Konspirasi 1

Bookmark and Share
Sinopsis:

Mika, mahasiswa yang suka teka-teki. Nami, gadis jutawan yang suka berpetualang. Juna, hacker jenius yang mengetahui berbagai rahasia dunia. Ruben, pria keturunan timur tengah yang menguasai 13 bahasa. Mereka bersama menyelidiki sebuah konspirasi dunia. Yang ditutupi oleh pemerintah. Yang ditutupi oleh organisasi berbahaya. Bahkan yang ditutupi oleh tokoh agama. Ini tentang seorang pria. Pria itu bernama Yohanes. Siapa dia sebenarnya?

***

Pria kecil dengan kumis tipis di atas mulutnya keluar dengan susah payah dari mobil sedannya yang berwarna hitam. Pada tangan kanannya, ia memegang buku-buku yang beraneka ragam bentuk dan ketebalannya, sementara pada tangan kirinya ia memegang sebuah koper coklat berukuran sedang. Kedua benda tersebut jelas sekali membuatnya kesulitan untuk menutup kembali pintu mobilnya yang masih dibiarkan terbuka. Akhirnya, ia memutuskan untuk membebaskan tangan kirinya dari koper coklat yang mengganggunya itu. Koper yang dijatuhkannya cukup menimbulkan suara gaduh, mengingat hari sudah sangat larut di mana para tetangga sudah mulai terlelap. Setelah berhasil menutup pintunya, ia mengambil kembali koper yang tergeletak di lantai dengan perlahan-lahan.

Ia mulai melangkahkan kaki dan berjalan lurus ke depan. Ia berjalan dengan sistematis melalui jalan yang dibuat sendiri. Jalan yang dimaksud adalah sepanjang jalan menuju teras rumahnya, yang dimana membentang kumpulan batu-batu kecil yang dihias sedemikian rupa dengan rumput-rumput di setiap sisinya, sehingga membentuk sebuah jalan yang terbilang sangat unik. Pada dasarnya jalan yang dibuatnya itu ingin menyerupai tanam sekolahnya dulu waktu kecil, karena itu dapat mengingatkannya selalu pada masa kecilnya.

Dengan sedikit curiga, ia pun memasuki halaman rumahnya. Ia sangat mengenal kondisi rumahnya sehingga ia tahu kalau ada keanehan terjadi di sana. Ia langsung saja menyapu bersih pandangannya ke sekeliling taman  dengan seksama, sebentar melihat ke sebelah kiri, sebentar melihat ke sebelah kanan. Ia tahu, bahwa telah terjadi keanehan disana, hanya dia belum mengetahui apa itu? Sifat detailnya pada segala sesuatu itulah yang makin meyakinkan dirinya untuk mencari keanehan tersebut.

Setelah mencari-cari, ia akhirnya menemukan bahwa rumput-rumput yang dirawat rapi olehnya di tiap pinggir jalan itu telah diinjak-injak oleh seseorang. Bukan, sambil menggelengkan kepalanya ia berpendapat, perbuatan tersebut bukan oleh seseorang. Tapi rumput itu diinjak oleh beberapa orang tanpa disengaja, setidaknya lebih dari satu orang.

Dengan sedikit ragu, namun ia tetap berjalan mendekati pintu rumahnya. Ia mengambil kunci pintu dengan gantungan berbentuk buku kecil di saku celana belakang, lalu memasukan anak kunci ke lubangnya. Ia memutar dua kali anak kunci itu ke kanan dan pintu pun terbuka. Dan ternyata, perasaan janggal yang dimilikinya dari tadi terjawab sudah. Ketika ia menyalakan lampu ruang tamu yang tak jauh dari ia berdiri saat ini, ia dikejutkan oleh pemandangan yang mengerikan di hadapannya.

Ia sedikit menelan ludah, mengernyitkan dahi lalu memandang ke segala penjuru ruang tamunya.

Ruangan yang ditinggalnya rapi tadi pagi, sekarang sudah menjadi berantakan sekali. Kertas-kertas putih berserakan di mana-mana. Posisi sofanya pun sudah tidak tertata lagi, bahkan bantal-bantal kecil yang biasa menghiasi sofa itu pun tersobek-sobek. Vas bunga yang terletak di tiap sudut ruangan pun sudah berada dalam posisi terbalik, bahkan ada sebagian terjatuh. Lantainya juga terlihat lembab karena ada genangan air yang tumpah dari sebuah vas bunga. Sedikit terlihat juga pecahan kaca kecil yang dapat ditemukan juga di lantai di sekeliling ruangan itu. Dan mungkin hanya meja kaca yang menemani sofa pada ruangan itu sajalah yang masih tertata baik pada tempatnya.

Wajah pria itu langsung menjadi pucat pasi. Keringat dingin seketika saja membanjiri wajahnya. Koper dan buku-buku yang dipegangnya terhempas begitu saja di lantai. Rona ketakutan dapat terlihat makin jelas pada wajahnya.

Sambil berjalan dengan panik ia mengambil handphone pada saku celananya dan mencoba untuk menghubungi seseorang. Tapi ia terlambat, karena saat mulai memasukkan beberapa kombinasi nomer, tiba-tiba saja niatnya itu terhenti seketika, niatnya itu berhenti saat ia mulai merasakan besi dingin menyentuh lehernya.

