Perempuan yang sudah lama kusukai bernama Tania, ia adalah teman kuliahku. Orangnya ramah, sangat enerjik, dan bisa dibilang tomboy. Ia adalah salah satu di antara empat orang teman dekatku di kampus, yang lain adalah Galih (si anak orang kaya), Rian (si gendut), dan Santi (teman akrab Tania yang kemana-mana selalu bersama). Sementara namaku adalah Adi, seorang lelaki 20 tahun biasa-biasa saja, yang paling pemalu di antara kami berlima.
Pada malam ini, kami berempat janjian untuk bertemu di sebuah kafe di tengah kota untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya masa liburan. Aku datang ke kafe bersama dengan Gilang, menumpang di mobilnya. Bukan berarti aku tidak mau mengeluarkan uang untuk ongkos, hanya saja Gilang menawari aku untuk pergi bersamanya, jadi aku tak bisa menolak.
Tiba di kafe, Rian sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di pojok ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Rian tak henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia tak sadar kalau kami sudah ada di belakangnya.
“Hey!” Galih menepuk pundak Rian, membuat pria gemuk itu terhenyak kaget.
“Baru sendirian?” tanyaku sambil duduk.
“Iya nih. Parah dah, cuma gue aja yang nggak ngaret,” jawab Rian.
“Lah, Si Tania sama Santi belom dateng?” tanya Galih yang kemudian duduk di sebelah Rian, lalu melongok ke arah monitor laptop.
“Mana gue tau? Biasalah, cewek-cewek itu. Padahal tempat kost mereka paling deket dari sini,” jawab Rian.
Di samping laptop, terdapat sepiring roti bakar isi coklat keju yang tampak masih hangat. Tanpa minta izin, Galih segera mengambil sepotong roti dan melahapnya. Rian menatap Galih sambil menyindir, tapi Galih hanya membalasnya dengan menaikkan alis. Selama setengah jam, kami mengobrol hal-hal ringan seperti film yang sedang diputar di bioskop dan game-game baru.
Saat kami masih asyik mengobrol, Tania dan Santi tiba di kafe. Tania datang mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dengan logo The Rolling Stones di bagian dadanya. Untuk sekilas, perhatianku terhenti pada bagian itu. Tidak, dia bukan wanita berdada besar seperti yang banyak dipikirkan lelaki hidung belang. Dadanya relatif kecil, namun tonjolan mungil dan menggemaskan itu terlihat samar-samar dari balik kaosnya, membuatku tak henti merasa penasaran. Begitu pula dengan bokongnya. Bahkan pada saat ia memakai celana jeans ketat seperti sekarang pun, pantatnya cenderung rata. Ia memang kurus, tapi kakinya jenjang dan pinggangnya membentuk kurva yang menarik. Selain tentu saja, wajah dan senyumnya yang sangat manis.
“Guys, sori, sori.. tadi gue ada urusan sebentar,” ujar Tania sambil merapikan rambutnya yang lurus dan panjang sebahu.
“Iya, lagian tadi angkotnya ngetem lama banget,” tambah Santi. Santi memiliki wajah yang kurang menarik, badannya juga pendek dan agak gendut, tapi ia adalah orang yang sangat setia kawan, terutama pada Tania.
“Ya udah, duduk dulu. Nanti habis ini baru kita nonton,” ujar Galih.
Santi duduk di sebelah Galih, sementara Tania duduk tepat di sebelahku. Sudah tiga bulan ini aku merasakan gelora yang luar biasa terhadap Tania. Aku sendiri pun tidak mengerti, kenapa baru belakangan ini aku jatuh cinta kepadanya, padahal kami sudah saling kenal selama dua tahun lebih. Tania meletakkan tas kecilnya di atas pangkuan sambil menyikut lenganku, lalu ia tersenyum manis. Gaya sapaannya yang seperti itu malah membuat jantungku berdetak semakin kencang.
“Rapi banget lo. Mau nonton apa kondangan?” sindir Tania sambil menunjuk kemeja formal yang kukenakan, lalu tertawa. Sebenarnya aku memakai kemeja ini karena pakaianku yang lain masih di laundry.
Kami berlima menghabiskan waktu di kafe sambil minum kopi dan makan kue-kue ringan. Banyak orang yang menjuluki kami sebagai Power Rangers, karena komposisi geng kami yang terdiri dari tiga pria dan dua wanita. Bagiku, kalau memang itu benar, maka Galih adalah ranger merah, Rian adalah ranger hitam (karena kulitnya hitam), Santi adalah ranger kuning, Tania adalah ranger pink, sementara aku adalah ranger biru (karena seingatku ranger biru biasanya yang paling kalem dan pemalu).
Setelah selesai di kafe, kami pun segera beranjak ke bioskop yang letaknya tak jauh dari situ. Tiket sudah dibeli sebelumnya, sehingga kami tak perlu khawatir kehabisan tempat. Kebetulan saat kami datang filmnya sudah hampir diputar, sehingga kami segera masuk ke dalam studio tanpa menunggu lagi.
Tiket yang kubeli kemarin memiliki nomor 26, 27, 28, 29, dan 30; letaknya di pojok sebelah atas. Dan entah kenapa, mungkin ini memang sudah takdir, aku duduk bersebelahan dengan Tania. Aku duduk di kursi paling pojok, di sebelah kananku Tania, dan Santi di sebelahnya lagi.
“Anjrit, iklannya lama banget! Tau gini tadi mending gue beli popcorn dulu!” ujar Tania kesal.
“Lah, bukannya tadi kita bawa kacang atom ya?” ucap Santi sambil membuka restleting tasnya.
“O iya, lupa gue!” Tania akhirnya menemukan sebungkus kacang atom dari tas Santi. Dia langsung membuka bungkus kacang, meraup segenggam, lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulut. “Di, mau?” ucapnya padaku, mulutnya masih penuh dan terus mengunyah. Kupikir-pikir, cewek yang tidak anggun ini sepertinya tak pantas jadi ranger pink.
“Nanti aja deh, filmnya juga belum mulai,” ucapku.
“Ya udah, ntar kalau mau, bilang ya,” ucapnya.
Tak lama kemudian, film langsung dimulai dan lampu dimatikan. Film yang kami tonton adalah sebuah film misteri yang berjudul Fog Hill. Ceritanya tentang sekelompok orang yang tersesat di bukit misterius yang aneh. Selama setengah jam kami serius menonton dan tak banyak bicara, kecuali Tania dan Santi yang sesekali bergumam.
“Masih ada nggak kacangnya?” tanyaku pada Tania.
“Oh iya, masih ada nih, dikit lagi. Hehe,” ucap Tania sambil nyengir dan menyerahkan bungkusan kacang. Gila, kayanya dia lagi kelaparan, cepat amat makannya.
Aku mengambil segenggam kacang dan memasukkannya ke dalam mulut ketika adegan film yang menegangkan dimulai. Tokoh utama di film itu sedang dikejar-kejar oleh pembunuh kejam, dan ia harus bersembunyi demi keselamatan nyawanya. Aku menyodorkan bungkus kacang ke arah Tania tanpa menolehkan wajahku dari film. Tania tidak langsung mengambil bungkus kacang itu, mungkin ia tidak ngeh karena gelap. Lalu aku majukan sedikit lagi tanganku dengan tujuan agar lebih dekat ke mukanya. Namun tanpa sengaja, punggung tanganku malah menyentuh sesuatu yang aneh, sesuatu yang empuk dan agak kenyal. Entah karena sedang terfokus pada film atau apa, aku tidak langsung menarik tanganku dan malah menekan-nekan benda empuk itu dengan tangan yang sedang memegang bungkus kacang. Baru beberapa detik kemudian aku sadar dan menoleh, dan pada saat itulah aku baru tahu kalau tanganku sedang menyentuh buah dada Tania yang mungil itu, meskipun terhalang kaos.
Nafasku tertahan dan rasa takut sekaligus malu memenuhi kepalaku. Di antara kegelapan bioskop, aku mencoba melihat ekspresi wajah Tania. Ia sedang menatapku dengan tatapan yang canggung dan tampak seperti sedang menahan nafas. Oh tidak! Aku langsung menarik tanganku secara terburu-buru, akibatnya bungkus kacang itu malah jatuh dan menumpahkan sebagian isinya. Beberapa butir kacang berserakan di kolong kursi.
“Aduh! Maaf, maaf! Nggak sengaja!” ujarku panik. Entah aku minta maaf untuk kesalahan yang mana.
“Gak pa-pa, santai aja kali, cuma dikit kok,” jawab Tania dengan kalimat yang kurasa agak ambigu. Ia mengucapkannya dengan senyum yang tampak dipaksakan. Mudah-mudahan ia tidak marah.
Setelah itu, sepanjang sisa film aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku selalu tertuju pada benda empuk yang baru saja kusentuh tanpa sengaja. Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku menyentuh buah dada perempuan dengan sefrontal itu. Yah, aku memang cowok yang agak kuper, jadi maklumi saja. Dan sekarang penisku jadi sedikit tegang, membayangkan kalau seandainya aku bisa meremasnya tadi. Tapi di sisi lain, aku juga takut kalau Tania marah padaku, bisa saja ia mengira aku sengaja melakukannya.
Setelah selesai nonton, aku dan Tania tidak banyak bicara. Aku juga tidak berani mengajak bicara lebih dulu, karena aku sendiri masih merasa malu. Kami pulang dengan menumpang mobilnya Galih, aku duduk di sebelah depan, sementara Tania, Santi, dan Rian di kursi belakang. Sesampainya di rumah, aku segera mengirim SMS ke ponsel Tania. Aku memang tidak berani meminta maaf secara langsung, dan aku juga tidak mau hubungan persahabatan kami jadi renggang gara-gara masalah kecil.
“Tan, sori ya yg tadi. Sumpah, gue ga sengaja,” ucapku dalam SMS.
