Kupu-Kupu Tanpa Sayap

Bookmark and Share


Sebuah surat kabar nasional ternama di Indonesia menerbitkan headline yang berjudul “Karena berniat untuk kabur, seorang pekerja malam ditembak oleh aparat, ketika operasi pembersihan pelacur dan sampah masyarakat digelar.” Kau pasti sering membacanya ketika kau menikmati secangkir kopi hangat di pagi hari, atau mungkin kau mendengar kejadian yang sejenis dengan itu ketika kau berkumpul dengan anggota keluargamu sambil menonton televisi, bukan? Namun, pernahkah kau menduga-duga apakah berita yang kau baca dan dengar adalah sebuah kebenaran atau malah untuk menutupi kejahatan yang ada di balik itu semua?

***

Di suatu malam. Di dalam sebuah rumah bordir, seorang wanita tengah berdandan di depan sebuah cermin. Cermin yang terdapat beberapa retakan kecil di sana-sininya

Awalnya wanita itu mengeluarkan sebuah bungkus plastik tipis yang berisi bubuk bedak putih. Hanya bedak murahan yang dia beli dengan harga seribu lima ratus rupiah, ketika dia dan seorang sahabatnya pergi ke pasar, itupun setelah bersusah payah mereka menawarnya dari seorang pedagang kaki lima di pasar. Dengan bedak itu dia memoles wajahnya. Wajah yang cukup mulus dan bersih. Walaupun bubuhan bedak tebal tidak berhasil menyamarkan beberapa garis kerutan di sekitar kedua matanya, taburan bedak putih tersebut telah menjadi topeng dan membuatnya jadi lebih menarik dan cantik.

Kemudian wanita itu menyisir rambut hitam panjangnya dengan kelima jarinya yang panjang dan kurus. Di atas meja riasnya yang berbentuk persegi, ada sebuah sisir kecil tergolek. Dia tidak menggunakan sisir kecil itu dan terus saja menelusuri rambutnya yang bergelombang. Mungkin karena air mata yang sedari tadi melumuri kedua kornea matanya, sehingga dia tidak melihat keberadaan sisir mungil itu. Atau, mungkin saja dia merasa menjadi seorang Putri Keraton ayu nan suci, ketika menyisiri untaian rambutnya yang mencapai pinggangnya yang ramping, seperti Putri Keraton yang muncul di salah satu adegan film yang pernah dia tonton bersama kekasihnya dulu, saat gedung-gedung bioskop belum menjamur dan layar tancap rutin digelar setiap malam minggu.

Dan ritual terakhir dari serangkaian kegiatannya mempercantik diri adalah memakai lipstick. Wanita itu membuka sebuah laci persegi panjang yang terdapat di meja rias kayunya, memiringkan badannya dan menelusuri isi dari laci itu. Ada beberapa lembar brosur perlengkapan dan alat kecantikan: Parfum Esprit, Lipstick Heatherette, Krim Mata L’Occitane, Pembersih Wajah StriVectin, dan Eye Shadow Nina Ricci; yang terlihat masih rapi, terawat dan tidak berdebu sama sekali. Dengan hati-hati dia mengangkat lembaran brosur itu dan meletakkannya di atas pangkuannya. Kemudian dia mengambil sebuah lipstick yang tadi ditutupi oleh lembaran brosur. Berbeda dengan bedak murahan seharga seribu lima ratus rupiah yang dia beli di pasar, lipstick yang dia gunakan adalah lipstick seharga seratus lima puluh ribu rupiah dengan tulisan Maybelline di badan lipstick itu.

Sebelum memakai lipstick, wanita itu membersihkan kaca cermin dengan sebuah kain yang selalu disiapkannya di sudut meja riasnya, memastikan kalau wajahnya terefleksi sempurna di cermin yang masih terdapat retak kecil di sana-sininya. Dia menggeser kursinya, mencondongkan punggungnya ke depan, memutar badan lipstick merahnya, membentuk mulutnya menjadi huruf O dan mulai menyapu sepasang bibirnya: bibir bagian atas dan bibir bagian bawah. Dia memperindah sepasang bibirnya yang hitam dan kering. Ya, hitam dan kering seperti dirinya. Bibir yang hitam dan kering dapat dia permak menjadi merah dan basah dengan sebuah lipstick, namun dia sama sekali tidak tahu bagaimana caranya membuat kehidupannya yang hitam dan jiwanya yang kering menjadi sama seperti bibirnya sekarang: merah dan basah.

Setelah selesai memakai lipstick, wanita itu meletakkan kembali lipstick merah itu ke dalam laci. Dia memandangi lembaran brosur di atas pangkuannya selama beberapa menit dan tak bergeming sama sekali, entah apa yang dipikirkannya. Beberapa saat kemudian dia memasukkan tumpukan brosur itu dan masih dengan berhati-hati. Dia menutup laci kayu itu dan sekali lagi dia mematut dirinya di depan cermin. Rembesan air matanya membuat bedak di sekitar kedua bawah matanya sedikit luntur.