“Profesor Jeremiah???” kata wanita cantik di belakangnya sambil menodongkan pisau di lehernya, “Benarkan anda profesor Jeremiah?”

Profesor Jeremiah menelan ludahnya. Ia berusaha untuk menengok ke belakang untuk melihat siapa pria asing itu? Tapi ia tidak bisa melakukannya.

“Si-siapa kamu?” tanya profesor Jeremiah terbata-bata.

“Itu bukan hal yang penting.”

“Lalu... A-apa maumu? Uang?” kata profesor Jeremiah, “Saya akan memberi kamu uang. Berapa saja yang kamu mau?”

“Bukan itu yang aku inginkan,” kata wanita itu dengan tenang sekali.

“Kalau bukan itu, apa yang kamu inginkan?”

“Tenang pak tua, kedatanganku ke sini hanya ingin bertemu dengan anda.”

“Untuk apa?”

“Tentu saja maksud kedatanganku ini ingin bertanya sesuatu hal kepada anda.”

“Apa yang ingin kamu tanyakan?”

“Bagaimana kalau anda duduk dulu!”

“Aku rasa tidak perlu.”

“Baiklah. Aku akan langsung saja. Aku ingin data anda,” sekali lagi wanita itu berkata. Matanya memancarkan kelicikan yang sangat jelas “Aku ingin data anda. Sekarang bisakan katakan kepadaku di mana anda sembunyikan data itu?”

Profesor Jeremiah menelan ludahnya sekali lagi, keringatnya sudah membasahi kemeja putih yang ia kenakan saat ini.

“Data apa maksud kamu?” jawab profesor Jeremiah perlahan, “Saya tidak mengerti maksud ucapanmu?”

“Jangan pura-pura bodoh!!!”

Tiba-tiba saja nada tinggi keluar begitu saja dari wanita yang memakai pakaian serba ungu ini. Profesor Jeremiah semakin merasa takut sampai-sampai ia memejamkan matanya. Tapi tiba-tiba wanita itu melemahkan nada suaranya.

“Maaf, pak tua. Aku kasar sekali pada anda. Aku tahu kalau kamu memiliki data itu?”

“Sa-saya... Benar-benar tidak tahu.” rintih profesor Jeremiah dengan putus asa, “Saya benar-benar... Tidak tahu.”

“Anda tidak perlu membohongiku!”

“Saya tidak bohong.”

“Maaf, pak tua, aku tahu kamu berbohong.”

Profesor Jeremiah menggelengkan kepalanya lagi.

“Baiklah jika itu mau anda,” wanita itu makin menempelkan pisaunya ke leher profesor Jeremiah. Tidak lama suara wanita itu makin merendah, “Aku beri kesempatan sekali lagi untuk anda. Tolong katakan di mana anda menyembunyikan data itu?” dia melepaskan pisau dari leher profesor Jeremia. ”Atau aku akan membunuhmu!”

Profesor Jeremiah menyeringai, ”Kalau begitu, bunuh saja aku.” gertaknya. ”Dan kamu akan kehilangan data itu selamanya.”

Sang wanita terdiam, mengerti dengan maksud ucapan sang profesor. ”Jadi, apa maumu?” dia bertanya.

”Ada cara yang lebih baik.” sahut sang profesor. “Kita barter!”

”Barter?” wanita itu mengernyitkan dahinya.

”Ya,” profesor Jeremiah menyahut mantap, tampak makin percaya diri. “Kita tukeran, data itu ditukar dengan… tubuhmu!”

Sang wanita mendelik, tampak terhina. ”Bangsat! Kubunuh kau!” dia kembali mencengkeram pisaunya dengan erat dan menempelkannya dalam-dalam ke leher profesor Jeremiah.

”Eits, tunggu dulu. Coba pikir, cuma dengan menemaniku tidur, kau akan mendapat data yang nilainya tiada tara.” rintih sang profesor.

Wanita itu kembali melunak. ”Apa tidak ada cara lain?” dia bertanya.

”Ayolah, aku yakin kamu sudah tidak perawan lagi. Buat apa berpikir lama-lama? Hanya ini yang bisa kutawarkan.”

Lama tidak ada jawaban. Tapi selanjutnya, secara perlahan, profesor Jeremiah merasakan pisau di lehernya bergerak sedikit menjauh.

”Awas kalau kamu bohong!” wanita itu mengancam. Dia memasukkan pisau tajamnya ke dalam saku. ”Dimana kita akan melakukannya?”

Profesor Jeremiah membalikkan tubuh, tak berkedip dia memandangi wanita cantik yang sekarang berada di depannya. ”Dimana pun sama saja,” sahutnya sambil tersenyum menjijikkan.

Si wanita yang sudah berada di bawah kendali sang profesor tidak bisa menolak saat laki-laki tua itu memajukan kepala dan mulai mencium bibirnya. ”Hampphh,” dia bahkan tidak protes saat lidah kasar sang profesor melilit dan melumat lidahnya.

”Hmm, bibirmu manis sekali,” desah profesor Jeremiah saat ciuman mereka terlepas.