Tak lama kemudian, ia membalas SMS-ku. “Iya, gue tau kok. Cuma tadi gue speechless aja, kaget gue. Geli. :p “
Entah karena kalimat yang mana, penisku menjadi tegang lagi. Karena di rumah sendiri, aku tidak ragu-ragu untuk melakukan onani sambil memandangi foto Tania. Wajahnya, senyumnya, tubuhnya, rambutnya. Seandainya saja aku bisa mengulang kejadian tadi seratus kali. Oh, seandainya saja aku bisa bercinta dengannya.
***
Esok paginya, untuk memastikan bahwa hubunganku dengan Tania baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke tempat kost Tania, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam. Aku mengetuk pintu kamarnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia tidak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar.
“Eh, Di? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
“Iya, gue kebetulan lewat sini dan inget mau ngembaliin buku,” ucapku canggung.
“Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam kamar.
Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam kamarnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku kamarnya tampak rapi. Ada boneka kucing cukup besar di sudut kamar, yang menandakan bahwa ia tidak setomboy yang orang pikir.
Tania mengambil buku yang aku berikan, lalu menyimpannya di dalam lemari. Ketika ia sedang menyimpan buku dan membelakangiku, timbul suatu keinginan yang amat besar untuk memeluknya dari belakang, lalu mencium lehernya, dan meremas buah dadanya. Tapi tentu saja aku tidak berani melakukan hal itu. Aku sangat menghargai dia sebagai temanku, terlebih lagi aku menyukainya sebagai perempuan yang menyenangkan.
“Adi, lain kali lo kalau nonton di bioskop deket gue, hati-hati dong. Mentang-mentang gelap, lo seenaknya aja grepe-grepe gue. Pelecehan tau!”
Dadaku serasa tertusuk mendengar ucapannya yang tiba-tiba itu. Tapi kemudian ia menoleh ke arahku dan tertawa lepas.
“Haha. Becanda ih. Muka lo pucat banget sih?”
“Iya. Abisnya gue keasyikan nonton film, lagi seru-serunya. Murni kecelakan kok, Tan,” jawabku membela diri.
“Baru pertama kalinya ‘itu’ gue dipegang cowo. Kanget banget gue waktu itu,” ucapnya sambil tersenyum. Kok rasanya pembicaraan ini jadi agak gimana gitu.
Aku tahu, di luar sifatnya yang suka seenaknya, Tania adalah gadis yang baik-baik. Setidaknya ia bukan penganut pergaulan bebas seperti perempuan perkotaan yang lain. Tapi tetap saja, dia adalah perempuan dewasa yang tidak naif lagi.
“Apalagi gue, Tan,” ucapku menimpali.
Setelah itu kami berdua saling bertatapan, cukup lama, sampai akhirnya aku berpikir untuk segera pulang saja. Namun belum sempat aku pamit, Tania membuka mulutnya dan berbicara.
“ehm, Di….”
“Ya?” tanyaku.
“Ngg… gimana ya bilangnya… bingung,” Tania tersipu.
“Apaan sih?” ucapku, berlagak santai.
“Hmm… boleh nggak? Ngg… tapi jangan bilang siapa-siapa, yah?”
“Maksudnya?”
“Lo janji dulu, jangan bilang siapa-siapa. Please…” ucap Tania dengan senyum malu-malu.
“Iya, gue janji kok. Ada apa?”
Tania menunduk, kedua tangannya bertautan di belakang punggung, “Lo… lo mau nggak megang ini gue lagi? Sejak semalem gue penasaran banget, pengen ngerasain. Bagian yang lo sentuh kemarin rasanya jadi gatel terus, gimana gitu.”
“Tan, lo nggak lagi ngerjain gue kan?” nafasku serasa berhenti selama beberapa detik, sementara penisku perlahan-lahan menegang.
“Terserah elo mau nganggepnya gimana. Gue malu banget sebenernya, tapi gue percaya sama lo,” ucap Tania sambil terus menunduk.
Aku mencubit pipiku, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan sekedar mimpi basah di tengah malam. Ini sungguhan. Terdengar konyol dan kekanak-kanakan memang, tapi aku kenal Tania, dia bisa saja seperti itu. Mungkin ini hanyalah nafsu sesaatnya. Mungkin ia tak punya perasaan apa-apa padaku, dan dia, di luar dugaanku, mungkin memang agak naif dalam urusan semacam ini.
“Ya udah, gue cuma bercanda kok! Nggak juga nggak apa-apa. Tapi lo udah janji ya nggak akan bilang siapa-siapa,” ucap Tania tiba-tiba, sambil tertawa yang dipaksakan, tapi ada sorot kecewa dari matanya.
Aku tak tahan lagi, aku tak mau bersikap munafik. Aku langsung melangkah maju dan memeluk tubuh Tania. Tubuhnya yang langsing dan tinggi sekarang berada di dalam dekapanku. Aku dapat merasakan kehangatannya, kelembutan dan kerapuhannya, begitu juga dengan wangi rambutnya yang membuatku melayang. Lalu kutatap matanya, dan kukecup bibirnya dengan lembut. Kecupan itu berubah jadi lumatan, lalu hisapan, bahkan sesekali ia memainkan lidahnya.
“Mmmhh…”
Hanya suara lenguhan pelan yang terdengar di antara kami. Bibirnya terasa manis dan lembut, seperti mengirimkan sensasi luar biasa di seluruh mulutku. Tak lama kemudian, ia memaksaku melepaskan ciuman.
“Dasar bego! Gue nggak minta dicium, tapi gue minta lo remesin toket gue!” ucapnya sambil menahan tawa.
Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kedengaran seperti lelucon yang sangat konyol.
Aku duduk di atas kasurnya, “Tania, sini duduk, gue pangku.”
Tania melangkah sambil tersenyum malu-malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang. Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa merasakan tonjolan penisku di pantatnya, tapi ia tak bilang apa-apa.
“Oh iya, Di. Lo jangan macem-macem ya. Kita masih tetep temenan, jadi lo jangan ngelakuin hal yang lebih ya,” ucap Tania.
“Iya, gue ngerti kok. Gue nggak akan ngelakuin yang nggak lo minta,” Aku melingkarkan tanganku di pinggang Tania, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar kaos.
“Perut lo six pack ya?” tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa.
Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah ketiak.
“Duuh Adi… Please dong. Lo lebih suka megang ketek daripada toket ya?” Tania meledek.
“Haha. Iya, iya.”
Kugunakan jari-jemariku untuk menyentuh buah dada Tania, kutelusuri permukaanya, lalu kutekan-tekan sedikit. Rasanya lembut dan kenyal, jauh lebih intens dari yang aku rasakan waktu di bioskop. Dan ternyata ia tidak memakai bra, mungkin karena tadi sedang bersantai di kamar.
“Mmmh…” Tania melenguh pelan, seperti ditahan.
Lalu kupijat lembut kedua payudaranya dari luar kaos. Kuremas-remas pelan. Ternyata ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari luar kaos, bahkan gunungnya masih cukup memenuhi telapak tanganku. Selain itu, bentuknya juga bulat dan kencang, sama sekali tidak kendor atau menggantung. Semakin lama pijatanku semakin kuat, kuremas dari bagian pangkal hingga ke putingnya. Samar-samar aku dapat merasakan putingnya yang sudah sangat keras. Langsung saja kuelus-elus menggunakan jari.
“Haaaah… Di, pelan-pelan dong,” ucap Tania dengan nafas yang penuh desahan.
Mendengar suara desahannya, penisku menjadi tegang dengan sempurna, mendesak ke arah pantat Tania.
“Gue nggak ngerti nih, rasanya gue udah gila deh. Bisa-bisanya sekarang toket gue diremes-remes sama sahabat gue sendiri… dan sekarang, tongkol sahabat gue itu ngaceng di pantat gue,” ujar Tania di sela desahan nafasnya, dan berusaha untuk tertawa.
“Gue juga ngerasa ini bener-bener aneh,” ucapku sambil terus meremas buah dadanya.
“Iya, aneh. Tapi enak. Ahhh…” Tania mendesah panjang ketika kuremas bagian putingnya.
Perlahan-lahan, Tania menggerakkan pinggulnya, memberikan gesekan pada penisku.
“Uhhh… gila, enak rasanya,” ujarku.
“Gue kasih bonus tuh dikit, hihi,” ucap Tania.
“Mau gue isep pake mulut ga?” tanyaku padanya. Sekarang rasa malu dan canggungku kepadanya sudah hilang entah kemana. Mungkin tenggelam di lautan nafsu.
“Mmmmh… Iyah… mau,” ucap Tania. Kemudian ia langsung berdiri dan membalikkan badan. Lalu ia duduk lagi di pangkuanku, kali ini saling berhadapan.
“Kaosnya buka dulu dong,” ucapku sambil menunjuk kaos putihnya yang sudah lecek di bagian dada.
“Nggak ah…! Nggak mau!” tolaknya sigap.
“Lah, katanya mau diisep?” tanyaku.
“Ya lo isep dari luar kaos aja, gimana?”
“Susah dong….”
“Pokoknya gue nggak mau buka baju, gue takut kebablasan ntar. Bahaya Di, kita kan cuma temenan. Lagian gue masih perawan gitu lho.”
Dasar aneh, gumamku dalam hati. Namun aku tetap menghargainya, bisa begini saja sudah merupakan mukjizat bagiku. Langsung kudekatkan kepalaku ke arah dadanya, lalu kuciumi buah dadanya dari luar kaos. Kucoba untuk menghisapnya. Rasanya pahit, kaos ini rasanya tidak enak.
“Ya udah, gue kasih bonus lagi,” ucap Tania sambil menggoyangkan pinggulnya lagi. Kali ini penisku bergesek-gesekan dengan vaginanya secara tidak langsung. Rasanya membuatku kembali bergairah. Kugigit-gigit buah dadanya yang kanan, sementara yang kiri aku remas-remas.
“Mmmmhh… Di… this is… our dirty little secret,” ucap Tania.