Wanita itu memejamkan matanya dan berkata, namun terdengar seperti sebuah bisikan kecil, “Ya, Tuhan, aku tahu kalau diriku hanyalah sebuah cawan hitam yang hina, kotor dan tidak pantas mendapatkan anugerah-Mu. Namun, jika Engkau berkenan, injinkanlah Marito putriku untuk menjalani hidupnya sebagaimana mestinya dan jangan biarkan dia menjadi kupu-kupu hitam sepertiku, karena…”

“Mama,” tiba-tiba saja sebuah suara menginterupsi doanya.

Wanita itu membuka mata, berbalik ke belakang dan melihat putri kecilnya, Marito, yang berpakaian tidur putih kumal tengah berjalan ke arahnya, dengan masih setengah tertidur, mungkin, dan ada sebuah buku bergambar di pelukannya.

“Marito, kenapa tidur sambil berjalan, Sayang?” wanita itu bertanya sambil menggendong putri semata wayangnya.

“Mama, Marito, pengen seperti Mama. Marito pengen menjadi kupu-kupu, kupu-kupu yang bersayap merah dan cantiiiik sekali seperti di dalam buku,” dia berkata. Matanya terpejam sambil tetap memeluk buku yang sedari tadi dipeluknya.

Wanita itu hanya tersenyum mendengar putrinya berbicara. Dia sadar kalau dia bukanlah wanita suci, namun dia selalu berharap kalau Marito adalah seorang malaikat kecil di hidupnya. Walaupun orangtua yang melahirkan adalah seorang ibu yang hina dina dan hamil diluar nikah, anak yang dilahirkan tetaplah seorang anak yang suci dan bersih alih-alih disebut sebagai anak haram, bukan?

Wanita itu menggendong anaknya kembali ke kasurnya, menyelimutinya, memberi sebuah kecupan di keningnya dan mengucapkan, “Selamat tidur, Sayang.”

***

Di keheningan dan dinginnya angin malam yang terasa menusuk rusuk, wanita itu berjalan di daerah sekitar rel kereta api yang sering disebut dengan tempat mangkal. Dengan berbekal baju minim dan rok mini di atas lutut, dia berharap mendapatkan seorang pelanggan yang baik dan tidak menuntut yang macam-macam seperti pelanggan pada malam-malam sebelumnya. Terkadang dia memang mendapatkan pelanggan yang meminta hubungan sex yang aneh: doggy style, 69, hardcore, dan masih banyak lagi, yang tak pernah dia duga sebelumnya.

Wanita itupun sering merutuki hidupnya. Dia dilahirkan oleh seorang ibu yang tidak pernah dia lihat, bahkan hingga saat ini. Setelah melahirkan dirinya, wanita, yang seharusnya dia panggil ibu, menelantarkannya dan kabur bersama pria lain yang lebih kaya dari ayahnya. Selama enam belas tahun ia harus menahan luka, siksa dan derita bersama seorang ayah yang sangat brutal dan pemarah. Makian, tamparan, dan pukulan menjadi ibunya.

Ketika berumur tujuh belas tahun, wanita itu berkenalan dan berpacaran dengan seorang preman yang cukup terkenal di kampungnya yang bernama Sarman. Selama tiga bulan mereka memadu cinta sebagai sepasang kekasih. Hingga di suatu sabtu malam, sehabis menonton layar tancap, mereka pulang dengan berliter alcohol yang masih mengerak di batok kepala mereka. Semua terjadi bagaikan cinta satu malam. Hembusan udara malam kala itu membuat mereka kedinginan, deru nafas yang memacu kencang bagai kesetanan, hasrat manusia yang bergelak di kelamin dan dengan beralaskan tanah serta beratapkan langit hitam berataburan bintang, mereka bercinta. Kedua kelamin bercengkrama. Entah karena bulan purnama tengah menggelayut, pria itu berubah menjadi manusia serigala berbulu seketika, sedang wanita itu harus rela ditunggangi laiknya domba tak berdaya.

Empat bulan berlalu sejak malam itu, dan perut wanita itu semakin membuncit. Merasa bahwa hidupnya dan si jabang bayi akan terncam jika terus hidup bersama ayah kandungnya, dia mengajak Sarman kabur dan memilih untuk hidup di Jakarta, bukan sebagai pasangan kekasih namun sebagai sebuah keluarga.

Selama sebulan mereka hidup di daerah pinggiran kota Jakarta; di sebuah rumah bordir sederhana. Wanita itu tinggal di rumah, sedang Sarman mencoba mencari pekerjaan untuk hidup mereka berdua dan si calon bayi kelak, sebab uang persediaan yang dia curi dari uang ayah kandungnya yang saat itu tengah teler di ranjang ditambah dengan uang Sarman, hampir menipis.

Di dalam hidup yang serba ruwet ini, untung memang tak dapat diraih dan malang memang tak dapat ditolak, bukan? Setidaknya begitulah yang terjadi dalam hidup wanita itu.