Tidak menjawab, si wanita mengelap air liur sang profesor yang membasahi sudut bibirnya.

”Sekarang, buka pakaianmu!”  profesor Jeremiah berkata dingin.
 
Wanita itu melotot menatapnya, tapi tak urung jarinya tetap bergerak untuk mempreteli bajunya satu per satu hingga dia telanjang bulat di depan sang profesor.

”Bagus,” profesor Jeremiah mengangguk. ”Sepertinya aku tidak rugi menukar data itu dengan tubuh indahmu.”  dan dia terkekeh.

Si wanita memerah, dia menyilangkan tangannya di depan pinggul dan dadanya, berusaha menyembunyikan kedua auratnya itu dari tatapan mesum sang profesor.

”Ayolah, tidak usah malu-malu.” profesor Jeremiah menyingkirkan tangan itu. Tak berkedip dia menatap perut langsing dan rata milik sang wanita, juga kulitnya yang putih dan mulus, dan yang tidak boleh ketinggalan, kedua payudara wanita itu  yang berukuran besar dan bulat sempurna.

”Enaknya, kamu diapain dulu ya?” ucap profesor Jeremiah menggoda.

Wanita itu mendengus, ”Terserah anda, profesor. Tapi cepatlah, aku tidak punya waktu semalaman.”

Profesor Jeremiah tersenyum, “Tenanglah, manis.” dia mengulurkan tangannya dan mulai membelai payudara wanita itu dengan kedua tangannya. Dengan perlahan, dia mengelus daerah seputar putingnya yang bulat kemerahan. Sambil memilin-milin kecil, profesor Jeremiah memajukan kepalanya dan mulai menjilat benda mungil itu dengan ujung lidahnya.

”Aahhhssss...” wanita cantik itu langsung mengerang.

Dengan kasar Profesor Jeremiah menghisap-hisapnya. Terutama puting yang kanan, yang terlihat sudah begitu menegang. ”Uh, enak banget susumu!” gumam sang profesor sambil terus menghisap.

”Aaggghhhhhh,” wanita itu mendesah lagi saat profesor Jeremiah meremas-remas payudaranya yang sebelah kiri dan memilin-milin putingnya. Dan desahannya langsung berubah menjadi jeritan kecil saat profesor tua itu  menggigitnya pelan, ”Ugghhhhh!”

”Teriaklah yang keras, manis. Tidak akan ada yang mendengarnya.” profesor Jeremiah memijat kedua payudara wanita itu lebih keras.

Sang wanita langsung memekik, tapi tidak lama, karena mulutnya kembali dibungkam oleh profesor Jeremiah dengan sebuah ciuman yang dalam dan kasar. ”Hmmppp... Hmmppphhhh...” wanita itu sampai menggelepar karena tidak bisa bernafas. Dia baru bisa menghirup udara saat ciuman profesor Jeremiah turun ke perutnya. Perut yang rata dan halus. Wangi parfum perempuan itu yang beraroma strawberry makin membuat sang profesor hilang akal. Dia memainkan lidahnya di daerah pusar wanita itu dan menjilat-jilat disana hingga membuat sang wanita menggelinjang kegelian.

”Ohhhh, profesor!” rintihnya.

Tidak menghiraukan, ciuman profesor Jeremiah terus turun, kini menuju paha wanita itu yang putih mulus. Dengan penuh nafsu, dia mengelus dan menjilatinya.

”Hahhh... Prof, aku...” wanita itu makin merintih.

”Kenapa?” tanya profesor Jeremiah sambil mendongak.

”Ji-jilat vaginaku!” ucap wanita itu dengan wajah sayu nan memerah. Dia sudah benar-benar terbakar gairah sekarang.

”Oh, tentu saja.” sahut  profesor Jeremiah. Dengan gerakan lembut, dia menggesek-gesek bibir kemaluan wanita cantik itu dengan ujung jarinya. ”Bagaimana rasanya?” dia bertanya.

”Aaahh... enak! Terus, profesor!” sahut wanita itu.

Jilatan profesor Jeremiah mulai naik, dari paha menuju selangkangan sang wanita. Dapat dirasakannya kaki wanita itu menegang karena keenakan. Menggerakkan lidahnya naik turun, laki-laki tua itu pun mulai mengoral vagina sempit sang wanita.

”Oughhh... enak, prof. Terus!” desis wanita itu.

Sambil terus menjilat, perlahan, tanpa memberitahu terlebih dahulu, profesor Jeremiah melepaskan celananya.

”Ohh, besar sekali!” gumam wanita itu saat memperhatikan penis sang profesor yang sudah berdiri tegak dihadapannya.

”Yakinlah, kamu pasti akan puas.” balas profesor Jeremiah sambil kembali menciumi kemaluan sang wanita yang sudah begitu basah. Dia menjilati bibir vagina yang sudah lembab itu dengan penuh nafsu.

”Auw!” wanita itu menjerit saat profesor Jeremiah menjilat klitorisnya. ”Aduh, kamu apain vaginaku? Oughhhhhh... Aagghhh..."