Tiba-tiba saja ponsel Tania berdering. Merasa terganggu, aku menghentikan aktivitasku. Tania menoleh ke arah ponselnya, lalu segera meraihnya sambil tetap duduk di pangkuanku.
“Cuma SMS,” kata Tania.
“Siapa?” tanyaku.
“Dari Santi. Dia bilang… dia lagi di jalan mau ke sini, lima belas menit lagi sampe,” jawab Tania sambi mengerutkan dahi.
“Wah gawat, berarti kita harus udahan nih,” ucapku. Aku mulai panik, akan jadi bencana kalau sampai salah satu dari rangers lain mengetahui perbuatan kami.
“Sebentar, jangan dulu,” ucap Tania.
“Tapi sebentar lagi Santi mau kesini kan? Lo nggak mau kan kalau Santi sampe tau atau curiga?” tanyaku.
“Iya, gue ngerti kok. Tapi masih ada lima belas menit. Please,”
Tiba-tiba Tania menyentuh penisku dari luar celana, lalu membuka restletingnya. Ia menatapku dan tersenyum, “Gue kocokin deh, yah?”
Aku tak sanggup menolak.
Tania umurnya sedikit lebih muda dariku, tapi meski begitu ia adalah orang yang cerdas, terutama dalam masalah pelajaran. Aku pertama kali mengenalnya saat kami satu kelas dalam sebuah mata kuliah. Waktu itu aku sudah akrab dengan Galih dan Rian, Tania juga sudah akrab dengan Santi. Lalu kami berkenalan, dan mungkin itulah awal mulanya geng Power Rangers terbentuk.
Aku ingat bagaimana aku adalah orang yang paling canggung di hadapan perempuan, bahkan terhadap Tania. Karena ia memang supel dan ramah, ia yang selalu mendekatiku lebih dulu, hingga aku akhirnya bisa mengenal dia lebih akrab. Dia yang selalu aktif memulai candaan saat kami sedang nongkrong, lalu biasanya akan ditimpali oleh Santi dan Galih dengan cara yang konyol, bahkan cenderung gila. Rian cenderung waras, dan aku lebih waras lagi.
Bukan rahasia lagi kalau banyak cowok di kampus yang naksir pada Tania, baik senior ataupun junior. Namun Tania tampaknya tidak punya keinginan untuk pacaran dan hanya senang berteman. Dia pernah curhat bahwa dulu ia pernah disakiti seorang cowok, dan itu membuat dia jadi anti terhadap status pacaran. Lagipula, semua orang setuju kalau Tani adalah tipe cewek yang asik dijadikan teman, dan tidak cocok dijadikan kekasih.
Tapi aku berbeda. Aku punya perasaan yang lebih dari sekedar teman. Dan lucunya, cewek yang kusukai secara diam-diam itu kini sedang duduk di sampingku, tangannya pelan-pelan membuka restleting celanaku, sementara bibirnya tersenyum antusias.
“Gak pa-pa kan, kalo gue pegang barang lo?” tanya Tania.
Aku hanya mengangguk. Mana mungkin aku menolak.
Setelah restleting celanaku terbuka, terlihatlah celana dalam coklatku yang sudah menonjol menahan desakan penis. Ujung jari telujuk Tania yang lentik itu pelan-pelan mengelus penisku dari luar CD. Aku benar-benar sulit percaya, jari-jemari yang lentik dan indah itu sekarang mulai memijit-mijit kelaminku.
“Geli, Tan…” aku meringis.
“Waw, ternyata kaya begini ya. Gue baru pertama kali megang barang cowok,” ucap Tania.
“Gue juga baru pertama kali diginiin.”
“Emang ga sakit ya, ketahan celana kaya gini?” tanya Tania.
“Yah, sedikit sakit sih.”
“Keluarin aja ya?”
“Iya deh.”
Pelan-pelan, Tania menarik ke bawah ujung celana dalamku, dan seketika itu juga penisku yang sudah tegak langsung mencuat keluar. Melihat benda keras dan panjang itu tiba-tiba berdiri di hadapannya, Tania tampak kaget.
“Buset! Kaget gue. Hmmm… bentuknya gini ya,” ucap Tania. Sekarang jari-jemarinya meraba-raba batang penisku.
“Uhhh… emangnya lo baru pertama liat?” tanyaku sambil menahan desahan.
“Gue pernah liat lah, di film bokep. Tapi agak beda…” jawab Tania sambil mengelus-elus kepala penisku yang terlihat seperti topi tentara.
“Beda? Masa sih?”
“Iya, kalo di film sih, agak… lebih gede gitu,” Tania tertawa pelan. Sialan, aku diledek. Inilah akibatnya kalau cewek suka nonton bokep bule. Membandingkan seenaknya.
“Huh.”
“Becanda ih… haha…” Tania menjulurkan lidah. Oh seandainya saja lidah itu mau bergesekan dengan kulit penisku. Tapi aku tak berani meminta, “menurut gue punya lo pas banget di tangan,” ucap Tania.
Sekarang Tania menggenggam batang penisku dengan telapak tangannya. Rasanya ada sensasi dingin dan hangat sekaligus. Lalu ia mulai menggerakkannya naik turun. Oh, nikmatnya, dia mulai mengocok. Tapi tiba-tiba ia melepaskan lagi genggamannya. Lho, kenapa?
“Sebentar ya,” ucap Tania sambil beranjak berdiri.
Aku hanya mengangguk bingung. Ternyata ia berjalan ke arah lemari dan mengambil sebotol body lotion.
“Kasian kalau anak orang sampe gue bikin lecet. hehe,” ucapnya.
Ia meneluarkan lotion pemutuh kulit itu, lalu mengoleskannya di batang penisku. Lalu ia mulai mengocoknya lagi, perlahan, namun semakin cepat. Ohh, sekarang rasanya lebih lancar dan lebih nikmat.
“Awhhh…” aku tak kuasa menahan nafas yang semakin memburu.
“Enak ya, Di?” tanya Tania sambil menatap ekspresi wajahku.
“Enak,” jawabku.
“Enak banget?” tanyanya lagi.
“Iya, enak banget.”
“Enak sih enak, tapi tangan lo jangan diem aja dong…” ia protes.
“Oh iya, hehe, sori.”
Aku langsung menggunakan kedua tanganku untuk meremas-remas buah dadanya dari luar kaos. Remasanku kini lebih liar karena aku terasa semakin menikmati kegiatan ini. Lalu kami berciuman, ciuman yang penuh nafsu antar dua orang sahabat. Lidah kami bertautan dan saling jilat. Samar-samar terdengar suara gesekan tangan Tania dengan penisku yang sudah diolesi lotion.
Tanpa meminta izin, tanganku menyusup ke balik kaosnya. Dia kan cuma bilang tidak boleh buka baju, kalau menyelipkan tangan kan dia tidak melarang. Langsung saja kuremas buah dada kanannya. Uhh, sensasinya berbeda. Sekarang kulit tanganku bergesekan langsung dengan kulit payudaranya, rasa kenyal dan lembutnya benar-benar terasa.
“Mmmmhh… ahh.. nakal ya…” gumam Tania. Tapi ia tidak membuat perlawanan.
Tanganku sekarang memilin-milin puting susunya, membuat puting yang sudah keras itu menjadi semakin keras. Sesekali kupencet lembut, dan itu membuat Tania menarik nafas dalam.
“Di… mmmhhh…. terus Di, enak,” merasakan kenikmatan yang lebih, Tania semakin mempercepat kocokannya. Aku jadi semakin ingin ejakulasi, tapi kutahan dulu.
Leher Tania yang jenjang dan mulus itu kucium dan kujilat-jilat. Wangi badan dan rambutnya membuatku merasa semakin nyaman. Selain itu lehernya benar-benar bersih, tak ada cacat sedikitpun.
“Adi… mmmhh… ini cuma sekali ini aja ya. Kita akan tetep jadi temen dan sahabat. Mmmhh… jangan sampe ada yang tau, ya?” ucap Tania di sela-sela desahannya.
Aku tidak menjawab, dan malah menggigit pelan leher Tania. Lalu aku menarik ke atas kaos yang dikenakan Tania. Aku tarik terus hingga ke dekat leher, sekarang kedua payudaranya terlihat jelas di hadapanku. Bentuknya sungguh indah, bulat dan putih bersih, putingnya berwarna coklat agak pink.
“Gue jadi malu…” ucap Tania sambil tersipu.
“Toket lo bikin gemes,” ucapku.
Perlahan-lahan kujilat ujung puting Tania, kubelai-belai dengan lidahku.
“Aaaahhh! Geli!” Tania berteriak.
Setelah itu kubuka mulutku dan kulahap buah dada itu. Aku hisap, buah dada yang sebelah kanan, bergantian dengan yang sebelah kiri. Sesekali kujilat permukaan gunungnya.
“Oooh… terus, Di. Kenyot terus, sedot Di… Mmmmhhh…”
Benar-benar luar biasa. Kemarin malam aku merasa senang hanya dengan menyenggol benda ini, tapi sekarang, aku bisa menjilat dan menghisap-hisapnya.
“Putingya, Di… Akhhh… iyah, kaya gitu… ahhh…”
Setelah menjilat dan menghisap kedua bukit kembar itu terus menerus, aku berinisiatif untuk menggigit putingnya, pelan-pelan.
“Aw!” jerit Tania.
Kocokan Tania di penisku semakin cepat dan rapat. Mendengar suara desahannya yang seksi serta merasakan payudaranya yang kenyal membuat aku benar-benar tidak tahan lagi sekarang. Aku ingin lebih. Aku ingin percumbuan ini berlangsung hingga klimaks. Aku ingin…
Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar Tania dari luar. Lalu sebuah suara terdengar.
“Tan… Tania…” itu suara Santi!