Di suatu sore, ketika senja mencuri setitik merah di ujung cakrawala, wanita itu kedatangan seorang tamu dari kampung, yang mungkin tidak sangat dia harapkan: ayah kandungnya yang brutal dan pemarah. Badannya yang gemuk, bongsor, dengan rambut gondrong tak terawat dan berpakaian setengah rombeng terlihat seperti Buto Cakil raksasa yang menginginkan Timun Mas yang telah beranjak menjadi seorang gadis. Entah kenapa, atau mungkin saja karena mengetahui putri semata wayangnya yang telah hamil membawa segepok uang hasil judi dan dengan lancang kabur dengan seorang pria, ayah kandung wanita itu berteriak emosi, memanggilnya dengan sebutan, “ANAK SUNDAL!!!”

Wanita itu ketakutan, spontan berteriak meminta tolong dan berharap orang-orang di sekitar rumah bordirnya mendengar jeritannya.

Sebuah gamparan mendarat telak di pipinya, sebuah jambakan membuat ringisannya terdengar sangat pilu dan sebuah makian menusuk telinga, terlebih hati dan jiwanya. Beberapa laki-laki menonton adegan itu tanpa terlihat adanya bantuan kepadanya. Dia hanya mampu pasrah dan sedapat mungkin melindungi perutnya agar tidak menjadi sasaran dari serangkaian siksaan itu.

Saat kepalan tangan ayah kandung wanita itu akan menuju ke perutnya yang membuncit, seseorang menahannya dan seseorang yang lain menikamkan sebuah belati ke perut ayah kandung wanita itu berkali-kali, diikuti oleh hujaman belati lainnya ke arah jantung. Hingga akhirnya kematian datang dan membawa sebuah jiwa di sore itu. Sarman dan seorang pria yang baru kali ini dia lihat, telah menyelamatkan calon bayinya.

Tidak berapa lama kemudian sirene mobil polisi meraung-raung, memecah keriuhan warga daerah pinggiran, entah bagaimana dan siapa yang mengadu ke polisi tidak ada seorangpun yang tahu. Yang diketahui selanjutnya adalah Sarman dan temannya harus mendekam di penjara selama sepuluh tahun.

***

Sesampainya di tempat biasa para pelacur mangkal, wanita itu bersiap menebar pesona. Dan dia menyadari kesunyian yang sedikit mencekam dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya.

Sambil menunggu para pria hidung belang dan pria kesepian yang membutuhkan selangkangan serta kehangatan, wanita itu mengenang kembali kunjungannya ke penjara, menjumpai kekasihnya yang telah meringkuk selama delapan tahun di sel tahanan.

Seingatnya, Sarman sendiri tidak terlalu banyak berubah secara fisik. Paling banter hanya tulang pipinya yang semakin tirus; kumis, jenggot dan rambut yang gondrong, tidak terawat.

Selama hampir tiga puluh menit mereka berdua berbicara tentang banyak hal termasuk tentang Marito, putri mereka berdua. Di akhir pertemuan, Sarman bertanya kepada wanita itu, “Apakah kau masih ingat kenapa aku mencintaimu dulu?”

Wanita itu mengangguk. “Karena menurutmu aku mempunyai sepasang bibir yang paling indah di dunia, yang pernah kau kecup, bukan?”

Sarman tertawa kecil. “Ya, karena bibir itu, bibir yang selalu kau poles dengan gincu sehingga menjadi merah dan basah,” katanya sambil menelusuri bibir wanita itu. “Dan kau tentu masih ingat dengan janji bahwa tak ada satupun pria yang boleh mengulum bibir merah basahmu kecuali aku, bukan?” Sarman menimpali.

Wanita itu tersenyum, “Kubiarkan para pelangganku menyesap madu dan tubuhku, tapi tidak pernah sekalipun kubiakan mereka untuk mencium bibirku. Hanya kamu, Sarman, hanya kamu.”

Beberapa saat kemudian sipir penjara memperingatkan bahwa waktu kunjungan telah selesai dan Sarman pun kembali ke dalam selnya. Sebuah pertanyaan yang baru saja terpikirkan oleh wanita itu, menggelayut di kerongkongannya dan dia bersumpah akan menanyakannya esok hari kepada Sarman: “Apakah kau masih ingat kenapa aku mencintaimu dulu?”

“Dulu?”

***

Sudah lebih dari setengah jam wanita itu bertemankan dingin dan sunyi, namun tak seorang pelanggan pun dilihatnya, bahkan seorang pekerja sepertinya pun tidak.

Tiba-tiba saja seseorang berlari ke arah wanita itu. Berharap akan mendapatkan calon pelanggan pertamanya di malam ini, dia menyisir rambutnya dengan jemari tangannya dan mendekat ke sosok tersebut.

“Marni?” pekiknya, tidak percaya melihat temannya berlari dengan melepas sepatu hak tinggi ke arahnya. “Ada…”

“Razia! Ada beberapa polisi yang menggelar razia! Razia para pelacur dan sampah masyarakat untuk meyambut bulan Ramadhan, katanya,” wanita yang bernama Marni itu berkata dengan terengah-engah. “Lebih baik kamu segera pulang daripada harus ditangkap aparat.”