Profesor Jeremiah menyeringai, sambil mengelus-elus paha wanita itu, dia terus menjilat. Semakin lama, jilatannya menjadi semakin cepat, juga semakin dalam, hingga akhirnya... dengan tubuh melengkung, paha wanita itu menegang dan menjepit kepala profesor jeremiah dengan erat hingga membuat laki-laki itu gelagapan karena tidak bisa bernafas.

”Aaaaahhhh! Aku keluar, profesor! Uuaarrggggh...” tubuh wanita itu mengejang-ngejang dan gemetar hebat. Itu berlangsung selama beberapa detik hingga wanita itu jatuh telentang dengan tubuh lemas dan nafas yang tersengal-sengal.

Belum sempat dia beristirahat, profesor Jeremiah sudah kembali mendekatinya. ”Sekarang giliranku,” bisik laki-laki itu sambil menjulurkan penisnya tepat ke lubang vagina sang wanita yang masih tampak basah. ”Aku masukin sekarang!” ujarnya dengan nafas memburu.

Wanita itu tidak bisa menolak. Dia hanya bisa pasrah. Dibiarkannya sang profesor menindihnya dan menusukkan penisnya. ”Oughhhh,” dia mendesah saat sang profesor mulai menggoyang sambil melumat bibirnya dan menggerayangi payudaranya yang membusung.

”Hmmm, tubuhmu nikmat sekali, cantik.” bisik profesor Jeremiah. Goyangannya kini semakin cepat, dan semakin cepat pula rintihan sang wanita yang berada di bawah tubuhnya. ”Rasanya... aku mau keluar,” desisnya.

Sang wanita langsung membuka matanya, ”Cabut! Keluarkan di luar!” dia berteriak, tampak sedikit panik.

Tapi profesor Jeremiah tidak mengindahkannya, dia terus menggoyang dan menusuk, bahkan kini menjadi semakin cepat dan dalam. Mengetahui hal itu, sang wanita segera menarik diri dan bangkit dari posisi tidurnya.

”AH, kau!” profesor Jeremiah mendesis marah. Tapi dia langsung terdiam saat wanita cantik di depannya meraih penisnya yang masih tegang dan dengan tangannya yang halus dan lentik, mulai mengocoknya. Laki-laki itu pun mendesah pelan, merasa keenakan.

Apalagi saat bibir wanita itu mendekat ke ujung penisnya dan dengan perlahan, mengecupnya mesra, profesor Jeremiah langsung merintih lirih. Wanita itu menggunakan lidahnya untuk menjilat biji kemaluan sang profesor, lalu tanpa rasa jijik sedikitpun, dia melanjutkan melahap batangnya dan mengulumnya dengan penuh nafsu. Wanita itu menyedotnya kuat-kuat hingga bibirnya yang tipis terlihat sedikit monyong.

”Hmm... Slrppp... Sruupp!!” Tubuh profesor Jeremiah gemetar merasakan nikmat yang amat sangat. Dengan nafsu membara dan gairah yang sudah di ubun-ubun, dia memegang kepala wanita yang tadi hendak membunuhnya itu dan menahannya agar tidak bergerak. Lalu dengan geraman teredam, laki-laki tua itu mendorong pinggulnya hingga penisnya menyodok masuk dalam-dalam.

”Mmmm... Mmppppp!!!" sang wanita berusaha berontak, dia tidak bisa bernafas. Wanita itu mendongak dan menatap tajam profesor Jeremiah. Sepertinya ia kesal.

Tapi percuma, laki-laki itu tidak menghiraukannya. Profesor Jeremiah malah mendorong penisnya semakin dalam dan meledak di kerongkongan wanita itu.

”Aaaaah....!” Crott! Crott! Crott! Sperma sang profesor muncrat memenuhi mulut dan tenggorokan si wanita. Terengah-engah, profesor Jeremiah terduduk lemas di lantai, tersenyum dia menyaksikan wanita di depannya yang sedang terbatuk-batuk sambil berusaha memuntahkan sperma yang memenuhi mulutnya.

”Hmm, enak banget rasanya.” gumam profesor Jeremiah.

”Sialan! Tau gitu, kugigit burungmu!” umpat wanita cantik itu sambil membersihkan sisa-sisa sperma yang masih menempel di mulutnya.

Profesor Jeremiah tertawa, ”Sori, aku kelepasan tadi. Habisnya, sudah nggak tahan banget.”

”Sudah, jangan banyak omong!” wanita itu bangkit dan mengambil pisaunya. ”Sekarang, serahkan data itu, profesor!” dia mengancam dengan tubuh masih tetap telanjang.

***

Mika bangkit dari kasur. Sebelumnya, dia menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang Ms. Herny yang tergeletak di sebelahnya. Dia tidak mau membangunkan wanita cantik itu. Biarlah Ms. Herny beristirahat, wanita itu pasti lelah setelah mereka bercinta habis-habisan empat jam terakhir.

Duduk di atas kursi malas, Mika memejamkan matanya sejenak.Selang beberapa menit berlalu, ia membuka mata kemudian melihat ke arah jam dinding yang ia dapat dari aplikasi kartu kredit yang menunjukkan pukul enam sore saat ini.

