Perahu

Bookmark and Share

Ayah sedang sakit. Ibu menjaganya di rumah. Tidak dibawa ke rumah sakit, karena ketiadaan uang. Untuk sementara, aku yang menggantikan ayah melaut. Ayah terus menerus batuk dan mengeluarkan darah. TBC, kata orang-orang. Aku pun menembus kabut pagi ke tengah laut, sembari menebar jaring kecil sendirian dengan perahu milik ayah. Perahu kecil dengan cadik kecil di kedua sisinya. Aku pun berhenti sekolah.

Adikku Sutinah, mulai besok libur sekolah. Dia kelas 1 SMP, tak lagi naik ke kelas 2. Aku senang, begitu adikku Sutinah libur, berarti ada yang menolong ibu di rumah. Tapi malah adikku Sutinah ingin ikut denganku melaut. Akhirnya ibu mengizinkannya.

Matahari belum muncul. Angin masih berhembus ke laut. Kami cepat-cepat naik perahu dan mengayuh agak ke tengah. Lalu kami pasang layar kecil. Dan perahu pun melaju ke tengah laut. Aku tinggal menjaga kemudi agar perahu lurus jalannya. Sutinah duduk di depanku dan menghadap ke arahku. Sesekali dia mempermainkan air laut yang berdesir-desir. Dia berpegangan kuat ke dinding perahu dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba ombak di depan mengeras. Perahu kami terangkat ke atas, kemudian terhempas ke bawah. Saat itu, rok Sutinah terangkat. Ahh… Sutinah, tidak memakai celana dalam. Mungkin lupa, atau mungkin celana dalamnya lagi basah. Maklum dia hanya memiliki dua buah celana dalam. Akhirnya kami sampai ke pulau kecil. Aku menebar jaring kecil berkeliling. Usai itu, ujung tali kami tambat ke buritan, dan kami sama-sama berkayuh ke tepi pantai pulau kecil itu.

Jangkar yang terbuat dari sepotong besi yang melengkung, kami jatuhkan agar perahu tak bergerak. Kami perlahan-lahan menarik ujung tali. Tangan kami merasakan ada getar-getar kecil jauh di ujung jaring. Aku yakin, ada ikan di dalamnya. Jaring semakin mendekat. Kami pun mengangkatnya. Benar, ada puluhan ikan ukuran kecil, sedang dan agak besar. Kami memasukkannya ke dalam perut perahu. Saat mengangkat yang terakhir, Sutinah terpeleset. Tercebur ke laut. Untung aku masih sempat mengangkat semua jaring itu ke dalam perahu. Aku melihat Sutinah bersusah payah berenang mendekati perahu. Aku mencebur ke laut dan menangkap adikku itu. Dia kugendong dan kuangkat ke dalam perahu. Saat kutolak pantatnya, terpegang olehku pantatnya yang tanpa celana dalam. Aku juga menyentuh buah dadanya yang mungil.

Sutinah hanya memakai baju kaos tipis dan tidak juga memakai beha. Selama ini dia hanya memakai singlet saja.. Akibat kuyup, teteknya membayang di bajunya, tanpa dia sadari. Aku terkesima dan langsung birahiku bangkit. Aku diam saja, agar tetek itu tetap membayang di bajunya yang basah.

“Maafkan aku, Mas,” katanya ketakutan. Dia takut aku marah, karena ketidak hati-hatiannya. Aku diam saja dan membenahi jaring untuk kubuang sekali lagi. Sutinah mendekatiku dan mendekapku, sembari kembali meminta maaf.

Aku kasihan padanya. Aku balas memeluknya. Kami berpelukan. Kemudian perlahan kembali mengayuh ke tengah dan menebar jaring yang kedua kalinya. Dua puluh menit kemudian, kami kembali menariknya dan mengangkat puluhan ekor ikan ukuran kecil dan menengah. Kami hitung bersama, ada 62 ekor ikan, berkisar 11 kilogram. Kami pun merapatkan perahu ke pulau kecil. Sutinah kuajak ke sebuah pancuran kecil yang mengalirkan air sejuk dari puncak bukit. Kupanggil Sutinah untuk mandi. Mulanya dia ragu. Kuseret tangannya. Lalu kubuka pakaiannya.

“Malu, Mas.” katanya.

“Kamu harus mandi, dik. Nanti kamu sakit, air laut lengket di tubuh,” kataku beralasan.

Akhirnya Sutinah mau membuka bajunya dan bertelanjang. Dia menutupi teteknya dengan sebelah tangannya dan sebelah lagi menutupi memeknya yang belum berbulu sama sekali. Aku juga membuka pakaianku dan bertelanjang lalu sama-sama mandi di pancuran kecil itu. Aku menyuruhnya cepat, takut kalau ada nelayan lain yang datang. Kemudian aku mencuci pakaiannya yang terkena air laut. Setelah memerasnya, memakaikannya kembali. Matahari mulai meninggi. Kami takut, ikan kami tak laku, jadi kami cepat balik ke tepian dan naik ke perahu.

Layar kecil, kembali kami pasang agar tak perlu mengayuh. Kuminta agar Sutinah dekat denganku. Saat perahu berjalan perlahan, kuminta agar Sutinah naik ke pangkuanku. Lagi-lagi Sutinah ragu. Setelah kupelototi, akhirnya dia naik ke pangkuanku. Punggungnya menyandar ke dadaku. Perlahan penisku naik. Perlahan celana yang hanya pakai karet tanpa celana dalam itu kupelorotkan ke bawah. Lalu kuangkat Sutinah dan kusingkap roknya. Jelas, penisku menempel di belahan pantatnya. Sebelah tanganku memegang kemudi dan sebelah lagi memeluknya. Kumasukkan tanganku ke sebalik baju kaosnya dan mengelus-elus buah dadanya.

“Mas, nanti…”

“Udah, diam saja,” aku setengah membentak.
Perahu terus melaju menuju tepian. Menurut perkiraan, akan sampai berkisar satu jam lagi. Secepatnya jika angin kencang, 45 menit.

“Mas, geli…”

“Yah. Mas tahu, geli. Tapi enak kan? Jangan bohong,” kataku.

Sutinah diam. Akhirnya Sutinah menggeliat-geliat. Ujung penisku sudah berkali-kali menyentuh-nyentuh parit memeknya. Aku merasa nikmat sekali. Sutinah pun menunduk-nunduk, sepertinya dia mencari-cari agar ujung penisku mengenai klentitnya. Aku mendengar sesekali dia mendesah. Kuciumi lehernya seraya terus meraba pentil teteknya yang masih mungil. Sampai akhirnya aku melepaskan spermaku.

Kami sampai di darat. Ibu sudah menunggu di tepian. Pembeli ikan naik sepeda sudah menunggu juga. Akhirnya ikan kami jual. Rp. 83.000,- Ibu tersenyum.

“Rezeki kamu bagus, Rin,” kata ibu.

“Ini rezeki Sutinah, Bu,” kataku. Sutinah tersenyum.

“Baguslah. Kalau begitu Besok Sutinah ikut lagi, ya” kata ibu pada Sutinah.

Sutinah tersenyum dan menganguk. Aku senang. “Sutinah harus ikut, bu. Biar aku ada teman dan Sutinah rezekinya bagus,” pujiku pula. Ibu tersenyum.

Di rumah, aku memperbaiki jaring yang koyak dan Sutinah datang.
“Besok aku ikut lagi ya, Mas,” katanya seperti membujuk.

“Ya. Tapi seperti tadi ya. Jangan pakai celana dalam dan pakai baju kaos saja,” kataku. Sutinah mengangguk. Aman, pikirku.

***

Keesokan harinya.

Jaring kami tabur lagi dan tarik. Kami tabur lagi dan kami tarik pula sampai tiga kali. Kami mendapatkan ikan lebih banyak dari kemarin. Aku mengajak Sutinah mandi ke pancuran. Aku sudah membawa sabun mandi. Kami mandi berdua bertelanjang. Sutinah seperti mulai terbiasa dan tidak malu lagi. Dalam tubuh kami dilumuri sabun, kami berpelukan. Kucium Sutinah, kuemut teteknya sampai Sutinah menggelinjang. Setelah puas menciuminya, kami cepat memakai pakaian dan naik ke perahu. Perahu-perahu besar sudah lebih dahulu ke darat. Mereka ingin mendahului kami, agar ikan mereka lebih mahal. Aku justru senang, kami belakangan dari mereka. Perlahan aku memasang layar dan perahu melajur perlahan pula. Sutinah seperti tahu sendiri, dia mendatangiku dan naik ke pangkuanku. Aku justru memintanya agar dia menghadapku. Perlahan dia naik mengangkangi kedua kakiku. Aku sudah mengeluarkan penisku yang tegang.

“Pegang titit, Mas. Kenakan ke anu-mu,” perintahku.

Sutinah pun memegang penisku lalu ujungnya dia tempelkan ke lubang memeknya. Perahu terus melaju dan gelombang kecil mengayun-ayunkan kami. Gesekan demi gesekan kami rasakan, membuat kami kenikmatan. Sampai akhirnya kami berpelukan dan aku melepaskan sepermaku beberapa kali ke pintu lubang memek Sutinah.

Bibir pantai sudah jelas terlihat. Aku minta Sutinah agar duduk di tengah.
Perlahan dia bangkit dan duduk di tengah berpegangan pada kedua sisi perahu.

Kami tiba di pantai. Ibu juga sudah menunggu. Pedagang ikan mulai berdatangan. Kebetulan harga ikan naik jadi kami menjual ikan seharga Rp.118.000,- Kembali ibu tersenyum dan memuji kami. Aku tetap memuji Sutinah. Sutinah pun tersenyum dan bangga. Kami pulang ke rumah setelah menambatkan perahu dan aku pun kembali memperbaiki jaring yang rusak serta memblei benang yang kurang.

***

 

Atas pertolongan penyuluh kesehatan yang memasuki desa-desa dan ABRI masuk Desa, akhirnya ayahku mendapat kesempatan untuk berobat gratis ke rumah sakit di kabupaten. Ayah dibawa naik ambulance militer dengan sirene meraung-raung. Sutinah menangis, ketika ayah dibawa naik ambulance itu. Dia memelukku. Ibu menemani ayah ke rumah sakit dengan membawa semua peralatan yang dibutuhkan. Kata mereka setidaknya ayah harus dipname selama 4 bulan, kemudian harus makan obat teratur dan diawasi. TBC, masih bisa disembuhkan, kata mereka. Kami pun agak lega juga.

Aku dan adikku Sutinah, menyusul ayah dengan naik sepeda. Siang kami tiba di rumah sakit. Ayah dirawat. Tangannya sebelah diinfus. Hidungnya, diberi pernafasan. Kata mereka namanya oksigen. Ayah mulai lega bernafas. Ibu pun dirawat juga dengan diinjeksi dan diberi obat. Kami hanya dua jam di rumah sakit. Setelah itu, kami pulang dan tak lupa membeli peralatan untuk menambal jaring. Kami sempat makan di warung tepi jalan dan makan dengan lahapnya. Pukul 17.00, kami baru tiba di rumah. Aku langsung tidur karena keletihan mengayuh sepeda.

Dalam aku tertidur, aku merasakan, kemaluanku seperti dielus-elus. Aku terbangun. Kulihat adikku Sutinah sedang mengelus-elus kontolku.

“Ada apa, Su?” tanyaku.

“Tadinya titit Mas kecil. Lama-lama jadi besar.” kata adikku. Aku tersenyum saja. “Aku laga-laga ke tempikku ya, Mas. Seperti di perahu itu?” kata adikku.

Aku diam saja dan kembali menutup mataku. Sutinah langsung menaiki tubuhku. Kedua kakinya mengangkangi tubuhku. Ditangkapnya kontolku dan dilaganya ke lubang memeknya. Kedua lututnya bertumpu pada lantai.

“Tekan yang kuat, Su. Titit Mas, dimasuki ke dalam lubang tempikmu,”  kataku.

Adikku melakukannya. “Ah, Mas. Sakit,” katanya.

“Perlahan-lahan. Nanti lama-lama gak sakit lagi,” kataku.

Dia melakukannya, tapi mengatakan tetap sakit. Ya sudah.

“Kamu buka bajumu. Kamu telanjang saja,” kataku.

“Nanti dilihat orang,” bisiknya.

“Tak ada yang melihat. Hanya kita beruda saja,” kataku.