Ah, lagi-lagi untung memang tak dapat diraih dan malang memang tak dapat ditolak. Sebuah mobil polisi datang. Dan cahaya lampu mobil menimpa tubuhnya, membuat siluet lekuk payudara, perut dan selangkangannya terlihat sangat jelas. Dia mencoba kabur, tapi sayang tiga orang aparat berhasil mencegatnya. Dengan dalih pembersihan pelacur dan sampah masyarakat, mereka menyeret dirinya. Wanita itu mencoba melepaskan diri dari ketiga polisi tersebut, tapi gagal.

Kemudian dia digiring ke atas mobil, dibawa ke sebuah gudang bekas pabrik.

"Hei, mau apa kalian!" kata wanita itu. "JANGAN! LEPASKAN AKU!!" dia menjerit keras-keras. Tapi ketiga polisi itu segera mengeroyoknya. Dengan pentungan, mereka memukulnya. Dan ketika kena satu pukulan keras di pelipis, wanita itu pun terjungkal tak berdaya. Dengan kepala berkunang- kunang, dia jadi tak bisa melawan saat tubuhnya diikat dan mulutnya disumpal menggunakan kain bekas.

Satu orang yang botak dari ketiga polisi itu memeluk tubuhnya dari belakang, memegangi tangannya dan berkata "Eh, pelacur ini boleh juga, gimana kalau kita nikmati dulu!" Dia menggoyangkan pantatnya di belakang bokong bulat si wanita yang memakai rok mini.

Wanita itu meronta berusaha melepaskan ikatan tangannya, tapi tidak bisa. Dia hanya bisa marah dalam hati merasakan tubuhnya dilecehkan.

Polisi gendut yang ada di sebelahnya ikut menimpali, "Hmm, boleh juga. Pelacur ini nafsuin banget ya..." Tangannya meraba paha mulus wanita itu dan mengangkat rok mininya hingga celana dalamnya terlihat.

Wanita itu meronta, tapi si botak segera menjambak rambutnya. ”Hei, diam!” bentaknya.

Air mata wanita itu mulai berderai. Apalagi sekarang polisi yang lain tertawa-tawa dan bersorak, "Ayo, hajar saja, Bos!”

"Ufffhhhh... Henggg... Eehuufff...!" terdengar erangan wanita yang mulutnya di bekap oleh Botak. Saat laki-laki itu melepasnya, dia langsung bernafas dengan tersengal-sengal. "Tolong, jangan perkosa saya! Saya memang salah, tapi jangan perkosa saya! Saya mohon!"

Polisi Gendut tertawa, "Hahaha... ini adalah hukuman buat pelacur busuk macam kamu. Sudah tahu dilarang mangkal, masih juga bandel!"

Wanita itu merinding mendengarnya. "Ampun, Pak. Jangan. Kasihanilah saya."

Saat itulah, Gendut mengeluarkan pentungannya, ”Kamu pilih dientot atau dipukuli?!" ancamnya keras.

Wanita itu pucat pasi. Wajah putihnya makin menjadi putih. "Ja-jangan. Jangan pukul saya. Tolong, Pak, ampun!" ratapnya putus asa.

Polisi Gendut itu tertawa, dan yang lain pun ikut tertawa. "Kalau begitu, turuti apa mau kita!” hardiknya.

Wanita itu menangis tersedu-sedu.

Si Gendut lalu jongkok dan mengangkat rok mini si wanita. Lalu dia menciumi selangkangan wanita cantik itu yang masih berbalut celana dalam. Wanita itu meronta, tapi Polisi berkumis lebat yang dari tadi cuma melihat segera menempelkan belati ke lehernya. Belati mengkilap itu terasa sangat dingin, menyebarkan rasa takut di diri wanita malam itu, yang tanpa sadar membuatnya kencing karena ketakutan. Air seninya yang kekuningan merembes keluar melalui celana dalam putihnya.

"Wah, dasar pelacur! Belum di apa-apakan sudah moncrot duluan. Bikin nafsu jadi mengkeret." kata si Gendut. Yang lain tertawa menimpali. Tanpa merasa jijik dengan air kencing yang pesing itu, Gendut segera menciumi selangkangan si wanita yang basah. Lidahnya terlihat menyapu kemaluan wanita itu dari luar celana dalam.

Tubuh si wanita bergetar. Gerombolan polisi yang lain segera bersorak saat melihatnya. Sorot mata mereka tajam penuh nafsu.
Lalu Gendut berdiri lagi. "Eh, Botak, lepasin dia!” dia berkata pada temannya yang sedang memegangi tubuh mulus si wanita. Botak melepaskannya. Wanita itu sudah akan bernafas lega saat gendut melanjutkan kata-katanya. ”Aku mau menyetubuhinya sekarang!”

Si wanita yang mendengarnya segera berusaha untuk lari. Dia meloncat ke arah pintu. Tapi seorang polisi yang berbadan gelap dan tegap langsung mencegatnya, dan menampar pipinya saat sudah bisa meringkusnya. Saking kerasnya tamparan, wanita itu sampai terjengkang ke belakang. Si Hitam segera menariknya masuk dan melemparkannya lagi ke lantai.

"Eh, siapa yang suruh kamu lari!" bentaknya, dan... "Plak!!" sebuah tamparan kembali diterima wanita cantik itu.