Ia berdiri, lalu berjalan dengan lesu menuju meja bacanya. Meja bacanya adalah meja belajarnya, tempat rak bukunya dan juga tempat menaruh koleksi mainannya. Meja bacanya berwarna coklat dan terbuat dari kayu kualitas rendah yang dapat hancur jika terendam banjir. Untung saja rumahnya tidak terkena banjir lagi sekarang, berkat peninggian jalan dua tahun lalu. Kalau tidak, tiap tahun rumahnya bisa terendam.

Ia membuka laptop miliknya yang di bagian atasnya menempel banyak stiker-stiker unik yang ia dapat dari permen karet. Ia pun mulai duduk di depan layar laptopnya sambil menyilakan kaki. Sambil menunggu sistem operasi terbuka sempurna, matanya melirik ke arah mainan-mainan kecil yang tertata rapi di mejanya.

Banyak sekali mainan logika di rak atas meja bacanya, terutama Rubik. Mainan kotak berwarna warni itu menghiasi meja bacanya sejak empat tahun lalu. Dari rubik persegi 2x2, 3x3 sampai 7x7. Ada juga rubik-rubik beraneka bentuknya, ada segitiga, bulat, persegi panjang sampai bentuk yang tidak bisa dijelaskan.

Akhirnya matanya terusik pada sebuah rubiks cube yang teracak-acak yang terletak di sudut meja, lalu ia mengambil dan mengenggam rubiks cube tersebut dengan kedua telapak tangannya.

Selama beberapa detik matanya tidak lepas dari mainan itu dan dengan tatapan penuh konsentrasi ia melihat kotak berwarna-warni itu dari segala sisinya, lalu memulai untuk merapikan rubiks cube tersebut sesuai warnanya.

Orang yang mengenal Mika pasti tahu, kalau ia itu suka sekali bermain teka-teki. Teka-teki yang ia suka beragam, dari teka teki sederhana, logika sampai teka-teki matematika yang menguras otak ia suka.

Hobinya akan teka-teki ini juga sebenarnya didasarkan oleh karakter aslinya, yaitu sikap rasa ingin tahunya yang sangat besar bagi hal-hal yang menarik untuknya. Mika pun sampai mempunyai prinsip hidup yang ia selalu banggakan, yaitu segala sesuatunya harus ada jawabannya dan jika tidak ada jawabannya, bagaimana pun juga misteri yang ditemuinya, haruslah ia pecahkan.

Walau ia seorang maniak teka-teki, ia bukan orang yang suka membaca novel misteri. Ia lebih memilih komik detektif atau film detektif  dari pada harus membaca novel berjam-jam. Lebih tepatnya intuisinya memang kuat, tapi imaginasinya sangat lemah.

Empat puluh enam detik lamanya akhirnya rubiks itu berhasil ia pecahkan dengan sempurna, bahkan sudah cukup mengalahkan rekor tercepatnya yang ia pecahkan kemarin yaitu empat puluh delapan detik.

Rubiks itu masih di tangan kirinya, tapi tangan kanannya langsung mengenggam mouse yang ada, dan kedua bola matanya sekarang terpaku pada layar monitor laptop yang berukuran 14 inch itu.

Ia tahu apa yang akan dia lakukan sekarang.

Ia masuk ke sebuah situs yang sangat terkenal di dunia dalam urusan surat-menyurat. Ia memasukkan username dan password pada kotak yang tersedia. Begitu halaman utama terbuka, ia melihat ada tiga email masuk dalam kotak masuknya itu. Sepanjang ingatannya, dia terakhir kali membuka kotak masuk emailnya itu seminggu lalu.

Dua email pertama berasal dari teman kampusnya. Tidak ada hal yang dianggap Mika penting pada kedua isinya. Banyak sekali basa-basi dari temannya yang intinya ingin dibantu dalam pembuatan tugas kampusnya. Tidak heran, Mika memang pintar dan pernah mendapatkan gelar mahasiswa terbaik dalam beberapa semester terakhir. Ditambah, Mika dikenal bersedia membantu temannya yang kesulitan dalam tugas, hanya saja tidak pernah membantu siapa pun dalan ujian.

Mika melihat ke laptopnya lagi. Ada satu email yang tersisa yang menarik perhatiannya. Email yang tercatat masuk dua hari lalu pada pukul satu siang dan email itu dikirim oleh profesor Jeremiah, dosen pembimbingnya di kampus. Mikha memiringkan kepalanya sambil menatap heran pada tulisan di hadapannya.

*Aku melihat hasil ujianmu kemarin. Percaya atau tidak, nilaimu menurun. Yohanes saja yang dulu dibawah nilaimu mendapat nilai bagus. Masih kah kamu belajar giat seperti dahulu? Hidup itu memang berat seperti perkataanmu semalam, tapi kamu tetap harus bersemangat. Sampai nanti kamu mengerti semua yang aku katakan. Sekarang, tolong tingkatkan nilaimu ya! Temui aku segera untuk mengambil buku yang akan ku pinjamkan padamu. Dr. Benjamin Ramon  pengarangnya.*

*Ada satu pesan untukmu, kau harus hilangkan yang baik yang mengganggu. Karena, walaupun semua awalan yang baik, akan merangkai makna kalimat yang baik.*

*Oh ya, kamu boleh saja melihat dengan mata pikiranmu, tapi kamu harus mendengarkan dengan telinga hatimu, dengarkan Pemegang Rahasia Hidup, karena nanti kamu akan mengerti arti hidupmu sebenarnya.*

