Harry menatap keseluruh ruangan itu. Tak ada apa-apa disana. Rumah kosong. Tapi, barang-barangnya masih berdiri tak terusik terselubung kain putih. Harry menghembuskan nafasnya. Untuk sekarang ia selamat, Pelahap maut tidak akan bisa melacaknya disini. Tapi. Disisi lain ia sangat khawatir karena Ron tak terdengar kabarnya. Duduk disofa, Harry menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Ia sangat ingin bebas, pergi dari kehidupannya yang sekarang, dimana dia dituntut untuk melenyapkan Pangeran Kegelapan.
Petir menyambar diluar, cahaya dan suaranya mengejutkan Harry. Hujan turun dengan lebatnya.
Harry beranjak berdiri, mencoba menemukan Hermione. Sahabatnya itu ingin mengecek rumah kosong ini. Harry naik ke kamar atas. Melongok setiap ruangan yang ia lewati. Matanya menelusur, mencari Hermione. Di pojok kamar, dilihatnya Hermione duduk diatas sebuah ranjang empuk yang besar. Ruangan itu cukup bersih. Harry yakin itu adalah ruangan utama dirumah ini.
Harry duduk disamping Hermione. Gadis itu menatapnya, matanya bersinar penuh misteri. Harry tak bisa membaca emosi apapun dari mata coklat yang hangat itu. Harry memberanikan diri untuk menyentuh tangan sahabatnya, meremasnya lembut, memberikan kekuatan bagi Hermione. Harry tahu, walaupun tanpa kata-kata, ia tahu, kejadian-kejadian ini pasti sangat berat bagi Hermione.
Hermione menyandarkan kepalanya pada bahu Harry. Harry mencium bau bunga mawar. Tangannya merangkul pundak Hermione lembut. Menyandarkan kepalanya sendiri diatas kepala Hermione.
"Harry, aku yakin kita bisa mengalahkannya," bisik Hermione.
Harry mengelus bahu Hermione dan menghela nafas. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Aku tahu," katanya lembut, nadanya sendiri terdengar tak yakin.
Hermione menjauh darinya dan menatap mata Harry tajam."Harry, aku yakin kau bisa. Kita bisa,"
Harry menggelengkan kepalanya sedih dan putus asa,"Aku… aku tak tahu, Hermione. Semakin lama, Pangeran Kegelapan semakin bertambah kuat. Sementara, pihak kita terus melemah. Aku tak tahu lagi apa yang kupikirkan, Hermione. Aku ingin pergi dari sini, aku benci menjadi diriku sendiri, Hermione!" ujarnya, suara Harry terdengar sedikit pecah. Harry tak menyadari air matanya mengalir. Harry benci sekali ini, ia berusia tujuh belas tahun dan ia menangis.
Hermione menyentuh sisi wajah Harry, mengangkat kepala pemuda itu hingga matanya tepat menatap mata si pemuda. Ia mengusap air mata dari pipi Harry, "Aku yakin, Harry, dan karena itu kau juga harus yakin. Kita bisa, aku tahu itu. Bertahanlah, Harry. Aku ada disini. Bersamamu," ujarnya lembut.
Entah apa yang menggerakkan Harry, ia mencondongkan wajahnya ke wajah Hermione. Menyentuhkan bibirnya ke bibir sahabat baiknya itu. Harry hanya menyentuhnya, selama beberapa detik, ia sendiri tidak yakin, waktu serasa berhenti. Jantung Harry berdegup kencang. Ia menyumpahi dirinya sendiri karena melakukan hal semacam ini pada Hermione, sahabatnya. Ia merasakan tubuh Hermione menegang.
Harry melepas ciumannya. Ia menjauh beberapa inchi ketika tangan Hermione memeluk lehernya dan menarik wajahnya. Gadis itu Menarik bibir Harry ke bibirnya. Ia membuka mulut dan menerima Harry. Mereka saling melumat sekali lagi.
Harry mencium Hermione penuh gairah. Ciuman mereka semakin dalam dan liar. Harry mendekap pinggang gadis itu dan menariknya mendekat ke tubuhnya seakan tak ingin terlepas. Hermione sendiri merangkulkan tangannya di leher Harry. Harry mendorong Hermione ke belakang, sehingga gadis itu tertidur di kasur empuk. Harry Menciumi lehernya sementara Hermione menaikkan tangannya, mengobrak-abrik rambut Harry yang sudah acak-acakan. Gadis itu merintih penuh kenikmatan.