Akhirnya Sutinah mau dan melepas pakaiannya sampai telanjang. Aku duduk dan memangkunya. Aku mempraktekkan bagaimana Lek Parto menjilati pentil tetek isterinya dan menjilati memek isterinya. Isteri Lek Parti menggeliat-geliat kenikmatan. Aku akan buat adikku nikmat, bisik hatiku. Aku juga melepas semua pakaianku. Aku mulai menjilati tetek Sutinah. Pentilnya yang kecil dan teteknya yang mungil. Benar. Sutinah merasa kegelian. Aku minta dia menikmatinya. Sutinah diam, mulai menikmatinya.

“Enak, kan?” bisikku.

“Heemmm…” jawab Sutinah.

“Kamu pergi ke belakang dulu.
Basuh tempikmu pakai sabun sampai bersih,” kataku.

“Untuk apa, Mas?”

“Ikut saja apa aku bilang. Sana!”

Sutinah mengikuti saranku. Aku ingin mendengar desahnya, seperti desah isteri Lek Parto. Sekembali Sutinah, aku suruh dia telentang di lantai beralaskan tikar. Di rumah kami memang tidak ada kasur. Sutinah mengikuti. Aku mulai menjilati memeknya. Memek yang belum berbulu sama sekali. Memek yang masih ada satu garis dengan bibirnya yang sedikit membentuk.

“Ah…” Sutinah mulai mendesah saat lidahku mulai meliuk-liuk pada itilnya yang mungil. “Mas…”

“Udah diam saja. Enak kok,” kataku.

Sutinah diam dan kembali mendesah-desah. “Udah, Mas. Aku mau pipis, udah,” katanya.

Aku meneruskan. Tak mungkin Sutinah berani pipis di mulutku, pikirku. Aku terus menjilati memeknya. Sampai dia menjepit kepalaku dengan kedua kakinya.

“Mas, aku pipissss…” Desahnya.

Aku terus menjilatinya sampai akhirnya kedua kakinya melemas.

“Udah, mas. Kasihani Suti, Mas,” katanya.

Cairan kental meleleh di ujung lidahku. Aku segera memeluknya.

“Maaf, Mas. Aku tadi pipis di mulut Mas,” katanya.

Aku diam saja. Aku terus memeluknya dan menempelkan kontolku ke tempiknya. “Kamu masukin titit mas ke dalam mulutmu,” kataku.

Sutinah ragu.

“Ayo.” kataku.

Sutinah duduk di sisiku dan memegang kontolku. Perlaha dia masukkan kontolku ke mulutnya. Kuminta dia memainkan lidahnya pada kontolku dan giginya jangan sampai mengenai kontolku. Sutinah melakukannya. Aku mengulur tarik kontolku dalam mulutnya. Sampai maniku tumpah di dalam mulutnya beberapa kali.

“Mas,” katanya.

“Kalau kamu gak mau telan, ya dibuang saja,” kataku.

Suti pun meludahkan maniku dari mulutnya. Kuraih tubuhnya dan memeluknya sembari menciumi pipinya. Kami bepelukan lagi. Tak lama Suti mengatakan nasi sudah siap dari tadi dan kami harus makan. Suti menaruh nasi ke piringku dan ke piringnya bersama lauknya.

“Aku seperti ibu ya Mas. Dan Mas jadi bapak,” katanya.

“Ya. Kita main suami-isteri. Aku suaminya dan kamu isterinya.” kataku pula mengikuti ucapannya. Dia tersenyum.

Lalu Suti pun menirukan kelakukan ibu kepada ayah kami. Bagaimana ibu memperhatikan dan memperlakukan ayah, begitu pula Suti terhadapku. Ibu kami juga memangil Mas kepada ayah dan ayah memanggil bu ne kepada ibu kami. Ketika aku panggi namanya Suti, Suti memintaku agar aku memanggilnya Bu ne. Sembari tersenyum, aku mengikutinya.

“Tapi kalau tak ada yang mendengar ya?” kataku. Suti mengangguk. Aku pun meanggilnya Bu ne. Nampaknya dia senang. Ya sudah.

Malamnya kami tidur untuk besok subuh kami harus melaut. Kami bepelukan.
Subuh, Suti membangunkan aku. Orang-orang sudah berlalu lalang mau melaut.
Kami bangun, mencuci muka dan membuka pintu. Kami turun dari rumah melalui tangga. Di bawah rumah kami melepas perahu setelah mengisinya dengan jaring. Perahu memang tertambat di bawah rumah kami yang airnya kurang lebih setinggi lutut. Hampir sepinggang. Kami naik ke atas perahu.

“Bu ne, kamu jangan terlalu jauh ke depan,” kataku.

Dengan senyum Suti mengikutiku dan berpindah mendekatiku ke belakang sembari mendayung. Kami mengikuti alur air menuju laut tengah. Dengan cekatan setelah berada 50 meter di laut, Suti menegakkan tiang layar dan mengikat layarnya. Dia sudah cekatan nampaknya. Tali layar.dia pegang kuat dan mengulurnya sedikit jika perahu oleng. Aku memegang kemudi.

“Bu ne bersandar ke dada Mas ya?” katanya manja. Dia sudah pula menyebut dirinya dengan kata Bu ne. Aku biarkan saja.

Hari masih gelap, perahu-perahu kecil berlayar plastik putih kelihatan sudah mulai banyak di tengah laut. Kami mengikutinya dengan menjaga jarak, agar mereka tidak melihat Suti bersandar padaku dengan manja.

“Kita ke tempat biasa ya, Mas?“ kata Suti.

Aku mengarahkan perahu ke sana. Tapi di sana sudah ada dua perahu lebih dulu. Akhirnya kami mengarahkan perahu ke rimbunnya pohon-pohon bakau seperti sebuah teluk kecil. Kami mulai melepas jaring. Kemudian menariknya perlahan. Aku merasakan ikan-ikan bergetar di dalam jaring.

“Hati-hati, nampaknya ikannya banyak,” kataku.

Benar saja, ikan menggelepar-gelepar di jaring. Setelah melepas ikan-ikan itu, kami menebar lagi di tempat yang sama. Kami tarik lagi. Tiga kali kami menebarnya, kemudian kami keluar dari teluk itu. Kami tersenyum. Tangkapan kami hari ini lumayan baik. Kutarik Suti mendekatiku dan kukecup bibirnya, seperti apa yang dilakukan Lek Parto pada isterinya.

“Kamu isap lidah Mas ya. Kita bergantian mengisap lidah,” kataku. Suti menatapku.

“Kamu mau ya, Bu ne?” kataku merayunya.
Suti tersenyum setiap kali aku memanggilnya Bu ne. Kulurkan lidahku dan Suti mulai mengemutnya. Kami bergantian melakukannya.

“Ayo sudah. Ki
ta harus cepat ke darat. Nanti pembeli ikan pada pulang,” kataku.

Kami memasang layar dan mengarahkannya pulang. Perahu melaju agak kencang karena angin yang bertiup mendorong kami ke darat.
Para pembeli ikan menyerbu kami dan kami menjualnya Seorang tentara yang ikut masuk desa mengawasi kami. Pembeli ikan tak berani macam-macam. Kami mendapat uang hampir dua ratus ribu rupiah.
Perahu kami kayuh ke kolong rumah dan kami naik ke atas. Aku minta Suti membeli mi goreng dua bungkus dan aku memasak nasi. Begitu nasi masak. Suti sudah pulang dari membeli Mi goreng.
Kami makan nasi bercampur mi goreng. Kami makan dengan lahap.

“Kita tidur-tiduran lagi ya, Mas?” kata Suti.

“Sebentar, biar Mas betulin jaring dulu. Setelah siap kita boleh tidur. Kalau tidak, nanti kita keasyikan dan lupa memperbaiki jaring,” kataku.

Suti merajuk.

“Sabar dong, Bu ne.” kataku merayu.

Suti tersenyum dan memelukku. “Iya, mas. Bu ne ikut membantu ya?” katanya menyeret tanganku. Kami mengeluarkan jaring dari perahu dan menjemurnya, sembari memperbaikinya.

***

Ibu senang sekali ketika aku dan Suti membesuk ayah ke rumah sakit. Kami membawa tiga bungkus mie goreng. Mie goreng di ibukota Kabupaten ternyata jauh lebih enak dari di kampung kami. Satu untuk ayah, satu bungkus untuk ibu dan satu bungkus untuk kami bagi berdua. Selain itu, aku menyerahkan uang Rp. 200 ribu untuk ayah. Siapa tahu ada keperluan yang harus dibeli. Ayah dan ibu senang sekali.

”Kalau uang, tolong di simpan saja. Nanti kalau kami butuh, kami akan minta. Sebab kami di rumah sakit, semua obat ditanggung oleh pemerintah.” kata ibu. Menurutnya, uang Rp 200 ribu itu cukup untuk sepuluh hari. Ibu juga meminta kami agar jangan lupa makan, menjaga kesehatan dan ayah tak lama lagi akan dicabut oksigennya dari hidung. Infusnya juga akan dicabut. Ayah butuh istirahat tiga bulan lebih lagi, tambahnya.

Kami pun pulang ke kampung lagi. Kami beli beras secukupnya dan segala kebutuhan, seperti garam, bubik teh, gula dan sebagainya. Sutini senang sekali membelanjakan uang untuk kebutuhan kami satu minggu. Dia merasa benar-benar menjadi seorang ibu beneran. Sore setelah empat jam berkayu sepeda, kami tiba di rumah. Semua kebutuhan kami angkat ke rumah dan kami mulai masak bersama. Telur ayam, beras dan sebagainya kami angkat. Sementara Suti membenahi makan malam, aku membenahi jaring. Jaring aku perbesar dan perpanjang. Kami berharap, ikan akan lebih banyak dapat. Kalau selama ini jaring kami sepanjang 18 meter, kini jadi 32 meter. Perahu terasa penuh berisi jaring.

Seusai makan malam, kami tidur. Suti memakai kain sarung batik tanpa apa-apa lagi di dalamnya. Dia menirukan ibu kami. Aku hanya memakai sarung dan kaos singlet. Setelah menyiapkan serantang nasi dan lauk telur rebus dan kecap kecil untuk bekal kami besok pagi di laut, kami mematikan lampu dan masuk tidur. Aku melepas semua pakaianku dan meminta Suti juga melepas pakaiannya. Kami tidur bertelanjang. Aku tanya apakah Suti sudah cebok dan menyabuni tempiknya, Suti menjawab sudah. Kami tersenyum dalam gelap gulita. Hanya ada cahaya bintang memasuki rumah gubuk kami dari celah-celah dinding.

“Kamu pernah melihat ayah menindih ibu waktu malam?” tanyaku pada Suti.

Rumah kami tidak berkamar. Hanya dibatasi oleh kain saja, membedakan dimana ibu dan ayah kami tidur dan dimana aku dan Suti tidur. Suti menjawab pernah. Dua atau tiga kali kami pernah mengintip ayah dan ibu tidur tindih-tindihan di tengah malam, saat kami sudah tertidur lelap.

“Ya sudah. Kita juga seperti itu,” kataku.

“Tapi Mas kan berat?” katanya.

”Kalau ayah bisa menindih ibu, kenapa kamu tidak. Kita coba saja,” kataku.

Suti setuju. Kami berpelukan dulu seperti ayah dan ibu. Berciuman seperti Lek Parto dan isterinya. Mengisap tetek dan menjilati memek dan mengemut kemaluan bergantian. Semua yang pernah kami lihat, kami lakukan. Ternyata memang enak.

“Mas buka tempikmu ya. Mas masukkan titit Mas ke dalamnya ya?” kataku.

Suti setuju. Setelah mejilati memeknya, aku tujukan ujung kontolku ke lubang memeknya. Aku menekannya. Suti merintih. “Sakit, Mas…”

“Ya. Mulanya sakit, tapi nanti kalau sudah hilang sakitnya, jadi enak,” kataku.

“Memang Mas sudah pernah melakukannya?” tanya Suti.

Aku bercerita, teman-temanku sudah pernah melakukannya dan mengatakan begitu.
Suti pun mau. Kutekan kontolku ke dalam lubang memeknya. Suti merintih.

“Bagaimana, masih tahan?” tanyaku membiarkan kontolku di lubang memeknya. Suti diam saja.

“Tapi betulkan, kalau sudah hilang sakitnya, pasti jadi enak kan?” tanyanya.