"Ammpunn...! Jangan pukul saya! Jangan!" jerit si wanita sambil memegangi pipi mulusnya yang sekarang memerah sedikit bengkak.

Sementara Botak, berdiri di belakangnya, berjaga-jaga agar dia tidak kabur lagi. Si Kumis juga melakukan hal yang sama.

Polisi Gendut tertawa, "Hahaha... makanya, nurut aja sama apa kata kita-kita. Nggak usah nakal!" tangannya terulur, berusaha membuka paksa t-shirt si wanita yang terlihat begitu menggairahkan. Wanita itu diam pasrah, tidak berani melawan sedikit pun. Saat t-shirt dan BH yang dipakainya sudah terlepas, dia  segera berusaha menutupi tonjolan buah dadanya yang bulat membusung dengan kedua tangannya.

Tapi kembali Gendut menjambak rambutnya dan menarik tangannya. "Siapa yang suruh nutup, hah?!" bentaknya. Si wanita menggeram sakit, dan mau tak mau terpaksa melepaskan tangannya. Meski tidak rela, dia tidak bisa menolak saat buah dada besarnya menjadi tontonan.

"Wow, bagus sekali payudaramu, pentilnya kecil menggemaskan!" Gendut dengan nafsu melahap buah dada itu. Seperti seorang bayi kelaparan, dia menyucup dan menyedot putingnya keras-keras.

Tubuh si wanita mengejang. Dari mulutnya terdengar rintihan lirih penuh kesakitan, "Aahhhhgg! Aaghhhh!!" Sebelah tangan Gendut juga meremas- remas buah dadanya dengan kasar dan penuh nafsu. Menambah rasa sakit di tubuh sintalnya yang telah basah oleh keringat. Sementara di sekelilingnya, polisi-polisi yang lain menontonnya dengan penuh minat sambil mengelus-elus selangkangan masing-masing.

Sambil terus memainkan payudara, Gendut juga mulai melepas rok dan celana si wanita. Dia menariknya dengan paksa saat wanita malam itu berusaha mempertahankan penutup terakhir di tubuh polosnya. Polisi mesum itu tertawa saat benda itu berhasil dia robek jadi dua. Wanita cantik di depannya bersimpuh dengan tubuh gemetar menyadari dirinya sudah sepenuhnya telanjang sekarang.

"Ohh… masih kelihatan sempit, padahal sudah sering dipakai!” gumam Gendut saat menatap memek si wanita yang mungil, dengan bulu-bulu halus yang sedikit menutupi bagian atasnya. Lalu dengan jarinya, dia menguak benda itu.

”Oughhhh...!” wanita itu merintih saat Gendut mulai menjilatinya. Tubuh sintalnya mengejang. "Aahh... Jangan, Pak! Ampun!" pintanya.

Tapi Gendut tidak mempedulikannya, dia terus melumat dan menjilat vagina sempit itu. Dengan penuh nafsu dia menyedot-nyedot klitorisnya. Si wanita makin menjerit. Dia merasa sakit sekaligus nikmat merasakan perbuatan petugas cabul itu.

"Ah, nikmat banget memeknya, jadi gak tahan aku!” gumam Gendut sambil dengan cepat mulai melepasi pakaian seragamnya satu per satu.

Si Botak yang melihatnya berteriak protes, "Eh, kok kamu duluan? Aku dulu dong. Tadi kan aku yang nangkap nih cewek!” sergahnya.

Gendut tertawa menanggapinya, "Seperti biasa, kita lakukan sesuai urutan.”

”Urutan apa?” Botak masih tidak terima.

”Kan kontolku paling kecil, jadi aku duluan. Terus si Kumis, kamu, dan terakhir si Hitam." jawab Gendut.

Si wanita meski geram mendengarnya, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak berdaya untuk melakukan penolakan.
Dia harus menerima tubuh mulusnya dinikmati oleh ke empat polisi bejat itu.

Penis Gendut kini mendekati wajahnya. Wanita itu membuang muka. Tapi si Botak segera memegangnya dari belakang dan memutarnya hingga dia menghadapi penis gendut sekarang. Botak menahannya dalam posisi seperti itu.

"Ayo, buka mulutmu!!" kata Gendut sambil menyodok-nyodokkan ujung penisnya ke mulut si wanita yang masih tertutup.

Terus dipaksa membuat wanita cantik itu mau tak mau harus rela membuka mulutnya. Dengan terpaksa dia membiarkan penis itu meluncur masuk. Rasanya sangat pahit dan amis. Rasanya dia sudah ingin muntah, tapi wanita itu berusaha untuk menahannya.

Tanpa merasa bersalah, Gendut mulai menggoyang penisnya di mulut si wanita. Dia tampak tidak peduli dengan keadaan si wanita yang pucat dan gelagapan saat menerima sodokannya.

"Ah.. payah kamu. Lebih jago bencong Taman lawang daripada kamu!" kata si Gendut sambil mencabut penisnya dari mulut si wanita.

Wanita itu segera meludah berkali-kali sambil menghela nafas cepat mencari udara. Air mata tampak mulai menetes di sudut matanya yang bulat. Gendut tertawa saat melihatnya. "Hahaha... Ini penisku paling kecil lho, coba nanti kamu terima burungnya si Hitam yang segede pisang Ambon. Bisa mati tersedak kamu nanti!”