Harry merasakan jantungnya berdegup, sementara darah mudanya meluncur dan mengumpul di satu titik yang sekarang terasa menegang dan membesar. Tangannya masuk ke balik baju Hermione dan merasakan perut telanjang gadis itu yang rata tak berlemak.
Hermione menarik kemeja Harry hingga terlepas. Tangannya meraba punggung Harry yang sekarang telanjang, merasakan setiap otot yang berkontraksi dibahunya. Dia merangkul pemuda itu seakan tubuh Harry adalah miliknya. Hanya miliknya seorang.
Harry melepas baju yang dipakai Hermione, terlihat bra putih tipis menutupi payudara gadis itu yang mulai tumbuh. Tangannya membelai sisi tubuh Hermione dengan lembut, sementara ia menciumi perut dan pinggulnya mengikuti alur tulang selangkanya hingga sampai ke atas dada. Harry berhenti sedetik disana karena ragu, tapi Hermione memberikannya seulas senyum yang menambah keberaniannya. Ia pun melepas bra itu dan dengan lembut meremas daging empuk yang ada di baliknya. Sementara matanya, menelusuri tubuh indah Hermione. Gadis itu terlihat sangat cantik, begitu menggairahkan.
Harry mencondongkan tubuhnya, sekali lagi melumat bibir tipis Hermione. Sementara tangannya meremas-remas payudara gadis itu makin keras, membuat Hermione mendesah dan tersengal-sengal diantara ciumannya. Keringat mulai membanjiri tubuh mereka yang bersatu. Gairah mereka menyala bagai satu kekuatan yang meruntuhkan kenyataan. Menjadi meriam bagi dinding ketakutan dan kejengahan mereka.
Harry melepaskan ciumannya dan segera mengalihkan bibirnya ke payudara Hermione yang menggantung. Dia mencucup benda bulat padat itu dan menjilatnya dengan penuh nafsu. Merasa kegelian, Hermione merintih dan menggelinjang. Ia mendekap kuat tangan Harry yang sedang meremas-remas dada kirinya. ”Oughhhhh...!” desisnya tak tahan.
Puas menikmati dada kenyal Hermione, Harry kembali ke atas, ke bibir Hermione yang tipis. Dia menciumnya sementara tangan Hermione membuka resleting celananya dengan canggung. Harry segera membantunya sementara bibir mereka masih melekat erat.
Setelah berhasil, Harry meluncurkan tangannya menuruni tubuh langsing Hermione. Mulai dari sisi wajahnya, turun ke lehernya, lalu ke dadanya, lurus ke perutnya, hingga akhirnya berhenti tepat di resleting celana jeans gadis itu. Harry membukanya dengan cekatan. Sedetik kemudian mereka sudah saling bertindihan dengan tubuh telanjang bulat. Peluh membasahi gairah mereka yang tak mungkin padam.
Harry menatap Hermione penuh gairah. Tubuh gadis itu sangat indah, begitu sempurna, tanpa cacat ataupun cela sedikitpun. Ia memandang Hermione, tapi memusatkan pandangannya ke arah bibir gadis itu. Harry takut jika ia menatap matanya, keinginannya akan runtuh karena hantaman kenyataan. Tapi, Hermione merangkulnya, menarik tubuh Harry ke tubuhnya lagi. Gadis itu menciumnya. Hermione tersenyum dalam ciumannnya. Mereka berdua tersenyum.
Harry bisa merasakan Hermione merentangkan kakinya, siap untuk disetubuhi. Harry meletakkan kakinya disela kedua kaki gadis itu, hanya untuk menyakinkan kalau kaki itu sudah benar-benar terbuka. Sekali lagi, ia tersenyum diantara ciumannya. Dan ia mencium Hermione sekali lagi, dengan ciuman yang lembut membangkitkan gairah.
Harry kemudian bangkit berlutut. Ia menelusurkan tangannya pada paha Hermione yang halus dan sedikit berbulu.
Hermione menutup matanya demi merasakan sentuhan tangan Harry yang menggelitik. Pemuda itu menelusurkan jarinya ke pahanya bagian dalam, mencari belahan vaginanya yang sudah sedikit basah. Hermione menutup mata saat melihat Harry mendekatkan penisnya ke benda sempit itu. Ia siap sekarang, jarak mereka hanya satu centi.