Kami terhenyak. Rupanya karena keasyikan, kami sampai lupa batas waktu lima belas menit tadi. Bagaimana ini? Tania tampak kaget dan wajahnya pucat. Kalau sampai skandal ini ketahuan, habislah riwayat kami. Bisa-bisa persahabatan geng Power Rangers bisa berantakan.
Mungkin karena panik atau bingung, Tania bukannya buru-buru mengakhiri permainan ini, ia malah terus mengocok penisku. Aku sudah tak sanggup mengendalikan diri lagi.
“Tan, gue… mau ke… keluar….”
“Hah?!” Tania kaget, mulutnya menganga.
Seketika itu juga penisku berdenyut-denyut dan muncratlah cairan sperma berkali-kali. Tania secara refleks menjauhkan penisku dari tubuhnya, dan itu malah membuat spermaku muncrat kemana-mana. Sebagian ada yang tumpah di kaos Tania, di tangannya, dan sebagian lagi ada yang muncrat ke lantai dan dinding. Gila, rasanya sungguh nikmat.
“Tania… ini gue Santi. Lagi ngapain sih lo? Tidur ya?” suara Santi terdengar menggumam dari balik pintu.
“Aduh, gimana ini?” Tania berbisik sambil memperhatikan tangan kirinya yang belepotan spermaku.
“Bersihin dulu!” bisikku padanya.
“Iya, sebentar, San! Gue lagi ganti baju nih, abis mandi!” ucap Tania, setengah berteriak.
Dengan gerakan cepat, Tania mengambil tissue dan mengelap spermaku yang menempel di tangan dan kaosnya. Lalu ia mengambil kain lap dan membersihkan spermaku yang menempel di lantai dan dinding.
“Cepetan dong, Tan… Ganti baju aja lama banget sih lo?” ucap Santi dengan tidak sabar.
Tania mengambil air minum dari galon, lalu membasahi rambutnya sendiri. Mungkin agar terlihat seperti habis mandi.
Lalu ia melotot padaku dan berbisik, “Di, ngumpet di kolong tempat tidur! Cepet!”
Aku terkejut. Tampaknya tak ada tempat bersembunyi lain, jadi aku langsung menuruti perintahnya.
Kira-kira tiga menit kemudian, persiapan sudah selesai. Aku sudah bersembunyi di kolong tempat tidur dan hanya bisa mendenga suara mereka. Untunglah seprei tempat tidur ini panjang sampai ke lantai, jadi sepertinya Santi tidak menyadari keberadaanku.
“Duh, lama amat sih lo, baru dibukai sekarang,” terdengar suara Santi.
“Sori, sori, tadi gue lagi pake handuk,” jawab Tania.
Setelah itu aku dengar mereka mengobrol dengan suara yang kurang jelas. Mungkin Santi sedang menggumam. Lalu tak lama kemudian, aku merasakan ada yang duduk di atas tempat tidur.
“Ihh… ini apaan, Tan ?” suara Santi terdengar dari atasku.
“Hah? Apaan?” suara Tania.
“Ini, gue kan meluk boneka kucing lo, tapi kok ada lendir lengket gini ya? Idiih… apaan nih…?” ujar Santi.
DEG! Jantungku serasa berhenti berdetak. Gawat. Sepertinya ada yang kelewatan waktu proses bersih-bersih tadi!
Selama beberapa detik, suasana menjadi hening. Entah apa yang terjadi di luar sana.
Namun tiba-tiba Tania bersin, “hachiiii!!!”
“Woooaaahh…! Hiiiiiiiyyyy! Jadi ini ingus lu? Jorok banget sih lu, cewek macem apa sih lu, ga nyangka gue punya temen jorok kaya lo. Idiiih,” ucap Santi beruntun.
“Ya… abisnya… gue lagi pilek banget nih, sori…” ucap Tania dengan suara yang dibuat lesu.
“Pilek sih pilek, tapi ingusnya jangan dilap ke boneka dong,” ucap Santi menggerutu.
Perasaanku menjadi lega. Untunglah, sepertinya Santi percaya. Selama setengah jam kemudian, mereka berdua mengobrol panjang lebar, khas anak cewek. Dan setelah itu, aku dengar bahwa Santi tidak bisa berlama-lama, karena ia ada urusan lain dan juga agar Tania yang sedang ’pilek’ bisa beristirahat.
“Ya udah, Tan. Lo istirahat dulu ya. Besok pagi gue mampir ke sini lagi deh. Cepet sembuh ya!” ucap Santi.
“Iya, thanks ya.”
Suara pintu ditutup. Sepertinya Santi sudah keluar. Tak lama kemudian, seprei kasur disibak oleh seseorang, dan Tania melongok ke kolong kasur, ke arahku yang sedang merayap seperti cicak.
“Huff… Hampir aja kita mampus….” ujar Tania.
Aku membuang nafas lega. Untungnya aku membuat skandal dengan perempuan yang kreatif.
Setelah Santi pergi, sebenarnya aku sempat berharap agar permainan kami dilanjutkan. Tapi Tania ternyata menolak, mungkin peristiwa menegangkan tadi sudah membuat mood-nya turun, atau malah membuat dia kapok. Aku tidak bisa memaksa, sebab semua ini memang dia yang memulai. Tapi aku tidak terlalu kecewa,setidaknya aku sempat mengalami ejakulasi tadi, jadi nafsuku lumayan bisa dikendalikan.
“Di, lo inget ya… besok kita ketemu di kampus, lo anggep semua ini nggak pernah terjadi,” ucap Tania saat aku pamit. Aku mengangguk saja sambil tersenyum, padahal mana mungkin aku bisa melupakan kejadian tadi. Mustahil.
Esok paginya, aku pergi ke kampus seperti biasa, kebetulan pagi ini mata kuliahku tidak ada yang satu kelas dengan geng Power Rangers, jadi aku tak terlalu khawatir. Dosen memberikan materi panjang lebar hingga membuatku mengantuk, untungnya bel segera berbunyi.
Saat keluar beberapa langkah dari ruangan kelas, tak sengaja aku menabrak seseorang. Ia tidak terjatuh, tapi sebuah majalah yang ada di tangannya yang jatuh. Aku memperhatikan orang yang kutabrak itu. Seorang mahasiswi, lebih tepatnya adik kelas. Aku tidak kenal dekat dengannya, tapi kami saling tahu nama. Namanya adalah Ghea, satu tingkat di bawahku. Ia cukup populer di kampus karena wajahnya yang cantik dan pandai bergaul. Tubuhnya lebih mungil dan lebih kecil dari Tania, tapi wajahnya tak kalah manis, aku menebak dia ada keturunan cina karena kulitnya putih mulus dan matanya agak sipit. Ia memakai kemeja kotak-kotak yang tampak kebesaran dan mengenakan kacamata berframe warna maroon, namun sama sekali tidak membuat dia terlihat kutu buku. Terlebih lagi, ia adalah seorang vokalis band yang cukup sering manggung di acara-acara kampus.
“Eh sori, nggak sengaja,” ucapku.
“Nggak pa-pa Kak, saya yang nggak liat,” jawabnya sambil memungut majalah yang jatuh.
Selama beberapa detik kami bertatapan. Aku merasa ada yang aneh dengan tatapannya, hingga kemudian aku sadar kalau geng Power Rangers sudah menungguku di seberang sana. Ada Tania juga yang sedang menatapku. Apa ya yang dia pikirkan?
“Woy, sini!” ucap Rian sambil melambaikan tangan.
Sambil mengangguk pelan aku meninggalkan Ghea dan bergegas ke tempat mereka. Semua anggota geng berkumpul, kecuali Galih. Santi sedang asik mengunyah biskuit dan Tania tampak serius mengetik di handphonenya. Aku melirik sekilas, dan Tania ikut menoleh, tapi ia cepat-cepat kembali menatap layar handphonenya. Jantungku berdetak kencang, dan bersamaan dengan itu penisku mengeras sedikit. Tapi kenapa dia tidak tersenyum? Apakah dia juga sama canggungnya denganku?
“Gimana, sore ini ada acara nggak?” Rian bertanya sambil menepuk pundakku.
“Ada apa, Yan?”
“Kok ada apa? Kan tiga hari lagi UAS, kita belajar bareng dong. Kan mata kuliah kita banyak yang sama. Gimana?” jawab Rian.
“Kok tumben?” balasku.
“Tau nih, anak ini tiba-tiba sok rajin gitu. Paling-paling dia ga punya catetan dan males baca buku,” ujar Santi.
“Ayolah… Si Galih udah setuju, dia nyediain tempat dan konsumsi gratis. Oke kan?” ucap Rian. Aku dan Santi mengangguk setelah mendengar kata konsumsi gratis.
“Lo gimana Tan, bisa?” tanya Santi.
Tania agak terkejut dan menoleh dengan tiba-tiba, “Oh bisa kok bisa, ngga masalah.”
Singkat cerita, setengah jam kemudian kami pun berangkat ke rumah Galih menggunakan mobilnya. Rian duduk di depan bersama Galih, sementara aku, Tania, dan Santi duduk di belakang. Santi di kiri, Tania di tengah, dan aku di kanan. Berada dalam jarak dekat dengan Tania membuatku sangat canggung, apalagi kalau mengingat kejadian kemarin. Mungkin karena merasa tidak enak, Tania akhirnya membuka pembicaraan.
“Eh lo udah ngerjain tugasnya Pak Johan belum?” ucap Tania menyebutkan nama seorang dosen.
“Oh, belum tuh,” jawabku.
“Yah, tadinya gue mau nyontek. haha,” ia tertawa.
“Huh, kenapa sih hari ini orang-orang pada seneng ngomongin pelajaran? Mendadak rajin ya?” gerutu Santi, dibalas cubitan dari Tania, lalu mereka bercanda seperti biasa. Perasaanku sedikit lega.
Tak sampai setengah jam, kami pun tiba di rumah Galih. Rumahnya besar dan mewah, di garasi berderet dua buah mobil milik orangtuanya.Saat kami masuk ke ruang tamu, Sherly, adiknya Galih sedang duduk di sofa sambil membaca majalah. Sherly masih duduk di bangku SMA, rambutnya bergelombang, dan wajahnya imut. Ia duduk menyamping dan memperlihatkan pahanya yang putih mulus karena memakai hotpants.