“Ya, pasti,” kataku. Padahal itu hanya ucapan Lek Parto yang kutanyai dan bercerita tentang persetubuhan di bawah pohon kelapa sembari kami memperbaiki jaring.
Kutekan lagi kontolku dengan lebih kuat hingga ujung kontolku terasa sakit.

“Aduh, Mas…
Sakiiiiittttt...!!” rintihnya.

“Ya. Mas juga sakit. Bagaimana, Kita berhenti atau kita teruskan?” kataku. Suti diam tak menjawab sembari menggigit bibirnya. Ketika kucium pipinya, terasa olehku ada lelehan airmata di sana.

“Maaf, dik.” kataku.

“Bu ne merasa sakit, Mas.” katanya meringis.

“Maaf, Bu ne. Tapi sebentar lagi gak sakit lagi kok. Mas janji, Bu ne,” kataku.

Suti kembali senang dipanggil Bu ne. “Ya sudah, diteruskan aja, Mas. Tapi pelan-pelan ya?” katanya.

Aku menciumnya dan memeluknya, lalu menekan kuat-kuat kontolku. Sreeeggg… Sreeeggg... Kontolku sudah terbenam semuanya. Suti menjerit agak kuat. “Massss…” Aku langsung menjulurkan lidahku ke dalam mulutnya, agar suaranya tak keluar. Dia terus menangis. Aku membelai-belai rambutnya.

“Sakit ya, Bu ne?” rayuku.

Suti terus menengis. Aku mengatakan, kalau kontolku juga sangat sakit. Tapi aku percaya dua hari lagi, sakitnya pasti hilang. Hari ketiga kita sudah menikmatinya. Suti pun tak menangis lagi. Tapi sesekali suara sesenggukan masih terdengar juga.

***

Pagi itu, kami tidak ke laut karena kesiangan bangun. Ketika kami bangun, matahari sudah menyapu-nyapu wajah kami. Kami bangun dan aku menuntun Suti ke belakang untuk mandi. Aku takut juga, ketika Suti menangis saat melangkah. Katanya sangat sakit dan perih. Begitu juga saat dia pipis, katanya lubang pipisnya sangat sakit sekali. Aku jadi ketakutan dan sedih. Akhirnya setelah dia usai mandi, aku membopongnya. Aku memasak nasi. Ketika kami makan, tubuh Suti terasa hangat. Aku takut. Bu Mantri lewat dan aku memanggilnya. Bu Mantri memegang kening Suti. Suti disuntik dan diberikan obat.

”Besok sudah tenang dan sehat,” kata bu mantri.

Aku senang. Setelah kusuapi makan, aku memberikannya obat. “Biar cepat sembuh ya, Bu ne.” rayuku. Suti tersenyum. Akupun minta izin untuk memancing, agar kami nanti malam dan sore serta besok pagi kami punya lauk ke laut. Suti melepasku dengan senyumnya.

Begtu aku pulang membawa empat ekor ikan dan dua ekor kepiting serta 15 butir kerang, Suti melaporkan, kalau darah dari memeknya sudah berhenti. Kupegang keningnya sudah tak hangat lagi. Aku menyuapinya makan dan memberinya obat.

“Besok aku belum bisa melaut Mas. Aku takut dingin.” katanya memelas.

“Ya sudah, Bu ne, Mas saja besok yang melaut,” rayuku sembari mencium pipinya. Suti nampaknya senang sekali.

Kami pun tidur ber
pelukan dengan kegelapan malam. Ah, indah sekali rasanya tidur bertelanjang di bawah selimut sepotong kain batik. Suti sepertinya begitu erat memelukku. Dia kedinginan. Aku menebalkan selimut untuknya. Dia minta dikeloni terus agar hangat. Aku memeluknya.

Subuh pun menjelang. Aku terbangun dan membangunkan Suti. Cepat dia berpakaian dan menyiapkan bekalku. Aku berangkat ke laut dalam lambaiannya. Kubisikkan padanya, agar semua kejadian dia tak boleh diceritakan pada siapapun juga.

“Bu ne janji, Mas.” katanya setengah berbisik.

Aku menuruni tangga rumah memikul jaring menuju perahu. Aku mengayuh menuju tengah laut. Setelah menebar sekali jaring, aku pulang. Aku takut, Suti entah bagaimana. Aku menjual ikan dan langsung pulang.

“Kenapa cepat pulang, Mas?” tanya Suti.

Aku menjelaskan, ”Hanya sekali menebar jaring dapat ikan sedikit dan langsung pulang. Aku takut kalau Bu ne entah kenapa-kenapa,” kataku.

Suti tersenyum manja. Dia memelukku. Aku balas memeluknya. Nasi sudah siap, kami makan bersama, kemudian memberinya obat. Sudah empat hari, obat sudah habis dan Suti benar-benar sudah sehat. Langkahnya sudah pasti. Pipis sudah tak sakit lagi. Sudah biasa, katanya. Aku tersenyum.

“Jika kita lakukan lagi, pasti sudah enak, tak akan ada sakit lagi,” kataku memastikan.

“Bu ne mau, Mas.” katanya.

“Setelah memperbaiki jaring, nanti kita mancing ke hutan bakau,” kataku. Suti setuju. Maksudnya sebagai uji coba, apakah Suti sudah mampu mendayung dan siap memancing.

Setelah makan siang, aku masuk ke perahu dengan membawa pancing dan jala. Adikku Suti ikut. Perlahan kami mendayung ke laut. Orang-orang melihat kami dan kagum. Mereka tahu, kami kerja keras untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk orang tua di rumah sakit. ABRI yang masuk Desa pun tidak memaksaku yang masih berusia 18 tahun untuk ikut bekerja membuat benteng kampung nelayan dan saluran air.

Angin menyeruak dari laut. Kami harus melawan angin untuk bisa sampai ke tengah laut. Bersama kami mendayung perahu. Udang dan sotong kecil sebagai umpan sudah kami bawa. Juga ada sedikit ubi goreng sebagai makanan selingan kami. Satu jam lamanya kami mendayung, akhirnya kami sampai juga pada sebuah palung. Kami mulai menetak pancing kami di rimbunnya pohon-pohon bakau.

Sesekali aku menebar jala. Aku kurang pintar mengembangkan jala. Aku berpikir, jika jala tidak kutebar, sudah pasti aku tidak dapat ikan. Setidak pandainya aku menebar, jala bila dia kutebar, mana tau nasib berkata lain, aku bisa dapat seekor-dua ekor ikan. Benar saja, tali jalaku bergetar. Aku menariknya lamat-lamat. Seekor ikan hampir sekilo beratnya tertangkap. Kakap merah yang nyasar ke palung. Aku dan Suti gembira sekali. Kami akan menggorengnya, dan akan kami bawa ke rumah sakit untuk ayah dan ibu. Tak lama, pancing Suti juga menangkap seekor ikan ukuran sedang. Kami senang sekali.

“Bu ne, kamu cantik sekali,” rayuku.

“Apa benar, Mas?”

“Ya, benar kamu cantik sekali,” kataku. Sebenarnya, kontolku sudah mengeras.
Mataku awas ke sekeliling. “Maukah kamu mengisap tititku?” kataku memohon.

Suti tersenyum manis. Dia menganggukkan kepalanya. Dia mendekatiku. Aku mengeluarkan kontolku dari balik celanaku. Suti berjongkok di lantai perahu. Kontolku yang sudah mengeras dia jilat lalu dia kulum dan mempermainkan lidahnya pada bagian bawah kontolku.

“Aku senang, Mas.” katanya.

Aku tersenyum. Kuelus kepalanya, lalu kusapu-sapu teteknya dari bawah.

“Kalau dia keluar, boleh aku menelannya, Mas?” tanya Suti.

“Terserah saja.”

Kontolku kembali dimasukkannya ke dalam mulutnya. Aku melihat, Suti semakin dekat denganku. Perahu kami sesekali diterpa alun kecil, membuatnya bergoyang. Tapi ujungnya sudah kami tambatkan ke sebuah akar bakau. Aku semakin menikmatinya. Aku pun mengejang lalu aku menyemburkan maniku ke dalam mulutnya. Aku mendengar spermaku tertelan oleh Suti.

“Asin, Mas.”

“Karena belum terbiasa,” kataku. Aku pipis dari atas perahu dan mencuci kontolku dengan air laut. Aku tersenyum pada Suti. Dia membalas senyumku.

“Kamu mau?” tanyaku.

“Dijilat saja ya, Mas.” katanya tersenyum.

Aku mengangguk. Kuminta dia mencuci memeknya terlebih dahulu. Suti yang tak memakai celana dalam setiap kali kami melaut dan juga di rumah, menurutinya. Setelah bersih, kuminta dia rebahan di kepingan lantai papan perahu. Aku melihat sekeliling. Aku yakin kami aman. Tapi belum lagi aku memulainya, pancingku ditarik oleh ikan. Aku menariknya. Seekor ikan sembilang terangkat dan aku memasukkannya ke lantai dasar perahu yang berair, biar Kakap dan sembilangnya tidak mati.

Suti mengangkangkan kedua kakinya selebar mungkin. Betisnya berada di sisi perahu dan dia bersandar pada ujung perahu. Sesekali burung-burung kecil bersiul-siul di pucuk-pucuk pohon bakau. Aku memulai menjilati memeknya. Ujung lidahku bermain pada itilnya. Sesekali kusedot itil itu dan lidahku pun menari-nari pada sebiji kacang memeknya. Aku tahu Suti menggelinjang dan menikmatinya. Dia semakin mampu menikmati betapa enaknya dijilati. Sesekali dia mendesah. Desahnya cepat hilang ditelan angin laut. Kedua kakinya sudah berpindah. Kedua kakinya sudah berada di atas punggungku dan pahanya menjepit kepalaku.

“Akhhhh…” desahnya kuat lalu melemas.

Aku menghentikan jilatanku. Aku tahu Suti sudah sampai pada puncaknya. Dia tersenyum. Kami kembali menetak pancing kami, seperti tak terjadi apa-apa. Semenit kemudian, sebuah perahu melintas mau memasuki palung. Orang itu berhenti dan memutar haluannya karena melihat kami, dan palung sempit itu tak mungkin dilintasi dua perhu yang bercadik.

“Sudah dapat banyak?” orang itu menegur kami.

“Baru satu, Mang.” jawabku tenang. Kami meneruskan memancing. Suti tersenyum.

“Dia melihat kita tadi, Mas?” tanya Suti.

“Aku yakin tidak,” jawabku.

Aku kembali mengambil jala dan menebarnya. Sekali, dua kali, tiga kali dan kali yang ke empat, aku dapat dua ekor ikan ukuran sedang. Aku mengajak Suti pulang ke rumah sebelum angin berbalik arah. Suti setuju. Kami mengayuh perahu keluar dari palung. Suti menancapkan tiang layar dan menarik layarnya. Angin berhembus membawa perahu. Sore seperti itu, pasang naik dan angin mengencang dan kembali sedikit tenang setelah tengah malam. Kami terbawa angin dengan cepat ke tepian.

“Dapat, dik?” tanya pak tentara.

“Satu ekor, pak. Untuk kami masak dan kami bawa ke rumah sakit untuk ayah,” jawabku.

Tentara itu tersenyum. “Ya, hatimu bagus sekali, dik. Kamu sayang pada ayahmu. Begitulah seharusnya kepada orangtua,” katanya bangga.

Aku tersenyum. Kami meneruskan mengayuh perahu kami ke bawah kolong rumah dan menambatkannya. Delapan ekor ikan kami bawa naik. Tiba-tiba seorang ibu bidan mendatangi kami.

“Sebentar lagi, kami ke rumah sakit. Ada titipan,” kata bu Bidan yang ikut dengan tim ABRI masuk Desa.

“Ya, Bu. Kami boleh titip ikan untuk ibu dan ayah?” kataku.

“Boleh, setengah jam lagi aku ambil,” kata bu Bidan.

Kami cepat menguliti ikan-ikan itu. Kami goreng dan kami sambal. Ikan Kakap yang besar dan ikan Sembilang. Ikan dan sambalnya, kami bungkus pakai daun pisang dan kami ikat dengan baik. Bu Bidan datang dan kami memberikan oleh-oleh untuk ibu.

Setelah bu bidan pergi, Suti pergi mandi, lalu kususul, dan kami pun makan bersama-saama.
Kami juga mempersiapkan makanan untuk besok subuh ke laut. Semuanya sudah beres.

