. ”Masukin kesini!” dia membuka pahanya lebih lebar lagi. Kemaluannya sudah terlihat sanagat basah.
”Ohh,” Pinokio mengangguk mengerti dan segera naik ke atas tubuh sintal Peri Biru yang sudah siap menanti.
Diperhatikannya kedua susu perempuan itu yang menyembul putih bagaikan salju. Benar-benar menantang. Pinggangnya ramping dan pinggulnya mekar sempurna. Pinokio menciumi bahu dan payudara Peri Biru sambil menggesek-gesekkan penisnya di paha mulus wanita cantik itu.
”Ayo masukin!” Peri Biru menggenggam batang yang sudah tegang itu sambil membalas ciuman-ciuman Pinokio yang bertubi-tubi. Pelan dia membimbingnya dan menempatkannya tepat di mulut gua vaginanya. Sementara itu, kedua pahanya ia rentangkan lebar-lebar.
”Pino, pelan-pelan, ya!" bisik Sang Peri saat merasakan si Bocah mulai mendorong. "Kepunyaanmu besar sekali!"
Pinokio mengangguk. Dirasakannya kehangatan menyengat di ujung kepala penisnya saat dia mulai mendorong.
”Auww...!" Peri Biru menjerit tertahan saat sebagian penis itu melesak masuk. Tubuhnya mengejang, bergetar menahan rasa perih.
Pinokio merasakan lubang vagina Peri itu menjepit keras, mencekik leher zakarnya. Terasa sempit sekali. Sakit tapi nikmat.
”Ayo, Pino! Tekan lagi!" bisik Peri Biru dengan rintihan tertahan.
Pinokio menekan lagi. Ssruttttt! Batang penisnya yang luar biasa besar itu melesak lagi sampai sepertiga.
Peri Biru kembali tersentak. ”Auww!” meski sakit, dia berusaha untuk menahannya.
”Peri tidak apa-apa?” Pinokio bertanya khawatir.
Peri Biru cuma mendesah merasakan penis Pinokio yang bagaikan membongkar seluruh lorong vaginanya. ”Teruskan, Pino. Aku tidak apa-apa?” bisiknya.
Pinokio diam. ”Apa yang harus kulakukan?” dia bertanya tidak mengerti. Tapi bocah itu tetap menempatkan penisnya di dalam kemaluan Peri Biru. Terasa nikmat sekali disana, meski tidak digerakkan, tapi kemaluan itu terus berkedut-kedut, terasa memijit-mijit penisnya.
”Goyang, Pino. Gerakkan burungmu keluar masuk.” Peri Biru memberi intruksi. ”Tapi nariknya pelan-pelan, jangan sampai lepas!” tambahnya.
Pinokio mengangguk. Untuk urusan ginian, dia memang cepat sekali mengerti. Sambil menahan nafas, dia pun mulai menggoyang. Peri Biru menggigit bibirnya untuk menahan rasa nikmat yang mulai menyerang kemaluannya. Gesekan antara penis Pinokio dan dinding kemaluannya menciptakan sensasi geli-nikmat yang luar biasa. Bagaikan kereta api yang sedang langsir, penis itu terus bergerak maju-mundur, menjelajahi lubang vaginanya dan membuat benda sempit kemerahan menjadi basah tak terkira.
”Gimana, Pino, enak?” tanya sang Peri.
”Hmm, enak sekali, Peri. Sempit banget. Rasanya hampir lecet burungku," kata Pinokio.
”Kepunyaanmu yang terlalu besar," sahut Peri Biru sambil menggoyang-goyangkan pantatnya untuk mengimbangi goyangan Pinokio yang semakin cepat. Wanita itu menggerakkan pinggulnya memutar, seirama dengan keluar-masuknya batang zakar si Bocah Boneka.
"Ough, enak sekali, Peri. Kepala burungku bagaikan dipijit dan disedot-sedot. Pokoknya lezaaatttss!!" tubuh Pinokio meliuk-liuk ke sana-ke mari merasakan kenikmatan yang luar biasa sebagai akibat pijitan-pijitan dinding-dinding lorong kemaluan sang Peri yang bagaikan hidup. Sementara itu, cairan lendir semakin membajiri lorong kemaluannya, membuatnya semakin licin dan basah.
"Peri, bagaimana kalau kubenamkan seluruh batangku?!" Pinokio bertanya.
"Terserah kamu, sayang! Aku sudah siap," sahut Peri Biru sambil mengangkangkan kedua pahanya lebih lebar.