“Baca majalah jangan di ruang tamu,” ucap Galih ketus.
“Emang kenapa? Suka-suka gue dong!” balas Sherly.
“Nanti nggak ada orang yang mau bertamu ke rumah kita!”
Plak! Majalah itu melayang dan menghantam wajah Galih. Kakak-adik ini memang senang bertengkar sejak dulu, tapi kami tahu mereka sebenarnya akur. Tanpa memperpanjang pertengkaran itu, kami beranjak ke kamar Galih. Kamar yang nyaman, sejuk karena ber-AC, dan untuk ukuran kamar cowok lumayan rapi. Kami pun memulai acara belajar kelompok.
Ketika kami sedang membolak-balik buku pelajaran dan bertukar catatan, tiba-tiba saja Rian berteriak.
“Apaan tuh!” teriak Rian sambil menunjuk-nunjuk.
“Kenapa sih lo, kaya Jaja Miharja aja,” umpat Santi.
Rian segera merangkak ke kolong tempat tidur Galih dan mengambil sesuatu dari dalam sana.
“Bokep coy!” ucap Rian sambil memperlihatkan sebuah kotak DVD bergambar perempuan Jepang tanpa busana. Kami semua tertawa terbahak-bahak.
“Kaya anak SMP aja lo, masih ngumpetin kaya gituan,” Tania tertawa.
“Masih jaman ya, nonton bokep pake DVD?” aku ikut menimpali.
“Itu DVD original import dari Jepang langsung. Ngiri ya lo semua? Bisanya cuma download bajakan kan?” ucap Galih sambil berusaha merebut DVD itu.
“Ah bokep ya bokep, apa bedanya bajakan atau original? Coba nyalain,” balas Rian.
Rian segera memasukkan DVD itu ke dalam laptopnya yang kebetulan sudah dinyalakan. Hanya dalam beberapa detik, terpampanglah adegan wanita Jepang yang cantik sedang berciuman dengan seorang lelaki. Payudara wanita itu berukuran besar, diremas-remas dan dihisap-hisap oleh aktor lelaki. Kami semua fokus menonton adegan itu.
“Buset, gede ya toketnya. Kayanya enak tuh,” ucap Rian agak berbisik.
“Iya, nggak kaya cewe-cewe di kelompok kita, rata semua kaya triplek!” ujar Galih. Kami melirik pada Tania dan Santi.
“Sialan lo!” ucap Tania sambil memukul pundak Galih menggunakan kertas.
“Tapi punya gue masih lebih gede daripada punya Tania, tau…” ucap Santi pelan.
Galih dan Rian tertawa terbahak-bahak, sementara Tania melotot dan mulai mencubiti Santi.
Aku refleks bergumam, “Hehehe, tapi yg kecil-kecil tu bikin gemes.”
Tania melirik ke arahku dan menjulurkan lidah, sementara anak-anak yang lain sepertinya tidak mendengar gumamanku.
Acara ‘belajar kelompok’ masih terus dilanjutkan. Adegan-adegan di monitor semakin hot, dan harus kuakui kalau penisku sudah menegang di balik celana. Tania kebetulan duduk di sebelahku, ia merapatkan posisi duduknya agar bisa melihat laptop dengan jelas. Saat ia merapat, dadanya berada di belakang siku tanganku, dan entah disengaja atau tidak, ia mulai menggesek-gesekkannya. Penisku semakin keras.
Pelan-pelan aku ikut menggerakkan siku tanganku, misalnya dengan pura-pura menggaruk leher. Kenyalnya payudara Tania bisa kurasakan samar-samar, sementara itu hembusan nafasnya menjalar di leherku. Untung anak-anak yang lain tidak ada yang sadar.
Saat suasana semakin hot, tiba-tiba pintu kamar diketuk, Rian yang kaget segera menutup laptopnya. Ternyata pembantu Galih membawakan minuman. Aku menghela nafas, Tania juga menggeser duduknya lebih menjauh. Aku dapat melihat wajahnya yang merona merah.
Setelah itu, acara belajar kelompok dilanjutkan secara normal. Kira-kira satu jam kemudian, kami pun memutuskan untuk pulang. Sayangnya, mobil Galih sedang dipakai, jadi kami harus pulang menggunakan kendaraan umum. Hampir lima belas menit di dalam bus, Rian dan Santi turun lebih dulu, sebab rumah mereka memang lebih dekat. Tinggal aku dan Tania yang tersisa di bus, aku pindah duduk ke sebelahnya. Bus yang kami naiki kebetulan sedang sepi, mungkin karena sekarang sudah lewat jam pulang kantor. Duduk bersebelahan dengan Tania tanpa ada orang lain di sekitar, membuatku merasa agak aneh.
“Kenapa Di, diem aja?” ucap Tania. Ia duduk di samping jendela, tirainya ditutup karena silau.
“Ngga kok, ngerasa aneh aja,” aku tertawa.
“Biasa aja lagi.”
Selama beberapa menit, kami terdiam. Mungkin Tania juga merasa tidak enak karena aku tidak menimpali obrolannya. Tapi jantungku berdebar kencang ketika membayangkan kejadian kemarin. Rasanya ada yang masih mengganjal. Pelan-pelan aku menggerakkan tanganku ke pundak Tania, aku ingin merangkulnya, aku ingin memeluknya, ingin merasakan kehangatan tubuhnya lagi. Tania hanya diam, ia menatap ke jendela meskipun tidak terlihat apa-apa. Jantungku berdetak semakin kencang. Entah karena gugup atau merasa tertantang karena kami sedang berada di dalam bus. Perlahan-lahan tanganku turun ke pinggangnya. Aku dapat merasakan pinggangnya yang ramping dibalik balutan kaosnya yang sempit. Setelah memastikan tak ada orang yang melihat, kudekatkan wajahku ke pipinya.
Plak!
Ia menamparku. Keras sekali, bahkan bunyinya terdengar jelas. Aku kaget bukan main, segera kutarik tanganku menjauh darinya.
Sambil menatapku, Tania berbisik kesal, “Kan gue udah bilang kemarin, cuma sekali itu aja! Kalo kita ketemu lagi, gue minta lo anggap yg kemarin itu ga pernah terjadi, ngerti kan?”
Nyaliku langsut ciut diomeli seperti itu. Perasaan kecewa dan malu bercampur aduk di dalam kepala, betapa bodohnya aku. Kalau memang aku mencintainya, seharusnya aku bisa memahami perasaannya. Aku kecewa pada diriku sendiri, jangan-jangan perasaan ini sudah berubah menjadi nafsu mesum semata. Sepanjang perjalanan hingga Tania turun terlebih dulu, aku hanya menundukkan kepala. Kami tidak berbicara sepatah kata pun.
Aku tiba di kostan dengan perasaan sedih. Aku tidur-tiduran di atas kasur sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah persahabatanku dengan Tania akan berakhir karena masalah ini? Tidak mungkin. Aku mengambil HP dan mengirim SMS ke Tania.
‘Tan, maaf ya, tadi gw khilaf.’
Aku diam menunggu balasan, tapi tak juga ada SMS yang masuk. Selama beberapa menit perasaanku terus gelisah hingga tiba-tiba saja handphoneku berbunyi, aku melonjak kaget. Telepon, dari Tania.
“Di, lo lagi di kostan?” tanya Tania.
“Iya.” jawabku.
“Gue ke sana ya sekarang!”
“Eh, tapi, tapi…”
Tania menutup teleponnya. Sebenarnya aku ingin bilang kalau aku ingin meminta maaf soal kejadian tadi, tapi ia tampak terburu-buru. Untuk apa ia datang ke sini? Aku menunggu dengan jantung berdebar.
Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku tahu siapa dia. Aku bergegas berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di balik pintu ada Tania yang berdiri sambil tersenyum. Ia mengenakan kaos biru bergaris dan celana jeans. Aku sadar, senyumnya padaku menandakan bahwa ia sudah tidak marah lagi. Aku langsung mempersilahkannya masuk ke dalam kamar.
“Di, sori ya soal yang tadi. Gue sebenernya gugup, jadi kebawa emosi. Gue ngeri soalnya kita lagi di bus. Suer, ngga ada maksud kasar kok,” ujar Tania sambil duduk di atas tempat tidurku.
“Ngga, Tan, harusnya gue yang minta maaf. Gue yang salah, ngga inget janji gue sendiri.” ucapku.
“Sebenernya gue juga melanggar janji kok waktu di rumah Galih tadi.” Tania tersenyum.
“Waktu nonton bokep tadi ya? Itu emang sengaja ngegesek-gesekin?” tanyaku. Tania mengangguk, lalu kami berdua tertawa.
“Liat sini deh,” ucapnya tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah Tania dan menatap matanya. Matanya yang indah membuatku terhipnotis. Pelan-pelan ia menyentuh pipiku dan mengelus-elusnya.
“Masih sakit bekas tamparan gue tadi?”
“Masih. Tenaga lo kaya babon sih.”
“Sialan lo! Mau gue tabok lagi?” ujar Tania sambil tertawa.
Dengan gerakan cepat, ia mengecup pipiku. Aku menahan nafas karena kaget.
“Udah? Udah ngga sakit kan?”
Aku tersenyum, membalas senyumannya. Hatiku sekarang terasa tentram dan damai. Rasanya aku jatuh cinta kepadanya, aku benar-benar jatuh cinta. Lalu kami bertatapan tanpa bicara, diam dan hening. Lalu bibirnya bergerak mendekat dan mencium bibirku. Bibirnya lembut dan hangat. Aku tak bisa tinggal diam, aku membalasnya, mencium bibirnya dengan penuh nafsu.
“Mmmh… Di… Mmm..” desahan Tania terdengar di antara ciuman.