Harry menuntun penisnya yang ereksi ke titik itu. Dan menyentak masuk.
”Ouugghhhhhhhhh...!!!” aliran listrik langsung menyentrum ke dalam aliran darah kedua insan itu saat kelamin mereka bertemu dan saling bergesekan. Tubuh mereka menegang sementara hormon cinta mereka mulai bekerja, membuat momen persetubuhan itu jadi begitu nikmat. Harry mendengar Hermione merintih.
”Ohhh, Harry. Tak kusangka akan sesakit ini.” gadis itu mengernyit kesakitan.
”Tahan, ya. Aku malah merasa nikmat sekali.” Harry menjatuhkan tubuhnya tepat diatas tubuh Hermione, menjaga jarak beberapa centi diantara mereka. Ia menopangkan bobot tubuhnya pada siku sementara tangannya meremas tangan Hermione dengan mesra.
”Lakukan, Harry. Aku siap.” Hermione merangkulkan tangannya memeluk punggung Harry.
Harry mulai menarik dan mendorong penisnya, menggesek vagina Hermione yang terasa kesat dan sempit sekali. Tangannya yang tadi mengelus sisi tubuh Hermione kini berada dipayudara, meremas benda bulat itu dan memilin-milin putingnya hingga terlihat semakin tegak menantang. Hermione merintih menikmati sensasi geli yang mulai ia rasakan. Perlahan ia mulai bisa menikmati permainan itu. Gadis itu mulai menjerit meneriakkan nama Harry. Kakinya melingkari pinggang Harry dan menyuruh pemuda itu agar menggoyang lebih keras.
”Masih sakit?” Harry meletakkan kepalanya disebelah leher Hermione, menghembuskan nafasnya yang memburu atau menciumnya sekilas disana.
Hermione menggeleng, ”S-sudah enak. Teruskan! Jangan berhenti!” gumam gadis itu.
Tarikan dan dorongan Harry menjadi semakin cepat dan semakin bertenaga. Lelehan darah perawan Hermione yang mengotori sprei tidak ia hiraukan sama sekali, yang penting ia dan pasangannya merasa puas. Harry sudah dekat dengan orgasmenya, dan ia tahu, Hermione juga sama. Ia memberikan dorongan terakhir yang paling kuat saat spermanya memancar keluar memenuhi liang kewanitaan Hermione, sementara Hermione cuma menjerit lirih saat menerimanya dan segera menyusul tak lama kemudian.
Masih dengan nafas ngos-ngosan, Harry mencabut penisnya dan terjatuh kelelahan disisi Hermione. Pemuda itu memejamkan matanya untuk mengatur nafas. Ia lelah, sangat lelah, tapi puas. Beberapa detik kemudian ia sudah terlelap.
Hermione memalingkan tubuhnya hingga berhadapan dengan tubuh Harry. Ia menatap pemuda yang sekarang tengah terlelap itu, tidak yakin dengan apa yang barusan mereka lakukan. Hermione tahu ini salah, sungguh salah, tapi entah kenapa dia tidak bisa menghentikannya. Ia menatap ke arah wajah itu, Harry terlihat jauh lebih tampan tanpa kacamata yang telah ia lepaskan dalam pergulatan mereka, dan lebih damai dalam tidurnya tanpa kecemasan dan kesakitan yang ia coba sembunyikan.
Payudaranya terasa ngilu karena diremas Harry begitu kuat. Ia mencoba melenturkan benda itu dengan menggoyang-goyangkannya sebentar. Hermione menatap lagi dan mencium bibir Harry lembut, mungkin ini adalah ciuman terakhirnya.
Ia mencari-cari bajunya. Branya ada disisi Harry, baju dan celana jeans beserta knickers-nya terhampar dilantai. Hermione memakainya secepat kilat. Ia hampir saja menginjak kacamata Harry. Ia membetulkan kacamata itu, yang sekarang retak karena terjatuh dan meletakkannya disisi Harry. Ia bejalan keluar dan menemukan sebuah kamar mandi.
Hermione menyihir air hingga memenuhi bath tube yang ada disana. Sekali lagi, ia melepaskan bajunya kemudian berendam.