“KIta tidur yuk, biar besok cepat bangun dan ke laut. Kamu ikut, Bu ne?” tanyaku.

“Ya mas. Aku ikut,” kata Suti.

Karena belum larut, kami mengecilkan lampu di ruang tengah saja dan kami berangkat tidur dikelilingi kain pembatas. Dalam gelap kami melepas pakaian kami dan mulai berpelukan.

“Kamu mau bukti, kalau sekarang sudah tidak sakit lagi, malah akan nikmat?” kataku mulai merayu Suti.

“Pasti gak sakit lagi kan, Mas?”

“Ya, pasti,” kataku sembari mencium bibirnya dan melumatnya. Lalu aku mengisap-isap teteknya dan sebelah tanganku mengelus-elus memeknya. Suti mendesah-desah. Aku merasakan memeknya sudah ada lendir.

“Mas masukin ya, Bu ne?” bisikku.

“Ya.” Suti menjawab lirih.

Aku mengarahkan kontolku ke lubang memeknya. Ujungnya sudah mulai menyentuh bagian luarnya. Perlahan aku menekannya. Perlahan dan perlahan. Masuk… Masuk… Dan masuk.

“Sakit?” tanyaku.

“Dikit.” jawabnya.

Perlahan kutarik kontolku dan perlahan pula aku mendorongnya. Begitu terus bergantian. Suti mendesah dan memelukku. “Dimasukin semua, Mas.” pintanya mendesah.

Aku menekan semakin dalam dan dalam.

“Yang cepat, Mas.” bisik Suti mendesah dan memelukku kuat.

Aku menggenjot tubuhnya semakin cepat dan cepat.

“Ayo, Mas. Lagi. Ayooo…” Suti mendesah lagi.

Aku menggenjotnya semakin cepat dan cepat dan cepat dan cepat dan cepat.
Tubuhku dan tubuh Suti demikian rapatnya. Lengket. Kami sama-sama mengejang dan melepaskan kenikmatan masing-masing. Beberapa kali aku menyemprotkan mani ke dalam lubang Suti. Dia memelukku sekuat tenaga. Kami berpelukan dan kontolku yang melemas, lepas dari lubang Suti.

“Kamu cantik sekali, Suti.” biskku.

“Bkan Suti, Mas. Tapi Bu Ne.” bantahnya.

“Ya, kamu cantik sekali, Bu ne.” ulangku.

Suti memelukku dan mengecup pipiku. Kami tertidur nyenyak. Kami terbangun saat menjelang subuh. Kami menyiapkan jaring dan memasukkannya ke dalam perahu. Kami pun menuju ke tengah laut, untuk mencari ikan dan akan kami jual untuk kehidupan kami.

***

Setelah sekian lama kami di rumah berdua, rumah kembali menjadi ramai. Ayahku kembali dari rumah sakit. Tak boleh kerja berat dulu. Tak boleh minum kopi, minum alkohol dan tak boleh tidur larut malam serta harus istirahat. Tubuhnya sudah mulai berisi. Ibu sudah boleh menjual ikan kembali, bahkan ibu mulai mencari kerang, bila air surut. Kami senang. Justru adikku Suti yang sedikit gelisah. Aku tak memanggilnya Bu ne lagi. Kecuali kalau berkelakar. Wajahnya selalu cemberut.

Besok Suti harus sekolah. Dia sudah mempersiapkan baju, sepatu, tas, buku dan sebagainya yang semuanya serba baru. Ayah dan ibu sangat senang padaku sebagai kakak begitu menyayangi adikku Suti. Kemanjaan Suti, membuat ayah dan ibuku semakin menyenanginya. Mereka senang kalau kami selalu dekat, karena hanya kami beruda anak mereka. Ayah dan ibu kembali menempati tempatnya di kamar kecil dekat jendela depan. Kain lebar membatasi tempat kami. Aku dan Suti tidur di sebelahnya. Kami berdua tersenyum mendengar ayah mendengkur. Suti pun tak mau diam tangannya.  Dia mulai menggerayangi kontolku.

“Ayo, Mas, mereka sudah tidur,” bisiknya di telingaku.

“Kapan-kapan saja. Nanti ketahuan,” kataku.

Dasar Suti kalau sudah ada maunya, susah untuk menolaknya. Dia terus mengelus-elus kontolku sampai kontolku tegang.

“Aku ambil karet dulu. Supaya kamu tidak bunting” kataku. Kukoyak sebungkus kondom dan mendekatkannya padaku di bawah bantal.

Suti membuka kancing bajunya dan mengeluarkan teteknya. “Ayo, Mas.” bisiknya merengek.

Aku mendekatkan mulutku ke teteknya dan mulai menjilatinya. Saat itu ibu mendehem dari balik kain sebelah. Aku terus mengisapi tetek Suti. Bergantian kiri dan kanan. Setelah Suti puas, bibirnya mengecup bibirku. Kami berpagutan. Sampai akhirnya Suti meminta aku menaiki tubuhnya. Dia kangkangkan kedua kakinya dan memintaku menindihnya. Kubuka bungkos kondom dan memasangnya. Setelah siap, perlahan aku menaiki tubuhnya.

Suti segera menangkap kontolku dan mengarahkannya ke lubang memeknya. Aku mulai menggenjotnya. Kami berupaya agar kami tidak ribut, agar tak terdengar pada ayah dan ibu yang tidur di sebelah kami dipisahkan oleh kain lebar. Sampai akhirnya Suti membisikkanku agar aku mempercepat genjotanku. Aku mempercepat genjotanku. Saat itulah, betisku dicubit. Ketika kutoleh ke belakang, ternyata yang mencubit betisku adalah ibuku. Ibu menggelengkan kepalanya dengan tatapan melotot. Tapi puncakku sudah berada di ubun-ubun. Aku meneruskan genjotanku dan Suti menggoyang tubuhnya dan merangkulku dengan erat, sampai kami melepaskan nikmat kami bersama-sama.

Kontolku semakin mengecil dan terlepas dari memek Suti. Kami menutupi tubuh kami dan tertidur seperti biasa, layaknya tak terjadi apa-apa. Tapi aku sudah susah tertidur karena memikirkan apa yang dilakukan ibu barusan. Dia mencubitku. Kami telah tertangkap basah melakukan hubungan suami isteri, tapi dia tidak marah, malah menonton sampai kami selesai. Karena lelah, akhirnya aku tertidur juga.

Ibu membangunkanku, saat subuh mulai tiba. Ibu sudah menyiapkan nasi dan lauknya ke dalam rantang plastik untuk kubawa ke tengah laut. Ibu membantuku menurunkan jaring ke dalam perahu. Aku hanya diam dan malu, karena ibu mengetahui apa yang kami lakukan tadi malam. Cepat-cepat aku meluncurkan perahu dari kolong rumah melalui alur air ke tengah laut. Segera kupasang layar dan aku menuju tengah laut. Pikiranku masih tetap juga tak tenang.

Akhirnya kulemparkan jaring. Beberapa kali sampai matahari meninggi dan terang. Para nelayan lain sudah menuju daratan, sementara aku masih terus menebar jaring. Tangkapanku hari ini benar-benar gawat. Mungkin aku yang kurang konsentrasi, atau lagi sial. Akhirnya aku pulang hanya membawa sedikit ikan. Ibu sudah menungguku di tepi pantai. Kami menjualnya dan memberi dua kilo beras. Hanya itu yang bisa kami peroleh hari ini. Ketika aku mendayung perahu pulang, ibu mendekatiku. Dadaku berdebar.

“Apa yang kamu lakukan tadi malam sama adikmu?” tanya ibu datar.

Aku diam. Ibu bertanya lagi dan aku hanya diam.

“Sudah berapa kali kamu lakukan?” tanya ibuku.

Lagi-lagi aku diam.

”Ibu tahu, kamu melakukannya dengan Suti sudah sering.” katanya. Dia melihat kami begitu menikmatinya dan Suti serta aku seperti suami isteri yang sudah terbiasa melakukannya.

Kembali aku hanya diam saja.

Perahu sudah memasuki kolong rumah. Aku mengangkat jaringku untuk kuperbaiki. Ibu datang membantu setelah dia selesai masak nasi dan lauk serta membawakannya untukku. Aku makan, kini giliran ibu melihat jaring yang rusak. Ketika kami kembali melakukan perbaikan bersama, ibu menasehatiku, agar aku tak melakukannya lagi, karena akan menjadi aib kalau Suti sampai hamil. Ibu tidak tahu, kalau aku memakai kondom. Aku sudah menyembunyikian kondom dengan rapi di tempat yang tak mungkin ditemukan. Aku hanya tertundukhingga perbaikan jaring selesai.

Ibu mengajakku untuk mencari kerang ke pulau kecil tak berapa jauh dari pantai dan mencari kepiting. Kepiting boleh dijual besok, karena mereka susah matinya. Aku menyetujuinya agar ibu tak marah lagi. Setelah meminta izin ayah, kami melaut, menuju sebuah pulau kecil yang sunyi.

Ibuku turun dari perahu. Dia mulai meraba-raba lumpur untuk mendapatkan kerang. Lumayan juga hasilnya, ada dua ember besar. Kami pun mulai memasuki akar-akar bakau mencari kepiting. Perahu kami tambatkan di sebatang bakau. Ibuku yang berusia 37 tahun cekatan mencari kepiting. Kami mendapatkan beberapa ekor dan aku mengikatnya lalu memasukkannya ke dalam perahu.

Pulai itu sunyi. Sepi. Hanya terdengar suara desau angin, sesekali hempasan gelombang kecil dan cicit burung. Sesekali terdengar kepak sayang bangau yang hinggap di pucuk bakau mengintip ikan kecil. Melihat bangau mulai ramai di pohon bakau, aku mulai menebar jaring, pasti banyak ikannya. Kalau tidak, mana mungkin bangau mau datang mengintipnya. Benar saja, tebaran pertama, aku mendapat tiga ekor ikan ukuran sedang. Beberapa kali aku menebar jala dan mendapatkan sembilan ekor ikan. Cukup untuk lauk kami sekeluarga.

“Kita ke pancuran, Bu. Kita mandi dan mencuci tubuh kita yang bau lumpur,” kataku.

Ibuku setuju. kami naik perahu menuju pancuran dan mengambil air dalam jerigen. Aku mandi tanpa membuka celanaku. Membersihkan tubuhku. Ibuku juga mandi dan mengibas-ngibaskan celana pendeknya yang terkena lumpur. Aku melilhat bayangan tubuh ibu dari kainnya yang basah. Teteknya membayang dari kaos basah yang dipakainya. Zakarku membesar. Tapi dia ibuku. Ibuku. Tak mungkin…!

“Kamu lihat apa?” tanya ibuku.

Aku tersipu malu dan menunduk. Lalu ibu meneruskan mandinya dan mengangkat baju kaosnya dan aku melihat jelas teteknya. Aku berdiri dan menatap laut. Aku tak melihat satu pun perahu. Benar-benar sepi.

“Bu,” sapaku.

Ibu menoleh. Aku mendekatinya. Aku memeluknya dari belakang.

“Ada apa, tole?” tanyanya.

Aku diam. Mulai meremas tetek ibuku dengan sebelah tangan dan sebelah lagi kumasukan melalu celananya yang berkaret. Kuelus jembut ibuku.

“Ihh, kamu ini bagaimana…” kata ibuku menepiskan tanganku.

Cepat kupelorotkan celana ibu. Terus sampai mata kakinya, hingga ibu benar-benar tidak mengenakan apa-apa dari pusat ke bawah.

“He, kamu ini kenapa?”

Aku diam dan hanya memeluknya.

“Kamu mau buat aku seperti Suti, ya?”

Cepat kusogok kontolku dari belakang. Ibu berbalik dan aku langsung memeluknya dan menyogokkan kontolku disela-sela memeknya.

“Kamu ini…” kata ibu marah dan menolak tubuhku.

Tapi aku lebih kuat memeluknya dan kedua kakiku sudah berada di antara kedua kakinya. Kusandarkan tubuh ibu di batu besar dan landai. Langsung kusetubuhi.

“Kamu ini… ” kata ibu berteriak.

Aku yakin, tak akan ada orang yang mendengarnya dalam sunyi ini. Terus kusetubuhi ibuku. Sampai aku merasakan memek ibu menjadi licin. Aku tahu, kalau selama dua bulan lebih di rumah sakit, ibu tak mungkin bersetubuh. Aku terus menyetubuhinya. sampai akhirnya, ibu tak lagi berteriak dan menolak tubuhku. Ibu mulai menggeliat dan mengelinjang saat teteknya aku emut dan aku hisap-hisap.