Sambil terus melumat bibirnya, aku mendorong dia ke tempat tidur. Ia jatuh terlentang. Aku cium lehernya pelan-pelan, lalu aku jilati lehernya hingga ke dagu. Ia mendesah agak keras.
“Geli…”
Setelah puas menyantap lehernya, aku kembali menatap wajahnya, dan kami tersenyum.
“Kemarin gue pikir, itu untuk yang pertama dan terakhir. Tapi ternyata… kemarin kan cuma lo aja yg dapet kenikmatan… lo masih utang satu sama gua, Di….” ucap Tania.
“Mau kaya kemarin lagi?” aku memijat-mijat payudaranya dari luar kaos dengan perlahan. Ternyata ia tidak memakai bra.
“Ahhh…. Buka aja kaos gue, ngga apa-apa lah,” ucap Tania.
Aku menarik kaosnya ke atas, dan ia juga membantu melepaskannya. Terlihatlah di hadapanku tubuhnya yang topless. Perutnya langsing dan rata, kulitnya mulus, dan dua buah payudara yang berukuran kecil namun bulat sempurna dan proporsional.
“Mmm.. toket gue ngga segede yang di film tadi ya?” ia memanyunkan wajahnya.
“Kan gue udah bilang, yg kecil tu bikin gemes.”
Tania tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Aku mencium keningnya.
“Terus, lo pengen diapain nih?” ucapku menggoda.
“Terserah lo mau ngapain aja sekarang, tapi kalo gue bilang stop, lo mesti berenti ya?” ucap Tania sambil mengusap rambutku.
“Tenang aja,” ucapku. Sepertinya Tania sudah tidak segugup kemarin. Mungkin karena ini sudah bukan yg pertama.
Aku mulai membelai payudaranya dengan kedua tangan. Dengan perlahan aku mengelus daerah seputar putingnya, lalu kujilat dengan ujung lidah. Ia mengerang. Lalu aku mulai menyedotnya, aku hisap puting kanannya yang sudah menegang.
“Gila.. nikmat banget… yang kiri juga, Di… isep juga…. Ahhh!”
“Sabar dong, gue ngga kaya lo, mulut gue cuma satu.”
“Sial, dasar,” ia tertawa.
Aku meremas-remas payudara kanannya, lalu yang sebelah kiri kujilat-jilat dan kuhisap. Ia kembali mendesah. Aku gigit pelan putingnya, ia menjerit kecil. Lalu kujilati lagi sampai basah.
“Uhh… untung sekarang di tempat lo, jadi ngga akan digangguin Santi lagi,” ucapnya sambil mendesah, “handphone juga gue matiin.”
“Bener juga ya, untung kamar sebelah lagi pada pulang kampung,” aku memijat-mijat kedua payudaranya.
Ciumanku turun ke perutnya. Perut yang rata dan halus, wangi parfum perempuan yang manis. Aku memainkan lidahku di daerah pusarnya, ia menggelinjang.
Tanpa minta izin, aku membuka kancing celana jeansnya dan menariknya ke bawah. Tania tidak menolak, ia malah membantu mengangkat pinggulnya. Setelah celana itu berhasil dilepas, aku dapat melihat celana dalam warna hijau muda yang ia kenakan yang tampak agak basah. Pahanya sangat mulus, membuatku langsung mengelus dan menciuminya.
“Hahhh… Di… Mmhh,”
“Kenapa?”
“Memek gue blum pernah disentuh cowo…”
“Gue juga blum pernah nyentuh punya cewe… Mau stop aja?”
“Mmmh… Dikit aja deh..” ucapnya dengan wajah yang sayu.
Dengan gerakan yang lembut, aku menggesek-gesek ujung jariku ke celana dalamnya, tepat di bagian vagina.
“Gimana rasanya?” tanyaku.
“Aaahh.. enakk… terus Di,”
Aku menjilati pahanya yang mulus, dan kemudian naik ke arah selangkangannya. Dapat kurasakan kakinya menegang karena keenakan, lalu tanpa memberitahunya terlebih dahulu aku melepaskan celanaku.
“Ngapain lo buka celana?” ia memperhatikan penisku yang sudah berdiri tegak dihadapannya.
“Ngga ngapa-ngapain, soalnya sesak udah tegang banget.”
“Sabar, ntar gue kocokin lagi kaya kemarin. Tapi lo bantuin gue dulu ya…” pintanya.
Dalam hati, sebenarnya aku sangat ingin memuaskan hasrat Tania. Aku ingin melihat ia tersenyum lega, aku ingin ia mendapat kepuasan dariku. Mungkin hanya dengan itu, suatu saat ia akan menyadari perasaanku yang sebenarnya.
Aku menarik celana dalamnya sampai ke lutut, ia tampak terkejut. Tapi tanpa buang-buang waktu, aku segera menciumi kemaluannya. Aku jilati bibir vaginanya yang sudah lembab itu. Aku cium, aku hisap, aku jilat klitorisnya.
Tania menjerit.
“Adiii… ahhh gila lo… lo apain memek gue… aaaggghhh…”
Sambil mengelus-elus pahanya, aku terus menjilati bibir vaginanya sampai beberapa menit, dan dengan jilatan yang semakin cepat, tiba-tiba saja tubuhnya melengkung dan pahanya menegang, menjepit kepalaku hingga aku sulit bernafas.
“Aaaaahhhh! Gue sampeee… uuh…”
Beberapa detik kemudian ia telentang lemas dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia tersenyum padaku, dadaku terasa hangat. Bersamaan dengan itu nafsuku semakin meledak-ledak.
Kudekatkan penisku ke vaginanya, lalu kugesek-gesek pelan. Ia kembali mendesah. Lalu kucium bibirnya sambil kuremas kedua payudaranya.
“Tan… gue pengen coba masukin… boleh ya?” ucapku dengan nafas memburu.
“Jangan Di, gue masih virgin, gue ngga mau.”
“Pliis.. Tan, gue ngga tahan…” aku masih menggesek-gesekkan penisku di bibir vaginanya.
“Jangan Di, jangan. Lo sahabat gue, makanya gue percaya sama lo, lo kan udah janji. Stop ya, plis…”
Aku menatap matanya dengan wajah memelas, “Tan… sebenarnya gue….”
“Gini aja, lo boleh minta apa aja sama gue. Tapi jangan yang satu itu ya? Itu mau gue jaga untuk seseorang yang spesial buat gue, buat cowo yg benar-benar gue sayang. Maaf banget, lo ngerti kan?”
Deg! Ada sesuatu yang menyesak di dadaku. Apa maksudnya dengan perkataan tadi? Apa baginya aku bukan orang yang spesial? Bukan orang yang dia sayangi? Apakah ada lelaki lain yang ia sukai? Bodoh, apa yang aku pikirkan? Sejak awal ia memang tidak punya perasaan apa-apa padaku, dan aku belum pernah mengungkapkan apa-apa.
Tiba-tiba saja aku patah hati. Apakah perasaanku bertepuk sebelah tangan? Tapi aku tetap menghargainya, aku tak ingin menyakitinya.
“Kalo… kalo pake mulut mau ngga Tan?” ucapku.
Ia terdiam sejenak, namun dengan sedikit ragu-ragu ia mengangguk.
“Iya… tapi keluarin di luar ya…”
Aku mengangguk.
Tania bangkit dari posisi tidurnya, lalu ia meraih penisku yang masih tegang. Tangannya yang halus dan jari-jarinya yang lentik mulai mengocok batang kemaluanku. Aku mendesah pelan.
“Gue coba praktekin yang di film tadi ya, hehe,” iya tersenyum.
Pelan-pelan bibirnya mendekat ke ujung penisku, lalu ia mengecupnya pelan. Lidahnya ia gunakan utuk menjilat bijik kemaluanku. Lalu dengan agak canggung ia mulai memasukkan penisku ke mulutnya. Ia menyedot pelan, bibirnya terlihat monyong.
“Mmmm.. Slrppp… Sruupp”
Tubuhku gemetar merasakan nikmat, sekarang gadis yang kusukai ini sedang duduk di hadapanku dan menghisap penisku dengan mulutnya.
Tapi perasaan getir karena patah hati itu juga menodai pikiranku.
Dengan nafsu dan kekecewaan yang membara, aku memegang kepala Tania, kutahan agar kepalanya tak bergerak. Lalu aku memompa pinggulku hingga penisku keluar masuk di mulutnya. Ah, maafkan aku Tania, tapi aku benar-benar tidak tahan.
“Mmmm.. Mmppppp!!!” Tania berusaha berontak dan mendorong pinggangku. tapi tenagaku lebih kuat.
Kupercepat genjotanku, untungnya penisku tak terlalu panjang, jadi mudah-mudahan tidak membuat ia terlalu mual.
Dari bawah, tania mendongak dan menatapku tajam. Sepertinya ia kesal. Tapi aku tak bisa menghentikan ini, terus saja kugenjot mulutnya. Rasa nikmat menjalar dari penisku sampai ke tulang belakang, dan pada satu titik aku merasa akan meledak.
Kutekan kepalanya ke arah penisku, dan saat itu juga aku mengalami ejakulasi.
“Aaaaah….!” Crot! Crot! Crot! Spermaku muncrat ke dalam mulut dan tenggorokan Tania.
Aku terduduk lemas di atas tempat tidur. Kusaksikan Tania yang sedang terbatuk-batuk, mulutnya penuh dengan spermaku.
“Sori.. sori banget Tan. Gue ngga tahan,” ucapku.
“Sialan! Masih untung ngga gue gigit kont0l lo itu, kalo gue gigit sampe putus baru tau rasa lo…” ujar Tania, sambil mencoba mengeluarkan sisa sperma dari mulutnya.
Aku mengambil tisu di samping tempat tidur dan membantu mengelap sperma di mulut Tania. Aku berusaha tersenyum untuk meredakan amarahnya.