Wanita itu diam saja menanggapinya. Dia sudah benar-benar pasrah. Air mata semakin banyak menetes membasahi pipi mulusnya. Si Gendut yang sudah bernafsu sekali, mulai menindih tubuhnya dan menggesek-gesekkan penisnya yang mungil di mulut vaginanya. Meski sudah sering melakukannya, tak urung dia gemetar juga. Inilah untuk pertama kali dia melayani laki-laki tanpa persetujuan sebelumnya. Dan tidak cuma satu, tapi langsung lima!

Si gendut mendesah, "Ughh, licin banget memekmu! Sudah terangsang ya?"

wanita itu melihat penis si Gendut yang masih terus menyundul-nyundul lubang kemaluannya. Benda itu tidak kecil-kecil amat. Hampir dua belas centi panjangnya. Kalau yang kecil saja segitu, bagaimana yang besar? Wanita itu bergidik ngeri saat membayangkannya.

Tiba tiba si Gendut menusukkan penisnya. Sangat cepat dan dalam. Si wanita yang tidak sempat mempersiapkan diri, bereaksi dengan menjerit kuat-kuat, "Aahhggggg...! Sakittttt! Stop! Ampun!" dia menahan tubuh laki-laki itu yang kini sudah mulai memperkosanya dengan kasar.

Tapi Gendut tidak mau berhenti. Dia sudah merasakan nikmat dan sempitnya memek wanita cantik itu. Sayang kalau harus stop sekarang. Jadi dia terus menggenjot tubuhnya, memperkosa pekerja malam yang sedang sial itu dengan kasar dan sadis.

Tubuh si wanita mengejang. Dia menggigit bibir untuk menahan rasa sakit yang mendera selangkangannya. Saat laki-laki itu menghentakkan tubuhnya kuat-kuat, wanita itupun menjerit keras. Aaghhh! Sakit! Ampun! Hentikan! Sudah! Sakit!"

Tapi jeritannya itu malah membuat Gendut jadi makin bernafsu. Dengan bengis dia terus memperkosa wanita cantik itu. Saking bernafsunya hingga dia jadi tidak tahan lama. Sebentar kemudian, laki-laki itu mengejang sambil menekan penisnya dalam-dalam ke lubang kemaluan si wanita.

”Ahh, memek kamu memang enak!" geramnya sambil memuntahkan spermanya. Terengah-engah dia menatap vagina si wanita yang kini sudah basah oleh cairan putih hasil perbuatannya. "Wah, nggak rugi dah kita malam ini!” bisiknya pada teman-temannya.

Si wanita menangis sesenggukan mendengarnya. Masih ada tiga orang lagi yang harus ia puaskan malam ini.

"Eh, ayo gantian. Sana menyingkir, sekarang giliranku!" kata si Kumis. Tubuh kurusnya sudah bugil. Entah kapan dia melepas pakaiannya. Penisnya yang hitam tampak mengacung tegak, terlihat sedikit lebih besar dari punya si Gendut tadi. Dia yang sudah tak tahan, segera mengarahkan penisnya ke lubang kemaluan si wanita yang masih tampak basah menganga.

Kembali wanita itu menjerit lirih, "Aaggghhhh! Perih! Aahhh!" dia mengaduh saat merasakan vaginanya yang masih memar dihajar lagi oleh penis lain.

Kumis terlihat benar-benar bernafsu saat memperkosanya. Sambil menggerakkan pinggulnya, laki-laki itu juga menyedot-nyedot buah dadanya, membuat tubuh wanita itu jadi menggeliat dan gemetaran karena rasa sakit bercampur nikmat yang mendera tubuh montoknya.

Wanita itu terus merintih-rintih "Aaghhh... perih! S-sudah... ampun!! Hentikan! Sudah!"

Si Kumis tanpa peduli terus menghentak-hentakkan pinggulnya. Bahkan sekarang jadi sedikit lebih keras. Si wanita jadi merintih dan menjerit-jerit semakin kuat. Tapi untung, karena sudah begitu bernafsu, tak lama laki-laki itu menegang dan menggeram. Dengan tubuh gemetar Kumis ejakulasi menumpahkan spermanya yang kental ke dalam lubang kemaluan si wanita yang sudah begitu basah. Lubang sempit itu jadi begitu penuh. Sebagian sperma si Kumis tampak meleleh keluar saat laki-laki itu mencabut penisnya.

Si wanita kembali menangis terisak-isak. Dia menyesali tubuh montoknya yang sudah dimasuki penis laki-laki tanpa bisa dia nikmati. Tubuhnya  mengejat-ngejat akibat menahan sakit.

Lepas dari si Kumis, si Botak sudah siap menanti. Laki-laki itu sudah bugil dengan penis yang mengacung sepanjang dua puluh cm. Botak mendekatkannya ke muka si wanita dan berbisik, "Ayo jilat! Cepat!"