“Oh, kamu ini kurang ajar sekali, Tole.” katanya mendesah.

Aku tak memperdulikannya. Kontolku terus maju-mundur dalam liang memeknya. Ibu pun memelukku dari bawah. kami saling berpelukan erat sekali dan melepaskan kenikmatan kami bersama pula. Kucabut kontolku. Ibu tertunduk lesu. Dia meneteskan airmatanya dan meleleh di pipinya. Aku membujuknya dan dia menepiskan tanganku. Kuajak dia naik ke perahu dan aku mulai melepaskan tali ikatan perahu. Aku sengaja membawanya berbelok-belok di sela-sela pohon bakau untuk mencari, siapa tahu ada kepiting lagi, sembari pulang. Kuminta ibu duduk di belakang dekat denganku agar perahu bisa melaju cepat. Ibu mundur dan mendekat ke arah diriku. Kupeluk ibu dari belakang dan membisikkan kepadanya agar dia memaafkan aku. Ibu diam saja. Kontolku merapat ke pinggangnya dan aku mengelus teteknya lagi.

“Ah, jangan. Ini laut. Nanti hantu laut marah,” katanya.

Aku diam saja dan terus memilin teteknya dan menciumi tengkuknya. Kontolku kembali berdiri. Segera kulepas celanaku ke bawah. Lalu kulepas pula celana ibuku hingga terlepas dari kedua kakinya. Ibuku sudah setengah telanjang. Kuangkat dia ke pangkuanku, membelakangi diriku. Kumasukkan kontolku dari belakang.

“Ah, kamu ini…” ibuku mendesah.

Tapi aku terus menusuknya sampai jauh ke dalam. Perahu bergoyang-goyang dan aku menikmatinya. Ibu pun mulai menjepit kontolku dan menekan pantatnya agar kontolku masuk lebih ke dalam.

“Ahhh….” katanya saat mengocok kontolku hingga kontolku pun mengeluarkan sperma. Cepat kami memakai celana kami dan berkayuh pulang.

Dalam perjalanan, ibu bertanya dengan wajahnya menatap ke haluan nan jauh.
“Kamu dan Suti melakukan ini juga di sana, kan?” tanya ibu.

Aku diam. Ibu juga diam. Saat kami tiba di rumah, ayah katanya ada di warung minum teh manis panas.

Sejak saat itu, aku dan ibu suka melakukannya. Tidak di rumah, tapi di hutan bakau saat menangkap kepiting. Kodenya, ibu atau aku yang mengajak untuk menangkap kepiting. Jika menangkap kepiting, pasti kami melakukannya. Tak perduli walau kami hanya membawa dua ekor kepiting saja. Berkali-kali dan berkali-kali. Akhirnya ibuku hamil. Kami yakin, anak itu adalah anak kami.

Jika aku mengajak Suti menangkap kepiting, ibu hanya cemberut. Dia juga tahu, kalau aku dan Suti pasti melakukan persetubuhan. Rahasiaku dan Suti diketahui oleh ibu, tapi rahasiaku dan ibu tak seorang pun yang tahu.

***

 

Aku membuang jaring ke laut dan ibu ikut membantunya melepas jaring-jaring itu. Hari ini, memang rezeki kami sangat mujur. TIga kali kami membuang jaring, ikan-ikan demikian banyak kami tangkap. Rata-rata ukuran sedang. Saat nelayan lain sudah pada pulang, kami masih menarik jaring.

“Kita kemana?” tanya ibu saat perahu kubawa ke tepi pulau kecil.

“Mandi, Bu. Juga makan. Kita makan di sini sana, lebih teduh dan enak,” kataku.

Perahu merapat ke pantai dan aku langsung menuju pancuran. Aku membuka seluruh pakaianku bertelanjang aku menadah air pancur yang sejuk di kepalaku. Aku tahu ibu datang dari belakang, tapi aku pura-pura tidak melihatnya. Ibu menunggu aku selesai mandi. Gantian kami mandi di pancuran itu. Ibu pun mandi telanjang juga setelah di memintaku untuk berjaga-jaga. Aku mengintipnya. Tubuh ibuku, membuat aku nafsu sekali.
Selesai ibu mandi, kami makan bersama di tepi pancuran itu, sembari melihat perahu kami yang tertambat. Kontolku masih saja menegang dan aku secepatnya makan. Ibu juga mengikutinya, karena hari sudah pukul 07.00. Kami harus sampai pukul 08.00 di pantai agar pembeli ikan tidak keburu pulang.

Saat ibu mengangkat kakinya, dari celana pendek yang dipakai dan longgar, aku mengetahui ibu tidak memakai celana dalam. Aku melihatnya tadi waktu dia memakai celana. Kurangkul ibu dari belakang.

“Ada apa, Tole?” tanya ibu perlahan.

Aku diam saja. Ibu bertanya kembali, karena pelukanku belum lepas. Perlahan kutarik ibu ke sebuah batu besar yang agar ceper. Langsung kupeluk tubuhnya. Ibu meronta dan melawan. Dia sangat berang dan marah. Aku sudah tak perduli. Kutarik celananya sampai lepas dan aku juga dengan cepat melepas celanaku. Kupeluk ibuku dan kuciumi lehernya. Ibu tetap meronta dan menolakku. Tapi aku sudah berada di antara kedua kakinya dan kumasukkan kontolku ke memek ibu. Perlahan kudorong. Saat kuraba, memek ibu sudah basah dengan air kental. Cepat aku sadar, kalau ibu sudah nafsu juga. Kusorong pelan-pelan kontolku ke lubang memeknya dan secepat itu, kontolku lenyap di dalam memeknya. Aku mulai memompanya walau ibu terus menerus meronta bahkan menarik rambutku dengan kuat. Aku semakin tak perduli. Terus memeluknya, menciumi lehernya dan memompa tubuhnya dengan lebih cepat.

Aku merasa jambakan tangan ibu di rambutku sudah melemah. Aku terus memompanya dan menciumi lehernya. Sampai akhirnya aku memeluknya kuat dan menekan sekuat-kuatnya kontolku ke dalam dan melepaskan beberapa kali spermaku disana. Saat itu, aku merasakan ibuku balas memelukku, walau malu-malu. Saat aku mau mencabut kontolku, saat itulah ibu memelukku dan menahan pantatku. Aku urung menarik kontolku. Yang kudengar mulut ibu mendesis-desis dan akhirnya dia melepas pelukannya.

“Kamu memang anak kurang ajar. Biadab sekali kamu,” bentak ibu padaku sembari menangis.

“Sudah, bu, Maafkan aku,” kataku sembari memeluknya.

Ibu meronta. “Jangan!” bentaknya.

Aku terus membujuknya, sampai akhirnya ibu diam dan aku membimbingnya naik ke atas perahu.

“Jangan sampai terlang lagi!” bentak ibu.

Aku diam. Kupasang tali layar dan perlahan aku mengayuhnya. Kuminta ibu duduk dekat denganku dibelakang, agar haluan perahu terangkat sedikit dan perahu kami bisa berjalan dengan cepat. Ibu mendekat. Akhirnya tubuh ibu kukepit dengan kedua kakiku. Kontolku walau dari balik celana, tertempel ke punggungnya. Kedua tangan ibu sengaja kubimbing berada di paha kiri dan kananku. Saat perahu perlahan berlayar dan laut sepi, karena semua nelayan sudah berada di tepian pantai, aku tak mampu menahan kontolku yang sudah tegang dan keras. Dengan sebelah memegang kemudi, sebelah lagi tanganku kumasukkan ke kaos ibu dari atas dan aku meremas tetek ibu yang besar dengan lembut.

“Ah, jangan lagi.” kata Ibu meronta, sampai perahu oleng.

“Ibu diam. Kita akan terbalik nanti,” kataku.

“Kamu ini bagaimana?
Apa kamu tidak mengerti, jangan diulangi lagi!!” bentaknya.

Tapi aku terus meremas-remas tetek ibu. Bergantian. Aku sengaja membawa perahu melalui sela-sela pohon bakau agar teduh dan sepi. Cepat kulorotkan celanaku dan melorotkan celana ibu juga.

“Aduh gusti, kamu ini…!” rintihnya.

Tapi aku tak perduli. Kuangkat tubuh montok ibu ke atas pangkuanku, walau dia membelakangi tubuhku dan kami sama-sama menghadap ke depan. Aku tahu, ibu sudah berbulan-bulan tidak bersetubuh. Cepat kucelupkan kontolku ke lubang memeknya.

“Ahhhh… ” dia menjerit. Tapi kontolku sudah berada di dalam. Perahu terus berjalan dengan santai dalam tiupan angin yang sepoi.

“Aduh, bagaimana ini, Tole?” tanya ibu padaku.

“Ibu diam saja. Kita akan cari waktu yang baik, kita ke pulau dan kita akan memuaskan diri kita dengan tenang,” kataku merayu.

“Biadab kamu!” bentaknya.

Suara desau angin dan ombak-ombak kecil membuat perahu bergoyang-goyang. Aku memeluk ibu dari belakang dengan sebelah tangan dan terus menggoyang.

“Ibu,  aku mau sampai. Sebentar lagi, aku akan mencabutnya. Tenanglah.” kataku.

“Diam, kamu biadab. Jangan dicabut. Tunggu dulu,” bentak ibu.

Aku diam dan memeluk erat tubuh ibu saat melepaskan spermaku. “Sudah, Bu. Aku sudah sampai,” kataku lirih.

“Tunggu. Jangan kamu cabut dulu. Kurang ajar kamu,” bentak ibu lagi.

AKu diam saja. Sampai akhirnya ibu mendesah dan dia mencabut sendiri kontolku yang sudah melemas. Ibu memakai kembali celananya. Aku juga. Kami terus menuju pantai. Pembeli masih ada yang menunggu kami. Ikan kami jual dan kami kembali ke rumah.Aku segera mengangkat jaring ke bawah pohon kelapa 50 meter dari rumah dan memperbaikinya, ibu mempersiapkan makan siang untuk kami sekeluarga.

Ibu membawakan segelas kopi panas padaku dan dua buah pisang goreng dan meletakkannya dekatku. Ibu ikut membenahi jaring agar besok kami pakai lagi. Dia duduk di dekatku.

“Awas ya, kalau kamu bercerita kepada siapa saja.
Kubunuh kamu.” ancam ibu.

Aku tersenyum.

“Bukannya menjawab, malah tersenyum,” kata ibu membentak dengan suara tertahan, takut di dengar orang lain.

“Iya, pasti aku tidak bercerita apa-apa,” kataku tenang.

Ibu pun tersenyum. “Ayo cepat dibenahi, biar kita bisa cepat cari kerang dan kepiting,” katanya. “Aku buatkan teh manis dulu dalam botol. Cepat masukkan jaring ke dalam perahu,” tambahnya.

Aku mengikutinya. Jaring kusimpan ke dalam perahu dan memasukkan jala serta memasukkan alat-alat penangkap kepiting juga. Saat aku melepaskan perahu dari tambatannya di bawah kolong rumah kami dan meyorongnya ke aliran air yang agak dalam, Ibu berjalan sampai ke pantai. Aku tahu dia akan menaiki perahu di sana, karena aliran sungai kecil, masih dangkal. Aku menjalankan perahu dengan menolak galah ke dasar lumpur. Bukan mengayuhnya.

Begitu aku tiba di tepian laut, ibu tersenyum menyambutku. Dia cepat naik ke perahu dan ikut mengayuh. Orang-orang maklum. Mereka tahu, kalau kami butuh banyak uang untuk menyekolahkan adikku Suti dan mengobati ayahku. Kami harus bekerja keras. Orang-orang kampung pun kagum melihat kerja keras kami berdua. Satu jam lebih kami mengayuh sambil bercerita. Ibu banyak bertanya tentang Suti dan menasehatiku, agar jangan sampai hamil. Kami akan mendapat malu sekampung, katanya. Aku setuju. Tapi aku minta ibu harus rela juga, kalau sekali seminggu aku membawa Suti ke pulau bakau untuk menangkap kepiting. Alasanku menangkap kepiting, tapi ibu sudah mengerti maksudku, agar Suti juga mendapat giliran. Ibu diam tak membantah.