Kening Mika membentuk lipatan-lipatan kecil. Rasa herannya bertambah ketika selesai membaca tulisan itu sampai habis. Kebingungannya didasari oleh beberapa hal. Pertama, baru kali ini ia mendapat email seperti ini dari profesor Jeremiah. Biasanya, email yang didapatkan dari profesor Jeremiah hanyalah hasil revisi dari essay yang dikerjakannya atau tugas yang profesor Jeremiah berikan. Kedua, ia tidak bertemu profesor Jeremiah tiga hari lalu seperti keterangan yang ada di dalam email itu. Ketiga, profesor Jeremiah tidak pernah mengatakan bahwa ia akan meminjamkan buku padanya. Dan yang paling terakhir dan yang paling penting menurutnya, Mika yakin bahwa nilainya tidak pernah menurun selama ini.

Mika menggeleng-gelengkan kepalanya untuk kesekian kalinya. Dia belum mengerti apa maksud email ini. Sampai ia mengulangi bacaannya, tapi tetap saja tidak mendapat apa pun.

Tiba-tiba suara bunyi handphonenya mengejutkan Mika dan membuyarkan lamunannya. Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya lalu mengangkatnya.

“Halo.” sapa Mika ramah.

“Hai, Mik...!!!”

Mika langsung mengenal lawan bicaranya.  “Ada apa, Ton?”

“Kamu tahu soal, pak Jay?”

“Profesor Jeremiah?”

“Iya.”

“Ada apa dengannya?”

“Jadi kamu tidak tahu?”

“Tidak,” kata Mika sambil menggeleng, “Memang ada apa?”

“Semalam rumah pak Jay dimasuki perampok dan pak Jay dibunuh.”

Mika tidak tahu mengapa saat mendengar hal itu, ia hanya bisa terdiam. Tak ada kata apa pun yang keluar dari mulutnya sampai Toni, lawan bicaranya memanggilnya beberapa kali.

“Mik... Mik...”

Mika akhirnya melepas kata-katanya.

“Sorry, Ton. Aku kaget, sampai-sampai aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Berita ini terlalu mengejutkan.”

“Iya. Aku mengerti siapa pun pasti kaget mendengar ini.”

“Benar. Apalagi masalahnya baru saja aku mendapat dan membaca email dari profesor Jeremiah, yang aku rasa email itu bukan ditujukan untukku.”

“Oh ya?”

“Iya. Aku pikir begitu. Isinya agak aneh.”

“Aneh, maksudmu?”

“Nanti aku tunjukkan kalau kita bertemu.”

“Oke. Jadi kapan kamu bisa ke rumah duka? Teman-teman kita rencananya datang malam ini. Bagaimana menurutmu? Kita ikut mereka atau tidak?”

“Aku tidak bisa hari ini. Mungkin besok, Ton.”

“Kenapa?”

“Aku lelah. Dan sepertinya aku mau mengerjakan tugas.” 

“Kalau begitu kita bertemu besok saja di sana. Nanti baru kita cerita-cerita, kebetulan pulsa handphoneku hampir habis.”

“Tidak masalah, besok saja kita perginya. Tapi beri tahu aku di rumah duka mana?

“Di ruang Melati, di Rumah Duka Jelambar.”

“Oke. Aku tahu di mana itu.”

“Bagus kalau begitu.”

“Iya. Sampai ketemu besok.”

“Iya.”

Mika mematikan handphonenya dan kembali pada layar laptopnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Mika mencoba kembali membaca email tersebut sekali lagi. Di dalam pikirannya bergelut pertanyaan yang belum bisa dia jawab.

Apa email ini benar tertuju untuknya dan kalau benar begitu apa maksudnya? Atau kah memang email ini salah kirim seperti yang ia simpulkan saat ini? Ia belum tahu.

Sejenak ia berpikir, dan tiba-tiba saja ia tertarik pada sebuah kalimat pada paragraf terakhir di email itu. Pemegang Rahasia Hidup. Apa maksudnya?

***

“Ayolah, Jun!”

Nami masih saja berusaha untuk membujuk adiknya yang sedang asyik menikmati permainan online yang sedang populer pada kalangan anak-anak muda zaman ini.

“Jun....!!!”

Juna menoleh ke Nami yang sedang ada di sampingnya. Nami menciptakan senyum paling manis yang pernah ia tunjukkan kepada Juna. Juna hanya menggelengkan kepala tidak puas.

“Mi-Chan,” kata Juna perlahan, “Kenapa sih kakak begitu bersikeras untuk mengetahui kehidupan pribadi seseorang?”

“Tapi dia kan...”

“Aku tahu, kak. Kakak memang menyukainya sejak SMA. Dan sejak saat itu pun kakak sudah berusaha untuk mendapatkan hatinya. Tapi kakak harus terima kenyataannya kakak tidak berhasil mendapatkan dia, bukan?”

“Kita harus terus berusaha, bukan?”

“Memang. Tapi apa? Coba katakan padaku apa kelebihan dia, sehingga membuat kakak tergila-gila?”

“Dia itu berbeda.”