Harry tersentak bangun. Ia mendapati tubuhnya telanjang. Untuk sedetik ia lupa arah. Ia menatap kacamata disisi tubuhnya dan memakainya. Masa lalu mulai menghantamnya bagai palu. Ia tertidur, sangat jelas. Setelah….
Harry tak mampu lagi memikirkan kelanjutannya. Ia melihat ranjang yang ia tiduri sangat berantakan. Baju, celana jeans serta boxernya berserakan dilantai. Ia melirik kesisi sebelahnya, tapi Hermione tidak ada disana. Baju Hermione pun sudah hilang. Tanpa banyak berpikir, Harry memakai bajunya, dan berlari menuju lantai bawah.
Benar saja, ia menemukan Hermione duduk disofa. Tangannya ditangkupkan ke wajahnya. Harry berjalan dengan perlahan mendekatinya. Tampaknya Hermione tidak menyadari kehadirannya.
"Hermione…" panggilnya lirih.
Hermione tersentak karena terkejut, kemudian memandang Harry. Pandangannya penuh kekakuan dan kecanggungan.
Harry duduk disebelahnya, menjaga jarak yang cukup.
"Harry…" Hermione mendesah. Dan itu mengingatkannya pada momen mereka tadi.
"Hermione, dengar..." Harry memulai,"Maafkan aku… Aku… A-aku tidak tahu apa yang aku lakukan tadi. Sungguh, aku…"
"Harry, kau yang dengar," ujar Hermione tegas,"Aku… Aku sudah memikirkan tentang ini. Sebaiknya kita lupakan saja apa yang terjadi, oke? Anggap hal ini tidak pernah terjadi. Kita kembali ke hubungan kita semula,"
Butuh beberapa detik untuk mencernanya."Jadi… kau ingin melupakannya?"
"Tentu saja," ujar Hermione.
Seharusnya suaranya terdengar jelas, tapi pintu didepan mereka terjeblak dengan begitu keras. Hancur berkeping-keping. Tiga orang lelaki masuk, memakai topeng dan jubah hitam, para pelahap maut.
Harry dan Hermione bangkit, tongkat siap ditangan mereka.
"Avada Kedavra!" teriak seorang pelahap maut kepada Hermione.
Harry mendorong Hermione kebelakang untuk menghindarkannya. "Stupefy," teriaknya sebagai ganti.
Pelahap maut itu terlempar beberapa meter kebelakang. Tapi belasan pelahap maut lain muncul sebagai ganti. Mungkin lebih. Harry berdiri didepan Hermione sebagai tameng. Ia tidak yakin bisa mengalahkan penyihir sebanyak itu. Sangat, sangat tidak yakin. Tapi, jika ia harus mati. Kenapa tidak sekarang?
Tepat ketika Harry hendak menutup matanya, pasrah. Kilatan lain muncul. Melemparkan beberapa pelahap maut langsung. Mungkin membunuh mereka. Ia membuka kembali matanya. Tapi, ia tak bisa menatap apapun lagi selain cahaya yang menyilaukan.
Kemudian seseorang menutupi pandangannya. Seorang lelaki jangkung berambut merah, Ron. Pemuda itu menyentuh lengan Harry dan Hermione, kemudian mereka menghilang ke dalam udara.
Harry jatuh terengah-engah di Grimmauld Place. Hermione pun sama. Ia terhuyung-huyung tapi pemuda yang tadi menyelamatkannya menangkapnya tepat sebelum ia terjatuh kemudian Hermione memeluknya.
Setelah nafasnya mulai teratur Harry mulai berdiri."Ron," panggilnya. Ron melepaskan pelukan Hermione dan memeluk Harry. "Ron, bagaimana? Kukira kau…" Suara Harry terputus.
"Ceritanya panjang, kawan," ujar Ron. Ia tersenyum lebar, hampir menyeringai. Kemudian menatap kedua sahabatnya."Tapi, hei, kita bertiga masih disini, kan? Kita bertiga masih hidup dan nggak ada yang berubah, kan? Kita bertiga akan melawan Pangeran Kegelapan sampai akhir, kan?"
Harry memaksakan sebuah senyuman dan mengangguk lemah. Ia menatap Hermione yang segera mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Harry. Tidak, keadaan tidak sama lagi.
END