Wanita itu menolak dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Menelan punya si Gendut saja dia sudah setengah mati, apalagi yang ini, Tapi Botak segera menjambak rambutnya hingga wanita itu menjerit, "Aahhhggg...!" Pada saat itulah, penis Botak masuk memenuhi mulutnya.

Si wanita berusaha meronta, tapi dengan kasar Botak segera menggerakkan penisnya maju mundur, memaksa si wanita untuk mau tak mau terpaksa mengulumnya. Botak memperkosa mulut wanita cantik itu sepuasnya. Si empunya tidak bisa berbuat apa-apa karena kedua tangan Botak memegangi kepalanya erat-erat. Sambil mengeram, seperti harimau kelaparan yang ingin memecahkan kepala mangsanya, laki-laki itu menggerakkan kepala si wanita maju mundur.

Wanita itu hanya bisa pasrah. Dengan mata terpejam dia membiarkan  kepalanya terus digoyang oleh Botak. Kakinya yang jenjang terkadang  terkadang mengejang akibat dia yang kesulitan bernafas karena begitu besarnya kelelakian yang memenuhi mulutnya. Setelah merasakan siksaan itu cukup lama, akhirnya Botak menekan penisnya dalam-dalam dan mendiamkannya sesaat.

"Aaghhh! Aku keluarrr!" laki-laki itu menggeram. Dari dalam batangnya menyembur cairan kental hangat yang tanpa ampun langsung memenuhi mulut si wanita, sebagian bahkan masuk ke tenggorokannya hingga dengan terpaksa dia harus menelannya.

Saat Botak mencabut penisnya, si wanita segera memuntahkan sisa cairan yang masih ada di mulutnya.

"Hahaha... kenapa, spermaku pahit yah?!" kata Botak sambil tertawa. Dia mengambil sisa-sisa spermanya yang jatuh ke lantai dan mengusapkannya ke wajah cantik si wanita.

Wanita itu menggeliat meronta, "Cukup! Cukup! Tolong hentikan, kalian bangsat!!" pekiknya.

"Plaak! Plaak!" Botak menamparnya keras-keras hingga wanita itu terhuyung dan menjerit, "Aduh! Aduduh!" dan kembali dia menangis keras.

"Eh, sudah. Jangan dipukuli terus, nanti dia nggak bisa melayani aku,” kata si Hitam, yang katanya mempunyai penis terbesar.

"Eh tidak bisa. Aku belum entotin dia." kata Botak.

"Tapi kan kamu sudah keluar." balas Hitam.

”Tapi aku masih bisa ngaceng lagi, lihat!” Botak memperlihatkan penisnya yang kembali menegang.

”Tidak, pokoknya sekarang giliranku!” Hitam tetap bersikeras. Mereka berdua ribut.

melihat itu, akhirnya Gendut buka suara, "Eh, biarkan saja Botak dulu, naanti juga tiba gliran kamu. Kamu boleh pake lonte ini sepuasnya."

Mendengarnya, Hitam akhirnya mengalah dan membiarkan Botak meneruskan perbuatannya.

Tersenyum puas, Botak mulai memainkan vagina si wanita. Dangan dua jarinya dia mengocok-ngocok lubang sempit itu. Si wanita yang menerimanya cuma bisa mengejang dan menjerit-jerit kecil.

"Aaghhh.. sakit! Perih! S-sudah.. Sudah!" pintanya.

Tapi Botak tak peduli, dia terus mencolok dan mengorek-ngorek liang vagina wanita cantik itu yang basah penuh dengan sperma. Begitu kasarnya perbuatan Botak hingga kemaluan si wanita sampai merah terluka. Wanita itu makin menggeliat dan menjerit-jerit. Dia sudah benar-benar tak tahan. Untunglah, nafsu Botak bangkit lagi saat itu. Penisnya yang panjang kembali menegang penuh.

Si wanita menghela nafas lega saat Botak mulai bersiap-siap menyetubuhinya. Lebih baik begini daripada harus menghadapi tangan laki-laki itu. Dengan menahan nafas, Botak mulai menyodokkan penisnya.

"AGGHHHHH! Sakittt! Bajingan...! Aaghhh!" jerit si wanita. Ternyata rasanya sama saja. Wanita itu sampai meneteskan air mata karenanya.

Melihatnya, bukannya bergerak pelan-pelan, si Botak malah makin menghentakkan pinggulnya keras-keras. Semakin wanita itu menjerit, semakin dia suka dan terangsang.

Si wanita yang terus diperkosa, tubuhnya sampai bergetar menahan rasa sakit. Botak tak hanya menghajar vaginanya, tapi juga buah dadanya yang menggantung indah. Laki-laki itu meremas-remasnya dengan keras dan kasar. Putingnya yang mungil dipijit dan dipilin-pilin kencang.

Botak juga makin menekan penisnya dalam-dalam. Jerit si wanita yang melengking sampai berubah menjadi parau. Wanita itu mulai kehabisan suara dan tenaga. Laki-laki ini cukup lama memperkosanya. Tapi lagi-lagi dia beruntung. Di saat dia sudah tidak tahan dan hampir pingsan, Botak akhirnya melepaskan spermanya. Laki-laki itu berejakulasi di dalam vaginanya.