Dan Pinokio pun mendorong pantatnya sehingga kemaluannya lebih dalam membenam ke lubang vagina sang Peri. Blesss! Wow! Peri Biru tersentak, tubuhnya bagaikan melayang ke langit ketujuh. Terasa benar bagaimana kekarnya penis itu. Nikmat sekali rasanya. Tetapi wanita itu jadi agak kecewa ketika Pinokio menghentikan dorongannya. Batang kemaluan bocah itu yang kukuh bagaikan tonggak, belum seluruhnya masuk. Peri Biru jadi penasaran dan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi.
"Masukkan semua, Pino! Jangan disisakan lagi! Masukkan semua... dorongghh!!" kakinya menjepit pinggang si bocah, dan tangannya berusaha mendorong pantat Pinokio ke bawah.
Pinokio mengerti kalau Peri itu sudah histeris sekarang. Sudah ingin menikmati seluruh batang kemaluannya tanpa sisa lagi. Tetapi bukannya mendorong, bocah itu malah mengangkat pantatnya. Dan kemaluannya menggelosor keluar. Peri Biru jadi penasaran karenanya. Diangkatnya pantatnya setinggi-tingginya. Bertepatan dengan itu, Pinokio mengayunkan pantatnya kuat-kuat. Sehingga... blashhh!! Tanpa ampun, seluruh batang kemaluannya yang kokoh, indah dan perkasa itu menghunjam dan membenam sedalam-dalamnya ke liang kemaluan sang Peri.
Wanita itu menjerit sekuat-kuatnya. Tubuhnya meronta-ronta kesana-kemari, bagaikan sapi yang disembelih mendadak. Dan... "Crottt! Crrrttt! Crrrotttss!!"semua cairan mani yang tersimpan di dalam rahimnya, menyemprot seketika. Banyak sekali. Hingga membanjiri seluruh lobang guanya.
Bersamaan dengan itu, Pinokio juga menggeram kuat sambil merangkul tubuh sintal sang Peri kuat-kuat. Peri Biru merasakan tubuhnya bagaikan remuk. "Hmm, aarrgghhhhhh... Peri! Auugghhhhhhh! Aku keluarrr, sshhhhh! Oohhhhhh... enak sekali!!" bocah itu meracau sambil meronta-ronta. Matanya membeliak-beliak ke atas, sementara kepalanya terlontar kesana-kemari.
Peri Biru merasakan batang penis di dalam kemaluannya berdenyut-denyut keras dan memuntahkan lahar panas yang terkandung di dalamnya. Semprotan itu terasa berkali-kali, membuat lubang vaginanya terasa semakin membanjir.
Setelah beberapa detik lamanya merasakan dirinya terlontar ke angkasa, Pinokio merasakan dirinya lemas, dan terjatuh dari atas tubuh sang Peri. Keduanya merasakan kepuasan yang amat sangat.
Peri Biru memijit hidung Pinokio, "Luar biasa sekali, Pino." ujarnya. "Kaulah satu-satunya lelaki yang berhasil memuaskanku!Sungguh!"
"Aku juga begitu, Peri. Pengalaman pertama bersamamu benar-benar memuaskan diriku!" balas Pinokio. Lalu keduanya berkecupan dengan mesranya.
Apa yang dikatakan Peri Biru memang benar. Dia sudah berpengalaman dengan lelaki. Namun baru kali inilah ia mendapatkan kepuasan yang benar-benar aduhai. Tidak hanya sekali saja mereka lakukan kemesraan itu. Namun berkali-kali. Dan berbagai pose pula. Model nungging, model berdiri. Model diganjal batul. Semuanya memuaskan! Wanita itu merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Demikian pula halnya dengan Pinokio.
"Aku menyukaimu, Peri!" bisik bocah itu.
Peri Biru menggeleng kepala. "Suka aku apa suka tubuhku?" godanya.
"Apapun yang ada dalam dirimu, aku menyukainya!" ujar Pinokio. "Dan aku ingin memilikimu!" tambahnya.
Peri Biru memijit hidung Pinokio dengan mesra. "Ih, dasar bandel!" ujarnya. "Kalau kau kuajak pulang ke negeri di atas awan, apa kau mau?!" dia bertanya.
Pinokio tidak langsung menjawab, tampak sekali berpikir keras.
"Hahaha..." Peri Biru tertawa, "Kau sebaiknya pulang ke rumah saja. Papamu pasti sudah menunggu."
"Kalau aku kangen Peri gimana?"
"Asal kamu tidak nakal lagi, aku akan mendatangimu!"
Akhirnya, dengan kesepakatan itu, Pinokio pun pulang ke rumah. Gepetto begitu gembira melihat boneka kayunya kini berubah menjadi anak lelaki. Dia menggendong Pinokio dan menyayanginya seperti anaknya sendiri. Sementara Pinokio, berubah menjadi anak yang baik demi untuk bisa terus merasakan tubuh sintal sang Peri Biru yang menggiurkan.
END