Sampai di tempat, kami menjatuhkan sepuluh buah alat penangkap kepiting ke laut dengan umpan usus ayam, entah darimana ibu mendapatkannya. Aku memasang juga sepuluh buah pancing dengan umpannya dan menancapkannya ke beberapa tempat, untuk memancing ikan sembilang. Kini ibu yang turun ke lumpur untuk meraba lumpur mendapatkan kerang. Orang-orang berseliweran. Melihat kami sudah berada di tempat memasang jerat kepiting dan mengembangkan jaring, perahu-perahu itu pun berlalu.

Sesekali terdengar teriakan. ”Udah dapat banyak belum?”

Aku menjawabnya dengan sambil lalu, ”Baru turun, paaaakkk.”

Mereka pun berlalu, bahkan banyak yang pulang, karena kosong tak dapat apa-apa. Ibu mengantarkan beberapa keranjang kecil kerang ke atas perahu. Di akar bakau, ibu mengelus kontolku. Tangannya dia masukkan dari atas karet celanaku.

“Bu, hati-hati, nanti aku jatuh, ” kataku.

Ibu tersenyum. Kontolku cepat mengeras. Ibu menurunkan celanaku sampai ke mata kaki. Aku berpegangan ke pohon bakau dan menunggingkan dirinya.

“Ayo cepat, ibu sudah tak tahan. Cepat!” katanya.

Aku segera menyodokkan kontolku perlahan ke lubang memeknya.

“Ayo, yang dalam… dalam lagi,” katanya.

Aku memeluk tubuh ibu dan mengocok kontolku dalam memeknya. Tiba-tiba terdengar suara desir air. Pasti perahu yang datang. Aku mencabut kontolku dengan cepat. Menaikkan celanaku dan ibuku juga menaikkan celananya dengan cepat. Dia melangkah ke atas perahu dan mengambil sebotol teh manis dan membawanya ke akar-akar pohon bakau. Saat teh tertuang ke dalam gelas, perahu kecil itu melintas.

“Suti…” panggil ibu.

Ternyata yang datang ke tempat kami adalah Suti menaiki perahu tetangga tanpa cadik. Suti tersenyum dan menepi. Dia naik ke akar bakau dan membawa beberapa potong goreng sukun. Kami memakannya dengan riang. Ibu menatapku dengan tajam. Dia bertanya-tanya, kenapa Suti harus menyusul. Apakah Suti sudah curiga?

Setelah meneguk beberapa tetes teh manis, ibu kembali meraba lumpur, berpura-pura mencari kerang dan meninggalkan kami. Aku menyibukkan diri mendekati beberapa pancing yang kupasang. Ada dua pancing yang bergoyang-goyang. Aku menariknya dengan cepat. Ya, dua ekor ikan sembilang terangkat dan kulepas dari pancing serta memasukkannya ke dalam perahu.

“Kapan kita berdua ke tempat ini?” tanya Suti.

“Kita buat jadwal setiap minggu pagi dan mingu sore. Saat kamu tidak sekolah dan latihan pramuka,” kataku.

“Benar ya, Mas?” pinta Suti setengah berbisik.

“Benar. Aku janji,” kataku.

“Kalau begitu Suti pulang ya,”

Suti pun pulang meninggalkan tempat itu. Saat itu ibu datang setelah mencuci tubuhnya yang berlumpur dengan air laut yang bening. Dia mendatangiku ke akar bakau.

“Suti bilang apa?”

“Dia minta jatah. Kapan aku bersamanya?” kataku berterus terang. Aku menceritakan pada ibu, setiap minggu pagi dan minggu sore atau kalau Suti tidak latihan pramuka dan kalau ibu berhalangan.

“Kamu tidak bercerita apa-apa tentang kita kan?” tanya ibu. Menurutku inilah kesempatanku.

“Tidak, bu. Tapi nampaknya Suti curiga. Untuk itu, dia harus dapat kesempatan. Kalau tidak dia akan membuntuti kita terus,” kataku berpura-pura.

Ibu menjawabku dengan memberiku ciuman di pipiku. “Kamu anak pintar, tole.” katanya sambil meremas kontolku lagi.

Suara-suara burung bercicit-cicit di atas dahan-dahan bakau dan sesekali mereka berkejaran. Ibu melepaskan celananya dan kini dari pusat sampai ke bawah, telah telanjang. Tubuhnya masih padat dan bulu kemaluannya sangat tipis membuat belahan memeknya jelas terlihat. Aku bersandar ke pohon bakau. Ibu langsung menaiki tubuhku. Aku berada di antara kedua kakinya. Ibu memasukkan kontolku ke lubang memeknya sampai masuk semuanya. Aku memeluknya dan menaikkan baju kaosnya, sampai kedua teteknya tergantung. Mulutku menghisap-hisapnya. Ibu terus memutar-mutar tubuhnya, hingga terasa kontolku menyentuh-nyentuh lubang terdalam dari memeknya. Dan ibu histeris dengan lenguhannya yang kuat dan memelukku erat sekali.

“Ibu sudah sampai?” tanyaku.

Ibu diam saja dan terus memelukku. Kni giliranku menggenjot-genjotnya dari bawah. Sampai aku melepaskan semua spermaku. Kami berpelukan dan melepaskan nikmat kami. Akhirnya, kontolku lepas dari lubang memek ibu. Ibu tersenyum. Dia menaikkan celananya dan aku juga. Kami mengangkati jerat-jerat kepiting. Ada beberapa yang dapat dan ada yang masih kosong. Kami menjatuhkannya kembali. Jaring yang kutebar perlahan kutarik dan ada beberapa ekor ikan kecil yang kudapat. Cukup untuk lauk makan kami malam ini dan untuk bekal besok subuh.

“Bagaiamana? Apa kamu dapat menikmatinya?” kata ibu.

Aku diam saja.

“Ya, pasti Suti lebih nikmat, kan?” katany ketus dan cemburu.

Aku diam juga.

“Kalau kamu merasa sudah longgar, ibu akan berikan yang lebih sempit dan lebih enak,” kata ibu.

“Bagaimana bisa sempit?” kataku.

“Apa kamu mau?” tanya ibu.

Aku mengangguk. Ibu dengan cepat menurunkan celanaku dan memasukkan kontolku ke mulutnya. Kontolku dijilatinya. Wah, aku belum pernah merasakan nikmatnya dikulum seperti ini. Setelah kontolku keras, ibu melepas celananya dan dia menunggingkan tubuhnya sambil berpegangan ke pohon bakau.

“Ayo, masukkan itumu ke lubang belakang ibu,” katanya.

Aku seperti tak percaya. Dia menyuruhku melakukan anal!

“Ayo cepat. Nanti orang datang,” katanya.

Aku segera menusukkan kontolku ke mulut lubang belakangnya. Kutusuk lubang belakang itu dengan kuat. Kepala kontolku sudah menembusnya.

“Perlahan saja. Berhenti sebentar,” kata ibu.

Lalu aku menusuknya kembali, setelah setengah kontolku masuk ke lubang belakangnya, aku merasa kontolku dipijat-pijat. Aku merasa nikmat.

“Ayo ditusuk terus,” kata ibu.

Aku menusuknya.dan mencabutnya. Bagaikan aku menusuk dan mencabut di lubang memeknya.

“Kalau mau keluar, keluarkan di lubang memek ibu,” pintanya.

Aku memeluknya dari belakang sembari terus mencucuk cabut kontolku di lubang yang nikmat itu. Sebelah tangan Ibu meraba-raba memeknya.

“Bu, aku mau keluar.”

“Cepat cabut dan masukkan ke lubang memek ibu,” katanya.

Aku mencabutnya dan dengan cepat aku mencucuknya ke lubang memek ibu. Aku memeluknya dan melepaskan spermaku di dalam lubang memek yang basah itu. Ibu pun kembali histeris dengan nikmatnya.

“Bagaimana, enak kan?” tanya ibu.

Aku hanya tersenyum. Kami menarik semua jerat kepiting. Ada yang kena ada yang kosong. Kami harus pulang, sebelum matahari terbenam. Ibu naik ke perahu dan kami sama menaikkan layar, karena angin masih dari laut ke darat. Kami berlayar dengan perasaan kami masing-masing.

“Kapan-kapan, aku boleh melihatmu bersama Suti?” tanya ibuku.

“Bagaimana caranya, Bu?”

“Kita bertiga ke bakau ini dan aku berpura-pura mencari kerang di seberang sembari melihat orang. Kalau aku bernyanyi-nyanyi, itu pertanda ada orang. Kalau tidak kamu boleh teruskan dan ibu akan mengintip,” kata ibu.

 Gila pikirku. Aku diam memikirkannya, mulai sedikit tertarik.

“Tapi kalau Suti mengintip kita, boleh nggak?” tanyaku.

“Suti tak boleh tahu. Bisa bahaya,” kata ibu.

Aku berpikir. Ya, Suti tak boleh tau.

“Bagaimana?” tanya ibu mendesak. Sebuah desakan yang susah kujawab. Diam-diam, aku mencintai Suti adikku sendiri. Aku menyayanginya.

Akhirnya aku pun setuju, kalau ibu boleh melihat aku dengan Suti, supaya satu saat nanti ibu muak dan dia tak mau lagi bersetubuh denganku. Aku setuju. Ibu pun tersenyum. Kami sampai di rumah dan membawa hasil kami untuk dimasak untuk makan malam. Suti ikut membantu membersihkan ikan sembilang dan kepiting disimpan untuk besok pagi di jual. Cukup untuk membeli dua kilo beras.

***

Ibu sangat puas mengintip aku dan Suti berciuman mesra dan saling membelai. Saling mengulurkan lidah. Aku menjilati teteknya dan mengelusnya. Suti berada di pangkuanku dan kami berpelukan dengan mesra dan saling mengusap. Aku tahu ibu mengintipku dari belakang. Aku tahu ibu birahi mengintip kami. Aku tahu ibu meraba memeknya. Ibu juga tahu, kalau aku sangat menikmati persetubuhanku dengan Suti dan sampai
akhirnya aku membuang kondom ke laut.
Aku yang menjaga diri dengan Suti, kalau tidak nampaknya Suti mau nempel terus dan bermanja terus. Aku harus menjaga mata orang-orang kampung.

***

Suatu siang, saat Suti sedang sekolah, aku mendengar pertengkaran kecil ibu dan ayahku.

“Kenapa kamu bisa hamil, Bune?” tanya ayah.

“Lho, pertanyaanmu kok aneh. Apa kontolmu tidak masuk ke memekku?” tanya ibu tak kalah sengit.

“Tapi aku kan pakai kondom.” kata ayah.

“Ya nggak tau. Kita tanya saja petugas KB,” kata ibu.

Tak lama, kebetulan bu Ningsih petugas KB dari kecamatan lewat di lorong rumah kami. Aku melihatnya dari atas perahu di kolong rumah. Aku mendengar percakapan mereka. Bu Ningsih mengatakan, ”Mungkin kondomnya bocor, jadi bisa hamil. Kalau hamil ya sudah, soalnya kan Sutinah sudah SMP jadi sudah bisa hamil lagi,” kata bu Ningsih.

Ayah pun diam. Ibu pun dengan kasar membentak ayah setelah bu Ningsih pergi. “Tuh, jadi jangan tanya-tanya kenapa aku bisa bunting. Yang jelas yang bikin aku bunting, kontolmu sendiri,” kata ibu sangat sengit dan ketus, membuat ayah terdiam tak berkutik. Ayah tahu, kalau ibu ke laut, aku yang menemani. Yang ayah tak tahu, kalau ibu hamil karena aku.

Ayah turun dari rumah menuju kedai kopi dan main catur di sana setelah ibu memaksanya minum obat. Saat ibu mau naik ke rumah, aku memanggilnya. Ibu datang dan naik ke perahu di kolopng rumah.

“Benar ibu hamil?” tanyaku.

Ibu mengangguk. “Ibu takut membuangnya?” jawab ibu.

“Kenapa dibuang, Bu?”

“Karena dalam perut ibu adalah anakmu. Bukan anak ayahmu,” jawab ibu berbisik.

Aku diam.

“Kau nanti harus menyanginya, karena dia anakmu. Ini rahasia,” kata ibu.

Aku mengangguk. Tak pernah terpikir, aku akan punya anak. Kutatap wajah ibu dan ibu menatap wajahku dengan senyum. Ibu tahu aku limbung dan tak menyangka akan punya anak.