“Kak, kakak sudah mengatakan itu ribuan kali padaku. Dia berbeda. Dia berbeda dan dia selalu berbeda. Tapi kakak harus terima kenyataannya. Kalau dia tidak bisa menyukai kakak. Dan sekarang, semenjak kembali dari Jepang selama tiga tahun, kakak masih belum bisa melupakan dia?”

“Tidak bisa, kan karena dia itu...”

“Berbeda. Aku tahu kak.”

Nami tiba-tiba memasang muka cemberut. Sikapnya yang masih manja itu tidak sesuai dengan umur Nami yang tahun ini menginjak angka dua puluh lima tahun.

“Jun...Juna...” Nami mengoyang-goyangkan badan Juna sekali lagi. “Ayolah, Jun!”

Juna mengangkat tangannya. Ia akhirnya menyerah pada sikap manja kakaknya itu. ”Baiklah, kalau itu yang kakak inginkan,” tanpa rasa bersalah, dia melepas celana panjangnya.

“Ngapain kamu buka celana?” Nami melotot memperhatikan penis Juna yang sudah berdiri tegak dihadapannya.

“Nggak ngapa-ngapain, sesak banget di dalam sana.” Juna mengocoknya pelan. ”Nggak mau pegang?” dia menawarkan.

Nami menggeleng, ”Iya deh, ntar aku kocokin lagi kaya kemarin. Tapi sekarang, kamu bantuin aku dulu ya,” pintanya.

”Tidak,” Juna menolak. ”Kocokin dulu, baru aku bantu.”

Nami memberengut, ”Huh, dasar kamu!” dia meraih penis Juna dan mulai mengocoknya. ”Nanti keluarin di luar ya,” pesannya.

Juna mengangguk sambil mendesah pelan. ”Oughhhsss...”

Pelan-pelan, bibir Nami mendekat ke ujung penis adiknya, lalu ia mengecupnya pelan. Lidahnya ia gunakan untuk menjilat lubang kemaluan Juna. Lalu dengan agak canggung ia mulai memasukkan penis itu ke dalam mulutnya. Nami menyedotnya pelan.

”Mmmm.. Ssshhhhh… Sllruupp!”

Tubuh Juna gemetar merasakan nikmat. Sedotan kakaknya memang tiada duanya. Dengan nafsu menggebu-gebu, dia memegang kepala Mika yang berada di depan pinngulnya. Juna menahannya agar kepala itu tidak  bergerak. Lalu ia mulai memompa penisnya maju mundur hingga benda itu  keluar masuk di dalam mulut Mika dengan lancar.

“Mmmm... Mmppphhhh!!!” Mika berusaha berontak dengan mendorong pinggang Juna ke belakang, tapi tenaga adiknya ternyata lebih kuat.

Bukannya berhenti, Juna malah mempercepat genjotannya. Di bawahnya, Mika melotot dan menatapnya tajam. Kelihatan sekali kalau gadis itu menjadi sangat kesal. Tapi Juna tidak menghiraukannya, dia sudah berada dalam posisi tanggung sekarang. Juna sudah hampir sampai, tidak bisa kalau dia harus berhenti sekarang. Rasa nikmat semakin menjalar di ujung penisnya, membuatnya merintih-rintih dan siap meledak.

Menahan nafas, Juna menekan kepala Nami ke arah penisnya hingga benda itu masuk seluruhnya, dan tanpa memberitahu terlebih dahulu, dia menjerit lirih dan menyemburkan spermanya.

“Aarrggghhhhhhh…!” tubuh Juna mengejang seiring tiap tetes sperma yang pergi meninggalkan tubuhnya. Cairan putih itu memancar memenuhi mulut dan tenggorokan Nami. ”Huh.. Huh..” keenakan, Juna terduduk lemas di atas tempat tidurnya. Dilihatnya Nami yang sedang terbatuk-batuk memuntahkan spermanya.

“Sialan!” Nami mendengus. ”Lain kali, akan aku gigit burungmu sampai putus.”

”Aduh, jangan, kak.” Juna mengambil tisu yang ada disamping tempat tidur dan membantu mengelap sperma di mulut Nami. Dia berusaha tersenyum untuk meredakan amarah sang kakak. ”M-maaf, aku tadi benar-benar nggak tahan.”

Nami melotot sambil terus meludahkan sperma Juna yang masih menempel di sela-sela giginya. “Kan sudah aku bilang, keluarinnya di luar,” dia menabok lengan adiknya.

”Iya maaf, Kak. Aku kelepasan tadi,“

“OK, kali ini kumaafkan. Sekarang, penuhi janjimu.”

Juna segera mengenakan celananya kembali dan membuka layar lain dari laptopnya. Dia tampak serius mengerjakan sesuatu pada sebuah website.

“Memang harus ya, kak? Memeriksa email seseorang yang kita suka?”

“Udah! Kamu teruskan saja!”

Selama beberapa menit, Jun berfokus pada pekerjaannya itu. Untuk membobol sebuah email bagi Jun itu adalah hal yang sudah sangat biasa ia lakukan. Ia mungkin salah satu anak yang punya kelebihan di dunia maya. Hacking dan Cracking bukan hal asing buatnya. Dia bahkan hidup dengan hal itu. Mungkin dia belum bisa dibilang besar, namun nama Mr. J yang disandangnya sangat terkenal bagi teman-teman seprofesi di dunia maya.