“Gue kelepasan tadi…”
“Kan udah gue bilang, keluarinnya di luar…” ia mencubit perutku, “…tapi rasanya aneh banget ya? Lengket lagi…”
“Mana gue tau,” aku tertawa.
Tubuh kami terasa lemas. Setelah emosinya reda, kami kembali dapat bercanda dengan normal. Malam itu ia tidur di kamarku, tanpa busana, hingga pagi menjelang. Aku mulai mempertimbangkan perasaanku sendiri.
Besok paginya, ia terbangun lebih dulu dan membangunkanku dengan sebuah pertanyaan.
“Adi, kita masih temenan kan?”
Aku mengangguk. Aku tak tahu harus menjawab apa.
“TTM,” ucapku singkat.
“Teman Tapi Mesum?” balasnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa.
***
Aku dan Tania akhirnya resmi menjadi TTM (Teman Tapi Mesum). Di kampus dan di depan teman-teman yang lain, kami bersikap normal seperti biasa. Ia masih akrab dengan Santi, meskipun kadang Santi suka menjadikan ‘ingus’ di boneka Tania sebagai lelucon di waktu bercanda. Sejak saat itu ia jadi sering meledek Tania sebagai ’anak ingusan’ atau ’cewek ingusan. Untungnya ia tidak sadar bahwa lendir yang ia sentuh tanpa sengaja saat itu bukanlah ingus Tania, melainkan spermaku yang tidak sempat Tania bersihkan.
Namun ketika kami mendapatkan waktu untuk berduaan, hal-hal di luar aktivitas pertemanan sering terjadi. Ketika Tania sedang ‘pingin’, ia sering menelpon atau mengirim SMS dan mengajakku ketemuan, kadang di tempat kostnya, namun lebih sering di tempat kostku. Lalu kami akan bercumbu untuk memuaskan hasrat masing-masing, walaupun hingga saat ini Tania masih menolak untuk melepaskan virginitasnya. Tapi di sisi lain, sewaktu aku yang sedang horni, kadang aku masih agak gengsi untuk meminta duluan. Untungnya Tania memahami hal itu.
“Di, kalau misalnya lo lagi horni, lagi pengen banget and ga bisa ditahan, lo call gue aja ya. Kalau lagi ga sibuk pasti gue bantuin kok. Oke? Jangan malu-malu,” ucapnya, tiap kali aku selesai membuat dia orgasme dengan jilatan di daerah vagina.
Dengan dukungan seperti itu, aku pun memberanikan diri untuk meminta duluan. Pernah saat aku sedang di sela-sela kuliah, tiba-tiba saja penisku terasa tegang dan nafsuku jadi menggebu-gebu. Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena saat itu sedang hujan gerimis dan udara lumayan dingin. Aku jadi ingat pada Tania, lalu aku menelponnya, tapi tidak diangkat. Aku jadi heran, lalu aku kirimi dia SMS.
‘Tan,lo lg dmn?’
Aku sengaja mengonfirmasi dulu, tidak langsung to the point, sebab kalau hapenya sedang dipegang orang lain dan hubungan rahasia kami terbongkar, bisa berabe nanti.
Beberapa detik kemudian, Tania membalas: ‘Gw lg ada kuliah. Tunggu sbntar ya.’
Aku baru ingat kalau semester ini jadwal kuliah kami banyak yang tidak sama. Tania lebih pintar dariku, ia sudah mengambil mata kuliah untuk semester depan, sementara aku masih harus mengulang beberapa kuliah semester lalu.
Lima belas menit lamanya aku menunggu, akhirnya Tania balas menelponku.
“Halo, Di. Gue baru keluar kelas nih. Ada apa?” tanyanya santai.
“Nggg… itu, Tan…. habis ini lo ada jadwal lagi nggak? Gue…”
“Nggak ada kok, udah selesai semua. Lo lagi dimana? Ada apa sih?”
Seandainya saja saat itu aku dapat mengatakan bahwa aku mencintainya lebih dari sekedar teman mesum, bahwa aku memikirkannya lebih dari sekedar nafsu seks. Tapi aku tak bisa mengatakan itu. Aku sadar hubungan di antara kami ada di posisi apa. “Friend with benefit”, begitu kata film-film Hollywood.
“Gue lagi di teras gedung E. Gue… g-gue butuh bantuan lo nih sekarang…” ucapku pelan.
Di luar dugaan, Tania malah tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha… ngomong lo kaya yang mau nembak gue aja….! Pake gagap segala.”
Teggorokanku terasa mampat seketika. Lalu Tania melanjutkan ucapannya. “Ngerti, ngerti, gue ngerti kok. Tenang, gue lagi luang sekarang. Gue samperin ke sana ya?”
“Oke….”
Aku menunggu di sebuah kursi panjang yang kebetulan sedang kosong. Mahasiswa yang lain mungkin sudah pulang atau ada di dalam kelas. Geng Power Rangers selain kami berdua juga kalau tidak salah sedang ada kesibukan sendiri-sendiri.
Tania muncul di seberang sana. Ia berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan tas, untuk menghindari gerimis. Saat ia akhirnya tiba di hadapanku, baju kemeja kotak-kotak yang ia kenakan tampak basah sedikit. Di sela-sela kerah kemeja yang tidak dikancingi itu, aku dapat melihat kaos putih yang ketat membungkus tubuhnya. Di bawahnya, ia mengenakan celana jeans ketat yang membuat kaki jenjangnya tercetak jelas.
“Sori, Tan, gue jadi ngerepotin,” ujarku melihat ia sedang membersihkan bekas air di pundaknya.
“Santai aja. Yuk.”
Pertamanya, kami tidak tahu harus melakukannya dimana. Pada jam segini biasanya para mahasiswa masih belum pulang semua, jadi agak sulit menemukan ruang kelas yang kosong. Setelah beberapa menit mengitari gedung E, akhirnya kami menemukan ruang kelas yang sepertinya bisa digunakan.
“Di sini aja nih, kayanya aman,” ujar Tania.
Aku melihat jadwal pemakaian kelas yang ditempel di kaca jendela, ternyata memang kelas ini tak akan dipakai lagi sore ini.
Kami pun masuk ke dalam ruang kelas itu, Tania segera menutup pintu dan mengunci selotnya, untuk jaga-jaga. Selama beberapa detik kami bertatapan, lalu aku memeluknya. Aku merapatkan tubuhku dengan tubuhnya, merasakan kehangatannya, merasakan buah dada yang menononjol kecil dari balik kaosnya. Lalu tanganku meraba bokongnya yang padat dan kencang, terbalut jeans ketat yang membuatnya semakin seksi.
“Gue seneng Di, lo minta duluan,” ucapnya di telingaku.
“Kenapa?”
“Jadinya gue nggak ngerasa manfaatin lo doang. Selama ini gue kok ngerasa jadi cewek mesum banget ya, selalu yang mulai duluan. hahaha.” ucapnya, lalu ia mencium leherku.
“Dasar lo Tan, lo kan emang mesum.”
Aku langsung menyerbu bibirnya, aku melumatnya dan menghisapnya, lalu kumasukkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Lidah kami bertautan, saling menjilat, saling menghisap.
“Mmmmmhhh….” desah Tania di sela ciuman kami.
Tanpa melepaskan mulutku dari mulutnya, aku mendorong tubuh Tania hingga ia tiduran di atas meja. Aku terus menghisap bibirnya, sementara tanganku menyelinap ke dalam kaosnya, lalu meremas-remas buah dadanya yang masih ditutupi bh.
Dengan lihai aku membuka kemejanya, lalu menarik kaosnya hingga ke atas dada. Aku dapat melihat tubuh Tania yang putih mulus, pinggangnya yang langsing, perutnya yang rata dan bersih, juga buah dadanya yang bulat mungil mengintip dari balik bh warna hitam. Jika kuibaratkan tubuhnya dengan makanan, maka ini adalah makanan sangat lezat yang siap kusantap.
“Nafsu banget lo, Di…” bisik Tania.
Aku langsung menciumi perutnya, mmm…. bau parfum yang ia kenakan semakin menambah gairahku. Lalu kujilati pusarnya hingga ia menggelinjang keenakan.
“Aaahh… Adi…. Geli….”
“Jangan keras-keras suaranya, nanti ada yang denger….”
Lalu aku menyingkap cup bh-nya, menampakkan buah dadanya yang sangat ranum dan bulat bagaikan apel, meskipun ukurannya tidak terlalu besar. Kedua putingnya tampak sudah menegang berkat rangsanganku barusan.
Aku langsung melahap buah dadanya itu. Yang sebelah kanan kujilati dan kuhisap menggunakan mulut, sementara yang kiri kupijat-pijat dan kupilin-pilin putungnya.
“Mmmm…. surrrrppp!”
“Ahhh…. Urghhh….” Tania tampak tak bisa mengendalikan desahannya.
Aku terus menikmati keindahan buah dadanya, sambil aku menggesek-gesekkan selangkanganku ke arah selangkangannya yang sama-sama masih ditutupi celana.
“Di… Adi…” ia memanggil.
“Kenapa, Tan?” tanyaku.
“Mmmmh… kok malah gue lagi gue lagi sih.. sekarang kan giliran lo, kan tadi lo yang minta,” ucapnya dengan mata sayu.
Tania kemudian bangkat berdiri dan mendorongku. Ia membetulkan posisi bh dan kaosnya, lalu menepuk pundakku. “Sekarang lo diem aja,” ia menggoda.
Lalu ia mulai menjilati leherku, kupingku, sampai ke perut yang ada di balik kaos yang kukenakan. Aku merinding merasakan lidahnya yang lembut dan hangat menjalar di sekitar pusarku. Lalu dengan perlahan-lahan ia menggunakan tangannya untuk mengelus-elus penisku.