“Tapi kau harus terus menerus menyiraminya,” kata ibu.

“Menyiram bagaimana, bu?” tanyaku.

“Kita harus terus menerus ngentot, bodoh,” kata ibu ketus.

“Kenapa?”

“Kalau tidak, nanti anakmu yang ada di dalam perut ini sakit,” kata ibu.

Aku mengangguk. Aku berpikiran, kalau orang hamil harus terus menerus disetubuhi. Aku diam. Aku harus pandai-pandai menguasai keadaan agar Suti tidak cemburu. Padahal kalau boleh, aku justru ingin punya anak dari Suti.

“Suti mana?” tanya ibu. Aku menjelaskan, kalau Suti baru saja pergi latihan pramuka ke sekolahnya.

“Ayo cepat. Kamu naik dari pintu belakang dan aku dari pintu depan. Kamu harus menyirami anakmu,” kata ibu.

Aku cepat meningalkan perahu. Aku tak ingin anakku sakit dalam perut ibu. Cepat kututup pintu. Ibu juga menutup pintu dari depan. Ibu langsung ke dapur menemuiku dan memelukku. Aku juga memeluknya. Ibu menyumpalkan teteknya yang besar ke mulutku.

“Buat aku seperti Suti,” kata ibu.
Aku segera mengisap-isap dan merabai tetek ibu.

“Ya, kamu harus hisap, supaya nanti air susu ibu banyak dan anakmu bisa menyusui dengan lahap dari tetek ibu,” bisiknya.
Aku mengiyakan dan melakukan apa yang dikatakan ibu.

Kedua tetek itu kuhisap dan kujilati bergantian. Kuremas dan kubelai-belai. Sampai aku sudah melihat ibu melepaskan pakaiannya. Ibu menidurkan tubuhnya di lantai. Aku melepas celanaku juga dan menindih ibu dari atas. Kubuka kedua paha ibu dan kutusukkan kontolku ke lubang memeknya. Ibu menarik tengkukku dan menyedot-nyedot bibirku. Aku menjulurkan lidahku. Kami saling mengisap lidah.

“Oh, kalau saja dari dulu aku bisa ngentot senikmat ini, tapi sayang ayahmu tidak pernah bisa melakukannya,” kata ibu.

“Ayah hanya melakukan apa, Bu?” tanyaku.

“Ayahmu hanya tahu menusuk memek ibu dan menusuk belakang ibu, kalau ibu lagi haid,” katanya.

Oh… Aku terus menggenjotnya dan terus menusuknya. Dalam dan sangat keras sekali. Ibu menggelinjang dan memelukku dengan kuat.

”Ayo, toleee… terus. Ibu sudah mau sampai. Terus, nak.” kata ibu. Aku terus menggenjotnya dari atas. Aku menekan kuat tubuh ibu dan ibu memelukku. Kami sama-sama menikmatinya.

“Ayo, buruan. Nanti ayahmu pulang.”

Aku menggenjotnya lebih cepat lagi. Lebih keras lagi dan lebih dalam lagi. hingga Crooottt… Croootttt… Crrrooooottttt… Spermaku muncrat memenuhi lubang memek ibu. Kami berpelukan dengan erat. Kini aku menyadari, bahwa aku juga sudah semakin menyayangi ibu, walau rasa sayangku lebih besar pada adikku, Suti.

Kontolku keluar dari memek ibu karena mengecil. Aku bangkit. Ibu pun duduk membenahi celananya. Saat itulah terdengar ketukan di pintu depan. Ayah berteriak memanggil untuk dibukakan pintu.

“Kamu keluar dari pintu belakang langsung ke atas perahu,” kata ibu. Aku mendekati pintu dapur. Saat ibu melangkah ke depan dengan langkah yang kuat di atas lantai papan itu, aku membuka pintu dapur dan melangkah ke bawah kolong dan naik ke perahu.

“Kenapa pintu dikunci? Mana anakmu?” tanya ayah.

“Di bawah, membenahi jaring,” kata ibu.

“Kenapa aku tidak lihat?” tanya ayah.

“Karena matamu memang tidak melihat,” jawab ibu ketus.

Ayah turun ke kolong rumah. Dia mendapatiku tertidur di dalam perahu. Saat ayah mau mendekat, aku pura-pura ngorok. Aku mendengar ayah melangkah naik ke rumah kembali.

“Wah, dia ngorok,” kata ayah.

“Biarkan dia ngorok. Dia letih sekali.
Dia telah menggantikan kedudukanmu mencari makan. Seharusnya kau banga pada anak laki-lakimu itu,” kata ibu.

“Ya, dia sangat muda tapi sudah bisa menggantikan diriku,” kata ayah sedih.

Di seberang, terdengar celoteh burung camar yang mau pulang ke sarangnya. Tubuhku terasa letih. Tapi bukan karena mengayuh perahu, melainkan karena mengayuh ibu agar anakku bisa kusirami.

Sehabis makan malam, aku duduk di teras rumah. Ayah dan ibu sudah tertidur, demikian juga Suti. Tak ingin aku membangunkan Suti. Aku hanya memeluknya dan mengecup pipinya dengan sejuta sayang.

***

”Mas, kenapa tidak menyayangiku lagi?” tanya Suti sepulang sekolah. Aku gagap menjawabnya. Aku juga merasa kalau Suti seperti tertinggal. Aku mengetahuinya kalau Suti suka sendiri dan menyendiri.

“Mas, apa mas tidak sayang sama Suti lagi, ya?” tanyanya dengan rengekan.

“Siapa bilang Mas tidak sayang. Mas, harus kerja keras mendapatkan uang, untuk sekolahmu, agar kamu terus sekolah tinggi. Mas rela kerja keras untuk itu. Apa namanya itu bukan sayang?” tanyaku pula.

Suti mengangguk. “Tapi Mas sudah tidak pernah mengajakku lagi ke laut mencari ikan. Ibu saja yang mas bawa,” katanya merajuk.

“Itu juga karena ibu sayang kamu. Dia tidak mau sekolahmu terganggu,” kataku.

“Tapi mas dan ibu tidak gituan, kan?” tanya Suti menyelidik.

“Apa kamu sudah gila, Sut.
Dengan ibu sendiri?” kataku setengah membentak.

Suti diam dan menyadari kesalahannya. Dia lalu memelukku dan menyandarkan kepalanya dibahuku dengan manja. Aku memeluknya dan Suti mendongakkan kepalanya, lalu aku menciumi bibirnya dan kami berciuman mesra. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Ibu memasuki rumah. Kami cepat-cepat berpisah. Suti turun dari pintu belakang dan aku duduk di lantai.

Ibu tersenyum. “Kedatanganku menggangu ya?” sindirnya

“Ehm, tidak. Tapi ibu juga harus memberikan kesempatan kepada Suti. Suti juga butuh.” kataku.

Ibu tersenyum. “Ya sudah, bawa dia melaut. Hati-hati jangan sampai ketahuan orang,” katanya.

Aku langsung turun ke bawah menemui Suti dan mengajaknya melaut karena Sabtu sore itu Suti tidak ke sekolah latihan Pramuka dan tidak ikut les. Suti senang sekali kuajak ke laut. Kami membawa peralatan penjerat kepiting.

Kami sama-sama mendayung perahu ke tengah laut menuju pulau kecil. Kami sama-sama berkeringat. Saat kami di tengah laut, kami berpapasan dengan nelayan lainnya.

“Sudah gelap, bakal turun hujan deras.” seorang nelayan berteriak.

“Ya, Pak. Kami hanya memasang jerat kepiting dan akan langsung pulang. Besok pagi akan kami angkat,” jawabku dengan suara keras.

Begitu selesai memasang jerat kepiting, hujan turun dengan deras disertai oleh petir. Kami cepat-cepat ke pulau kecil dan menambatkan perahu, lalu kami berlari ke dalam gubuk yang ada di pulau kecil itu. Sebuah gubuk kecil beratap rumbia dan berdindingkan anyaman daun kelapa. Kami duduk di bangku-bangku kecil yang ada di sana. Tiba-tiba petir menyabung lagi dan kilatnya menyambar-nyambar.

“Mas, aku takut,” kata Suti.
Dia naik kepangkuanku dan memelukku. Aku juga memeluknya. Lama kami saling berpelukan.

“Mas, aku mau,” kata Suti berbisik.

“Kita tidak bawa kondom. Nanti kamu hamil, dik. Jangan ya,” kataku.

“Jadi bagaimana dong, Mas?”

“Biar Mas jilati saja ya…” bisikku. Suti diam saja. Kuangkat baju kaosnya dan kulepaskan tali bra-nya. Aku mengisap-isap perlahan teteknya. Kujilati lehernya dan kuelus-elus pantatnya dalam pangkuanku.

“Mas, aku mau. Aku mau, mas.” rengeknya.

“Nanti kamu hamil, dik. Jangan ya,” kataku.

“Tidak, mas. Dua hari lagi aku akan haid.
Pinggangku sudah mulai sakit,” katanya. Oh, aku tidak menyadari, kalau adikku sudah pintar menandai haidnya.

Kuturunkan dia dari pangkuanku, kulepas celananya. Hujan masih terus turun dengan derasnya. Aku juga melepaskan celanaku. Kami berdua setengah telanjang. Kuminta Suti kembali naik ke pangkuanku. Dia sudah tahu tugasnya. Suti naik kepangkuanku. Perlahan dia tangkap kontolku dan memasukkannya ke memeknya. Suti menekan tubuhnya, agar kontolku tertelan oleh memeknya.

“Oh, kandas, mas,” katanya.

“Ya.”

Kami berpelukan dan bibir kami terus menempel. Lidah kami tak hentinya berkaitan dan kami saling memeluk dan saling mengelus-elus tubuh kami berlawanan dengan sapuan-sapuan mesra.

“Mas, benar tidak melakukan ini sama ibu, kan?” tanya Suti masih mengandung curiga.

“Kamu jangan mengada-ada,” kataku.

“Kabarnya ibu hamil, mas,” kata Suti.

“Ya, memang kenapa kalau hamil? Kamu kan juga dengar, kalau malam itu mereka begituan juga,” kataku.

Suti Diam. Dia terus memelukku dan perlahan-lahan menggoyangkan tubuhnya. Dia memutar-mutar pinggangnya dan aku terus mengisapi teteknya yang mungil dengan pentil yang kecil.

“Andaikan kita tidak bersaudara ya, Mas,” kata Suti.

“Kenapa?”

“Kalau kita tidak bersaudara, kita akan pacaran. Kalau Suti tamat sekolah, kita menikah.” katanya.

“Hus, jangan pikirkan itu. Nanti kamu harus menikah dengan laki-laki lain,” kataku.

“Nanti kalau Suti sudah menikah dengan laki-laki lain, kita tidak bisa seperti ini lagi,” katanya.

“Siapa bilang. Bisa dong. Kita akan buat pertemuan rahasia,” kataku meyakinkan dan Suti tersenyum sembari terus mengoyang-goyang pinggangnya.

Suti pun memeluk erat tubuhku. Nafasnya sudah terenagh-engah. Oh, dia  meleguh seperti lembu. “Aku sudah sampai, mas,” katanya.

Aku tetap memeluknya dan membiarkan dia berada di pangkuanku. Aku tahu, Suti sudah lemas. Kubiarkan dia diam di atas pangkuanku. Aku tetap memeluknya dan membelainya. Kontolku masih tetap tegang dan keras dalam memeknya.

“Mas sayang Suti, kan?” bisiknya.

“Ya, aku tetap menyayangimu,” kataku merayunya.

“Mas jangan pernah lakukan ini pada ibu ya?” ulangnya lagi.

“Kamu jangan mengada-ada, dik. Jangan mengada ada,” kataku.

“Benar ya, Mas?”

“Benar. Dia ibu kita,” kataku mengandung penyesalan.

Suti mencium leherku dan mendengus di sana. Terasa nafasnya hangat di leherku. Gairahku muncul. Aku memelukkan kedua tangankua ke pantatnya dan menarik maju-mundur agar kontolku keluar masuk di memeknya.
“Terus, mas. Enak.” katanya.

Aku meneruskannya. Suti memelukkan kedua tangannya ke tengkukku dan mulai menempelkan bibirnya dan lidah kami kembali bertautan.

“Ayo, mas. Ayo, mas. Aayoooo!” katanya.