“Oke. Selesai!”

Nami terlihat senang sekali saat tahu adiknya berhasil membobol email seseorang yang sudah dia sukai dari dulu. Nami semakin mendekatkan matanya untuk melihat apa yang ada di layar monitor itu.

“Oke. Oke,” katanya bersemangat, “Apa saja isinya?”

Juna memperhatikan email-email tersebut. Kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. “Semua email sudah dihapus kak, kecuali yang satu ini.”

Nami terlihat kecewa saat Juna hanya menunjuk satu-satunya email yang tertera di komputer miliknya.

“Kenapa sih dia harus menghapus emailnya?”

“Kenapa tidak?”

“Aneh. Aku tidak pernah melakukannya.”

“Ya. Masing-masing orang kan punya sifat masing-masing.”

“Oke. Email terakhir dari siapa?”

“Email itu dari dosennya, profesor Jeremiah. Kan aku sudah bilang kak, tidak ada gunanya memeriksa email orang. Ternyata bukan email penting bukan?”

“Iya sih.”

Nami mengangguk dengan kecewa sekali. Nami hanya tertunduk dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia lalu membantingkan tubuhnya ke kasur milik adiknya dan memejamkan matanya

Entah dari mana ide itu datangnya, tiba-tiba rasa ingin tahu Juna tergugah. Dia mencoba membaca email itu. Kata demi kata dibacanya dengan penuh perhatian. Sesekali ia mengerutkan kening sejenak, tersenyum tipis dan tiba-tiba terdiam.

Juna merasa ada sesuatu pada email itu.

Sesuatu yang menarik perhatiannya.

Dan dengan rasa ingin tahu yang besar, Juna kembali membacanya sampai  habis hingga mulai mengerti sesuatu. Dia menemukan suatu pesan tersembunyi yang terdapat pada email tersebut.

“Mi-Chan! Coba lihat apa yang kutemukan!”

Nami membuka matanya. Berdiri lalu menghampiri adiknya itu.

“Loh? Kok jadi kamu yang baca?”

“Jangan protes dulu, kak. Coba kakak baca dan lihat apa yang kakak temukan!”

Nami melihat kalimat demi kalimat sampai habis, tapi Nami hanya bisa menggelengkan kepala karena tidak tahu apa maksud dari adiknya.

“Aku tidak tahu.”

“Aduh, coba kakak perhatikan kalimat ini!” Juna menunjukkan kalimat tersebut. “Ada satu pesan untukmu, kau harus hilangkan “yang baik” yang mengganggu. Dan lihat kalimat selanjutnya. Karena, walaupun semua awalan yang baik, akan merangkai makna kalimat yang baik. Jadi, ada sebuah pesan pada tulisan ini, kalau kita menghilangkan kata yang baik pada kalimat kedua, maka...”

“Semua awalan akan merangkai makna kalimat..”

“Tepat kak.”

Juna tersenyum lagi.

“Terus? Apa bagusnya itu?”

“Kakak tidak mengerti ya? Kalimat itu adalah sebuah petunjuk. Petunjuk yang mengatakan bahwa ada sebuah pesan rahasia dibalik tulisan ini.”

Nami hanya tersenyum.

“Kamu terlalu mengada-ada, Jun!”

“Bukan begitu maksud aku, kak. Kalau memang itu petunjuk, pasti pesan ini sebuah permainan teka-teki yang diberikan oleh Profesor Jeremiah kepada kak Mika.”

“Oh iya. Mika suka teka-teki.”

“Nah. Kalau aku jadi kak Mika, pastinya aku sudah berhasil mendapat jawabannya.”

“Benarkah?”

Juna mengangguk.

“Apa jawabannya?”

“Melihat petunjuk dari Semua awalan akan merangkai makna kalimat. Maka aku akan mengambil tiap awal kata pada tiap kalimat kemudian menyusunnya. Lihat ini! Aku akan menebalkan tiap kata pada tiap awal kalimat.”

Aku melihat hasil ujianmu kemarin. Percaya atau tidak, nilaimu menurun. Yohanes saja yang dulu dibawah nilaimu mendapat nilai bagus. Masihkah kamu belajar giat seperti dahulu? Hidupitu memang berat seperti perkataanmu semalam, tapi kamu tetap harus bersemangat. Sampai nanti kamu mengerti semua yang aku katakan. Sekarang, tolong tingkatkan nilaimu ya! Temuiaku segera untuk mengambil buku yang akan kupinjamkan padamu. Dr. Benjamin Ramon  pengarangnya.

“Aku percaya Yohanes masih hidup sampai sekarang, temui Dr.Benjamin Ramon.”

“Apa maksudnya?.”

“Itulah kak. Aku juga masih belum mengerti maksudnya, kak. Sama sekali belum mengerti.”

“Kira-kira menurutmu, apa pentingnya teka-teki ini ya?”

“Tanyakan sendiri saja!”

Nami tersenyum dan berkata, “Iya juga ya. Aku harus bertemu Mika secepatnya untuk memberi tahu hal ini.”

“Hah???”

BERSAMBUNG