”Ughhhh...” si wanita mengeluh, vaginanya terasa begitu basah dan panas.

Tapi belum juga dia menghela nafas, si Hitam sudah menunggunya dengan penis besar yang sudah tegak mengacung. Ukurannya hampir sama dengan punya Botak tapi sedikit lebih panjang.
Rasanya juga lebih keras. Sepertinya penis itu akan tahan sangat lama. Ini adalah bencana bagi si wanita.

Hitam tak berkedip menatap vagina memar yang ada di depannya. "Hei, gila kamu ya, memeknya sampai jadi berantakan kayak gini." katanya.

Botak yang menjadi tersangka hanya cengar-cengir. Si wanita hanya bisa menatap penuh hiba pada dua laki-laki biadab itu. "Ampun, Pak. Saya sudah tidak kuat lagi. Sakit! Jangan perkosa saya lagi!"

Polisi berkulit hitam itu tersenyum, "Tenang saja, saya bakal pelan-pelan kok.” katanya sambil menggesek-gesekkan ujung penisnya di klitoris si wanita yang sedikit bengkak kerena memar.

Si wanita mengigit bibirnya dan... "AGGHHHHHH! Sakitt! Ampun! Sudah, Pak! Kasihani saya. Aagghhhh!" jeritnya saat laki-laki tinggi besar itu mulai memperkosanya. Penis besar laki-laki itu maju mundur memenuhi lubang kemaluannya. Meski pelan, tapi rasa sakitnya luar biasa. Vaginanya seperti ditusuk dan dirobek-robek. Dia tidak bisa menampung benda sebesar itu.

"Wah, vagina kamu memang luar biasa. Sudah dipakai rame-rame, masih juga seret!" kata Hitam. Dia terlihat sangat menikmati gesekan dinding liang vagina wanita cantik itu dengan penisnya.

”Aghhhh... kontolmu yang terlalu besar!” jerit si wanita sambil menggeleng-geleng tak karuan. Air mata semakin deras mengaliri sudut matanya. Dia ingin menolak rasa sakit itu, tapi tidak bisa. Penis Hitam seperti mengisi penuh ruang-ruang di dalam vaginanya. Dia tidak bisa lari kemana-mana.

Wanita itu cuma bisa menggigit bibir dan terdiam untuk menahan rasa sakit.
Sementara diatasnya, Polisi Hitam itu terus memperkosanya, pelan tapi menyakitkan.

Si wanita sedikit menggeliat dan membuka kakinya saat laki-laki diatasnya mulai bergerak sedikit lebih cepat. Rintihan mulai terdengar keluar dari mulutnya yang tipis. "Aaghhh! Perihhh! Aaghhh! Pelan-pelan!"

Tapi Hitam terus menghujamkan penisnya kuat-kuat. Bahkan sangat dalam. Tubuh si wanita sampai mengejang karenanya.

"Gila! Memeknya seret banget, enak sekaliii!" dengus Hitam sambil mempercepat gerakannya. Nafasnya terdengar semakin berat. Dan akhirnya, sambil menggeram, laki-laki itu membenamkan penisnya dalam-dalam. Sperma kental moncrot dari dalam kemaluannya.

"Oohhh! Enak sekali." Geramnya dengan nafas tersengal sengal, seperti habis lari maraton. Laki-laki itu lalu terduduk lemas di depan si wanita dengan penis mulai mengkerut dan mengecil.

Memek si wanita terlihat semakin memar. Sperma Hitam yang berhamburan di liang senggamanya, makin menambah rasa sakitnya. Wanita itu terisak-isak dengan tubuh lemas tak berdaya menyesali nasibnya yang sial, diperkosa oleh empat polisi berperut buncit, bertampang babi, dan berhati serigala.


Dari langit, cahaya bulan keperakan menembus genting berlubang, menyepuh keringat keempat pria bangsat yang sudah orgasme dan seorang wanita yang melenguh kesakitan di pabrik itu.

***

Nun jauh di sebuah sel tahanan di penjara, sepasang pria bersimbah peluh sedang bercinta. Sarman terlihat sangat menikmati tusukan kelaminnya ke lubang anus teman satu selnya yang telah menemaninya selama delapan tahun, teman yang dulu ikut menikam ayah kandung wanita itu hingga mampus.

Dari langit, cahaya bulan keperakan menembus jeruji besi di dinding kusam, menimpa tubuh kedua insan yang tengah menikmati birahi yang menggelak di kelamin dan lubang anus.

***

Di sebuah rumah bordir tua, seorang anak kecil tengah tertidur lelap berselimutkan kain tipis dan ada sebuah buku bergambar dipelukan tangannya yang mungil. Sesekali gadis itu mengigau, memanggil-manggil mamanya, “Mama… Mama…” Kemudian dia terlelap kembali dan tak berapa lama tersenyum kecil.

Dari langit, cahaya bulan keperakan menembus sela-sela atap besi karatan, menelusup hingga ke dalam mimpi si gadis kecil yang sedang bermimpi menjadi kupu-kupu merah yang terbang ditemani seelor kupu-kupu dewasa; mamanya, mungkin.

END