Kulihat nafsunya demikian menggebu-gebu. Aku terus menggoyangnya dan terus mencucupi bibirnya dan suara hujan semakin lama semakin menderas saja. Sesekali suara petir menggema dengan didahului oleh kilat dengan lidahnya yang menyambar-nyambar. Pada suara petir yang ketiga, aku memeluknya dengan kuat dan Suti juga memelukku dengan kuat. Saat itu, aku melepaskan spermaku beberapa kali ke dalam memeknya.

“Maaaasssss, ohhhh…” rintihnya.

Aku terus memeluknya dengan kuat dan membelai-belai kepalanya.

“Enggak pakai kondom lebih enak lo, Mas,” katanya.

“Kenapa?”

“Entah. Rasa lendirnya lebih nikmat. Kalau pakai kondom, lendirnya nggak terasa,” kata Suti tersenyum.

“Ya, tapi kita harus tetap pakai kondom, kecuali kalau kau dua hari lagi mau haid,” kataku.

Kontolku mengecil dan lepas dengan sendirinya dari memek Suti. Kuturunkan tubuh Suti, seiring dengan hujan mulai mereda. Malam sudah tiba dan langit makin hitam. Angin mulai reda juga.

“Kita pulang, Mas. Aku takut,” kata Suti.

“Ya. Kita pulang.”

Kami memakai pakaian kami dan mendekati perahu lalu naik ke atasnya. Aku melepaskan ikatan tali perahu dan kami mengayuh ke darat. Di darat, kami sudah melihat kerlipan lampu-lampu dari desa kami.
Kami memacu dayungan kami. Jangan sampai hujan datang semakin deras lagi dan angin menderu-deru. Di bawah siraman hujan rintik kami mendayung dan mendayung perahu kami tanpa kenal lelah.

“Mas, aku masih mau,” kata Suti.

“Besok lagi. Hujan nanti deras dan angin nanti kencang, Kita harus segera tiba di rumah dan ganti baju, biar besok kamu tidak sakit,” bujukku.
Suti tersenyum dengan semangat dia mendayung perahu dengan kuat dan perahu kami melaju dengan kencang.

Setiba di rumah, kami langsung mengganti pakaian kami dengan yang kering dan kami menyantap makanan yang sudah tersedia. Aku memberikan sebuah tablet obat flu, agar Suti tidak sakit dan aku juga menelan sebutir obat itu.

Saat kami makan dengan lahapnya, ibu tersenyum dari sebuah sudut saat mata kami bertatapan. Aku mengerti apa arti senyumannya dan arti tatapannya. Terlebih tanpa sadar, aku menyuapkan sepotong ikan ke mulut Suti dan Suti menerima dengan mulutnya, ketika aku menyodorkannya ke mulutnya. Suti pun makan dengan bahagia.

Usai makan, Suti mencuci piring bekas piring makan kami.
Saat itu ibu datang mendekatiku dan berbisik. “Kamu jangan lupa giliranmu menyirami bayi dalam kandunganku,” katanya.

Aku mengangguk. Yah, sudah kepalang. Dalam perut ibu ada bayiku. Kata ibu yang sudah berpengalaman, aku harus terus menerus menyiraminya, kalau aku tak mau bayiku sakit dalam perut. Aku terkejut. Tiba-tiba saja ibu mengelus kontolku dari balik celana. Dalam keterkejutanku, ibu malah tersenyum.

“Tadi dia sudah makan kenyang tuh,” sindir ibu. Aku mengerti maksudnya. Kontolku sudah makan kenyang dari memek Suti. Aku tersenyum kecil.

“Siapa yang kenyang, Bu,” tanya Suti menyahut dari belakang.

“Mas mu. Dia sendawa, berarti makannya kenyang,” kata ibu di dapur. Aku jelas mendengarnya.

Malam itu aku menyetubuhi ibu dua kali di atas perahu tanpa sepengetahuan Suti dan ayah.

***

Tiga hari setelah kejadian itu, aku didatangi ibu di dapur. Pagi itu, ayah pergi ke kecamatan. Katanya ada pertemuan partai yang mau kampanye. Ayah diundang oleh calegnya. Suti sekolah. Ibu langsung meraba kontolku dari balik celanaku. Pagi yang hangat itu, aku benar-benar jadi nafsu. Langsung kupeluk ibu dan mencium bibirnya dan aku mempermainkan lidahku dalam mulutnya. Ibu membalasnya. Kuminta ibu berjongkok.

“Untuk apa?” katanya.

Aku hanya menatapnya dengan mataku aku meminta ibu mengikuti apa yang kumau. Ibu pun berjongkok. Kukeluarkan kontolku, lalu kusodorkan ke mulut ibu. “Hisap, bu,” kataku. Ibu sempat melihatku. Lalu kontolku dipegangnya, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.

“Aduh, Bu. Jangan kena gigi ibu, sakit,” kataku.
Ibu berusaha agar giginya tidak mengenai kontolku. Aku merasa nikmat sekali.

“Bagaimana, Bu? Enak juga kan?” kataku. Ibuku diam saja.

Kuminta ibu berlutut dan menungging. Ibu melakukannya. Kusingkap roknya. Ibu yang tidak memakai celana dalam kukangkangkan. Kumasukkan pelan-pelan kontolku ke lubang memeknya. Perlahan aku menusuknya dan perlahan pula aku menariknya.

“Bagaimana, Bu?” kataku.

“Enak. Teruskan,” katanya.

Aku mencucuk tarik kontolku di dalam lubang memek ibu. Ibu mendesah-desah, sebagaimana anjing yang baru saja usai berlari jarak jauh. Sampai akhirnya, aku melepaskan spermaku di dalam memek ibu.

***

Perut ibu semakin membesar. Ibu sudah tak mungkin lagi ke laut. Jika sore Suti tidak ikut latihan pramuka atau les, Suti selalu menemaniku ke laut. Tentu dengan nasehat: ’hati-hati, jangan sampai Suti hamil dan jangan sampai ada yang tahu.’ Aku mengangguk. Aku pun melaut bersama Suti. Selalu saja, aku ketinggalan kondom. Suti juga tidak mengingatkan dan malah dia sangat menginginkan aku tidak memakai kondom. Kami justru bersetubuh dengan lebih semangat dan leluasa tanpa pengaman. Tanpa sadar, Suti hamil dalam usia 15 tahun. Aku sempat panik juga. Kalau digugurkan, bagaimana mengatakannya kepada ibu dan bagaimana mengatakannya kepada dokter yang akan menggugurkannya. Akhirnya aku dapat akal. Aku mengetahui kalau Amir suka mencuri-curi pandang kepada Suti. Dan beberapa kawan-kawan Suti suka mengolok-olok Suti dengan Amir dan Suti biasanya tertunduk malu, tapi Amir malah bangga dan senang.

Aku mulai meyakinkan Suti, kalau dia harus membawa Amir ke pulau ini, kemudian merayunya dan melakukan persetubuhan dengan Amir. Mulanya Suti tidak mau, tapi aku terus meyakinkannya, kalau kami tak mungkin menikah. Dengan perasaan berat, Suti akhirnya mau juga. Aku lebih dahulu ke pulau kecil dan mengendap di balik pohon bakau. Tak lama perahu kecil yang dinaiki oleh Amir dan Suti muncul. Aku sembunyi di balik pohon bakau yang lebat. Aku melihat Amir mulai merayu Suti. Usia mereka hanya selisih 4 tahun. Mereka pun berciuman. Saat itu Suti yag sudah lincah dan pintar mulai mengelus-elus kontol Amir. Amir membalas mengelus-elus memek Suti dan Amir melepaskan celananya. Perlahan pula Amir melepas celana Suti yang tidak memekai celana dalam. Perlahan Amir menindih Suti di atas perahu dan memasukkan kontolnya ke dalam memek Suti. Aku melihat dengan jelas, Amir menggenjot Suti dari atas sampai perahu terangguk angguk. Sampai akhirnya mereka merenggang dan Suti menangis. Aku mendengar Amir membujuknya dan memeluk Suti dengan tulus. Kejadian itu terulang berkali-kali atas petunjukku. Sampai akhirnya, aku meminta dikawani oleh dua orang tua mencari perahu yang dipakai Amir dan Suti. Kami mengendap-endap dari balik pohon bakau. Kami bertiga melihat Suti digenjot oleh Amir.

“Bagaimana. Kita tangkap basah?” kata salah seorang orangtua itu.

“Terserah. Tapi aku di sini saja. Aku malu,” kataku.

Mereka memakluminya. Akhirnya kedua orangtua penduduk kampung kami memergoki mereka dan menyergapnya. Saat mereka menyergapnya, aku pulang sendiri. Dari kejauahan aku melihat mereka membawa Suti dan Amir ke kampung dan aku sudah lebih dahulu sampai. Aku hanya tertunduk saja saat keduanya dibawa ke rumah kepala desa. Kedua orang tua kami diundang datang dan semua diberitahukan.

Aku katakan, aku tak mau persoalan ini diperbesar-besar. Aku meminta agar mereka dinikahkan saja. Mulanya ayahku uring-uringan. Tapi ibuku membentaknya dan aku menyetujui mereka menikah. Akhirnya, kedua orangtua Amir setuju mereka dinikahkan, karena ibu Amir sudah lama menyenangi adikku Sutinah.

Sore itu, beberapa orang di desa itu diundang, termasuk kepala sekolah Suti. Kepala desa memohon, agar Suti diperkenankan mengikuti ujian minggu depan agar mendapat ijazah. Kepala sekolah setuju. Mereka dinikahkan dan ayahku menjadi walinya. Aku tertunduk. Saat mata Suti melirikku, aku tersenyum dan Suti tersenyum sembunyi-sembunyi.

Malam itu juga, Amir pindah ke rumah kami dan di rumah tirai pembatas di pasang. Aku tidur di dapur. Setelah sebulan, Suti mulai muntah-muntah. Hampir seluruh desa mengetahui kalau Suti hamil. Orangtua Amir sangat senang. Bahkan ada yang mengatakan,.Amir itu laki-laki perkasa. Begitu nikah langsung hamil. Tapi ada yang mengatakan. kalau Amir dan Suti diam-diam sudah lama melakukan hubungan suami isteri secara diam-diam. Semua memaklumi. Begitulah kalau desa pantai.

“Ini anak Mas, kan?” kata Suti berbisik. Aku mengangguk. Dalam hatiku, kalau setahun ini, aku akan mendapatkan dua orang anak sekaligus. Satu dari ibu dan satu dari adikku Suti.

Orang-orang kampung datang ke rumah kami, setelah tujuh hari ibu melahirkan seorang bayi laki-laki. Selamatan dibuatkan kecil-kecilan. Bancakan namanya. Ayahku senang sekali atas kelahiran bayi mungil itu. Dalam usianya yang tua, orang berkata, kalau ayahku masih hebat. Ayah pun dengan busung dada sangat bangga dikatakan demikian.

Dua bulan setelah itu, giliran Suti melahirkan. Dia meraung-raung. Maklum anak pertama. Aku sangat gelisah akan keselamatan adikku Suti. Ada penyesalan dalam diriku. Ibu bidan desa terus menerus menemani Suti yang masih muda belia itu. Akhirnya aku mendengarkan suara tangisan bayi yang memecah hembusan angin senja.

“Bayi laki-laki.” kata ibu bidan.

Aku pun lega. Kudengar tangisan Suti langsung terhenti. Ibu pun sangat sibuk mengambil air dalam waskom. Bayi dibersihkan. Setelah semua selesai, kami satu-persatu bergantian diberikan kesempatan menyalami Suti. Pertama Amir, kedua orangtuanya, ayahku dan terakhir aku. Aku mencium pipi Suti. Suti memelukku kuat dan meneteskan air mata. Aku juga.

“Selamat ya, dik.” kataku.

Suti meraih tengkukku dan membisik ke telingaku. “Bukan dik. Tapi Bu ne.” katanya.

Aku mendekatkan mulutku ke telinganya dan mengatakan, ”Selamat ya, bu ne.”

Suti tersenyum di balik wajahnya yang masih pucat. Aku juga tersenyum. Semua menyaksikannya. Lalu ibuku angkat suara. “Aku bahagia sekali. Anak laki-lakiku sangat menyayangi adiknya Suti. Demikian juga Suti sangat menyayangi kang Mas-nya. Maklumlah, selama ini hanya ada mereka berdua, sebelum adik Suti lahir,” kata ibuku dengan sedikit bangga atau dibangga-banggakan.

Semua ikut memuji kami, aku dan Suti

END