“Kayanya lo kedinginan ya, sampe tegang begini?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
Dengan terampil ia membuka resleting celanaku, lalu merogoh ke dalam dan mengeluarkan penisku yang sudah keras dan tegang. Ia pun melanjutkan jilatannya. Batang penisku ia jilati dengan lembut dan penuh perasaan, hingga permukannya basah terkena air liur. Setelah basah, ia pun menggenggam penisku dan mengocoknya perlahan.
“Hmmmmh… enak, Tan….” gumamku.
Ia juga tak lupa menjilat dan menghisap biji zakarku. Aku mendesah keenakan, rasanya memang sulit menahan kenikmatan ini. Apalagi ketika ia membuka mulutnya dan mulai melahap penisku. Ia menghisapnya, menyedotnya seperti sedang menikmati permen.
“Wiii…wo aaiwa woi waa….” gumamnya tidak jelas. Ucapannya tidak jelas karena mulutnya sedang disesaki oleh penisku.
“Apa, Tan?”
“Wo wao… we waaaia… surrrp!” ia melepaskan penisku dari mulutnya, lalu menelan ludah, “Ahh. Sial ni mikrofon lu bukannya bikin suara jelas malah bikin ga kedengeran!”
“Hehehe… lo mau ngomong apa sih?”
“Gue mau bilang, kalo lo mau keluar, pliis jangan keluarin di mulut gue kaya waktu itu…. Rasanya bikin mual. Plis kasih tau ya kalo lo udah mau keluar…” ucapnya sambil mengocok penisku dengan tangannya.
“Iya deh, nanti gue kasih tau.”
“Janji ya?”
“Janji!” aku membentuk huruf V dengan jari tangan.
Tanpa ragu, Tania kembali melahap penisku, kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Ia memaju-mundurkan kepalanya, membuat penisku tertelan lebih dalam. Aku tak menyangka, dalam waktu singkat ia sudah jadi seahli ini. Sesekali aku seperti merasakan ujung penisku menyentuh tenggorokannya. Kehangatan yang luar biasa, sungguh nikmat.
“MMmmmhhh… gila, nikmat banget….” gumamku.
Sambil menikmati sedotannya, aku mengelus-elus rambutnya, merasakan rambutnya yang panjang dan sehat seperti di iklan-iklan shampoo. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah kenikmatan fisik ini sudah cukup bagiku? Apakah di dalam hati Tania tak ada sesuatu yang lebih? Semakin aku memikirkan itu, semakin bertambah hasratku, dan aku sudah tak bisa mengendalikannya lagi.
Beberapa menit kemudian, aku pun berbisik, “Tan… gue mau keluar…. mmmh!”
Mata Tania menatap ke arahku dari bawah sana, lalu ia buru-buru melepaskan penisku. Dengan suara ‘ah’ yang keluar dari mulutnya, ia berusaha mengambil nafas yang sejak tadi terhambat, dan itu membuat wajahnya semakin cantik. Aku memegangi kepalanya agar ia tak menghindar, lalu kukocok penisku sendiri, dan dalam waktu singkat spermaku keluar dengan kecepatan tinggi. Muncrat dan mengenai wajah Tania, sebagian ada yang di dekat hidung, di dekat mulut, dan ada juga yang mendarat di poni rambutnya. Ada perasaan puas dan nikmat ketika melihat sperma itu mengalir pelan ke dagu dan ke lehernya.
Tania masih terdiam, sepertinya ia agak kaget menerima ‘shower’ tadi. Lalu perlahan-lahan ia menyentuh spermaku di wajahnya menggunakan ujung jari. Sepertinya ia dapat merasakan sensasi lengket dan kehangatan di wajahnya.
“Gue bilang jangan keluarin di mulut, malah ngeluarin di muka. Kebanyakan nonton bokep lo ya?” ucap Tania menyindir.
“Sori, abisnya nggak keburu,” kilahku.
“Bisa tambah mulus nih muka gue, kalo maskeran kaya gini terus,” candanya, “Untung bawa tisu.” Tania mengambil tisu di dalam kantong celananya, lalu membersihkan spermaku di wajahnya. Harus kuakui, jumlahnya memang cukup banyak. Kalau tidak salah aku sampai menyemprotkannya enam kali tadi.
“Huff…” aku menghela nafas lega.
“Gimana? udah lega sekarang?” tanya Tania.
“Udah. Lega banget. Makasih ya, Tan.”
“Santai aja. Itulah gunanya temen, saling menolong di saat butuh. hehehe,” ucap Tania sambil mengenakan lagi kemejanya.
“Teman…” aku bergumam, lalu tertawa dalam hati.
Tiba-tiba ponsel Tania berbunyi. Ia segera mengambilnya dari dalam tas, lalu mengangkatnya. Sementara itu, aku membetulkan celanaku.
“Halo….” ucap Tania pada seseorang yang meneleponnya.
Aku berusaha menguping, tapi tak terdengar jelas. Tania tak banyak bicara, ia hanya senyum-senyum malu mendengarkan suara orang di telepon itu. Dan ketika kuperhatikan lagi, aku dapat melihat wajah Tania menjadi merah, seperti orang yang merasa malu.
Belakangan, aku semakin mengerti, wajahnya yang merona merah saat itu tak sekedar berarti malu, lebih dari itu, rona merah itu karena ia sedang jatuh cinta… pada lelaki yang meneleponnya itu.
***
Sejak rona merah di wajah Tania muncul saat itu, ia jadi berubah. Aku merasa kalau ia sedikit demi sedikit mulai menjaga jarak dariku. Tidak cuma aku, bahkan ia juga jarang berkumpul dengan geng Power Rangers. Santi yang biasanya paling dekat dengan Tania, ikut-ikutan mengeluh.
“Anak itu kemana aja sih? Kayanya tiap kali kita ajak ngumpul dia selalu ada halangan deh,” ucap Santi saat kami berempat sedang nongkrong di kafe.
“Mana gue tau. Kan biasanya elo yang paling deket sama dia?” ucap Rian sambil mengutak-atik hp-nya.
“Iya, San. Biasanya kalian selalu berdua kemana-mana, kok tumben pisah?” tanya Galih ikut bingung.
Aku hanya menyimak obrolan mereka sambil menyuap potongan kue. Dalam hati aku bisa menduga, mungkin ada hubungannya dengan orang yang menelepon Tania waktu itu….waktu ia habis memberiku oral seks.
“Gue curiga ada hubungannya sama cowok itu…” ucap Santi, membuat tenggorokanku tersedak dan nyaris batuk.
“Cowok?” tanya Galih, “Punya pacar dia?”
“Masa? Si kutilang darat punya pacar?” timpal Rian.
“Ga tau deh. Kayanya sih gitu. Gue pernah liat dia jalan sama cowok itu. Kalau ngga salah sih alumni kampus kita,” ucap Santi, “Gue nggak masalah kalo Si Tan mau pacaran atau mau kawin sekalian, tapi ngga perlu ditutup-tutupin kan?”
“Ah elo iri kali… Jomblo berapa taun lo?” ledek Rian.
“Haha. Gue sih syukur si Tantan punya cowok. Gue sempet ngira kalian berdua lesbi!” ucap Galih diikuti tawa Rian, aku juga ikut tertawa. Santi hanya mencibir.
Esoknya, aku kembali mencoba mengirim sms pada Tania. Bukan untuk minta ‘servis’ sih, cuma ingin tahu kabarnya saja, karena sudah beberapa hari dia tidak masuk kuliah. Tapi ternyata dia tidak membalas. Kekhawatiranku semakin memuncak sehingga akhirnya aku putuskan untuk menelponnya.
“Halo, Tan,” ucapku.
“Halo, Di. Sori… tadi gue ga liat ada SMS,” jawabnya.
Ada setetes kesejukan di dalam dadaku ketika mendengar suara Tania. Seperti air oase yang membasuh kerinduan.
“Kemana aja? Anak-anak pada nyariin tuh. Si Santi juga,” ucapku.
“Iya, aduh sori. Gue lagi ada proyekan yang mesti gue kerjain sekarang-sekarang ini. Tapi nanti kalau udah selesai, gue pasti——”
Ucapannya terputus. Ada sebuah suara yang menyelanya. Suara laki-laki. Aku tidak terlalu jelas mendengarnya, tapi aku yakin ada suara lelaki yang berusaha menggoda Tania. Lalu mereka tertawa, sementara aku masih mendengarkan telepon.
“Di, nanti gue telepon balik ya!”
Tut… tut…. telepon diputus.
Perasaanku sesak. Setetes kesegaran yang kurasakan tadi kini kembali gersang, lebih gersang dari biasanya.
Tapi untunglah tak lama kemudian Rian dan Galih meneleponku. Mereka mengajakku untuk datang ke festival kampus Z yang mengadakan bazaar dan penampilan band-band indie. Aku menerima tawaran mereka. Mungkin saja bisa sedikit mengobati perasaan ini.
Kami pergi menggunakan mobilnya Galih, seperti biasa. Tapi selain aku dan Rian, ada seorang penumpang lain. Ia adalah Saras, gebetan Galih yang sedang didekatinya. Orangnya ramah dan kulitnya hitam manis, dan aku ada kecurigaan jangan-jangan Galih sengaja mengajak kami karena ingin memamerkan gebetan barunya. Dasar anak orang kaya, sepertinya mudah sekali mendekati perempuan.
Tiba di Kampus Z, suasana sudah sangat ramai. Banyak stand makanan dan aksesoris yang dipadati pengunjung. Di tengah lapangan, sebuah panggung lumayan besar sedang menampilkan acara band.
“Gue sama Saras ke sana dulu ya!” ucap Galih sambil menunjuk sebuah stand ramalan kartu tarot.
Aku hanya mengangguk. Sudah jelas tujuan mereka ke sini karena ingin pacaran. Sementara aku? Kalau seandainya ada Tania… Mungkin aku bisa mengajaknya ke stand ramalan garis tangan… atau makan es krim… Rasanya belum pernah aku melakukan hal itu dengannya… Ah….
Aku berusaha menghilangkan pikiran tentang Tania saat perasaan sesak mulai kembali muncul di dada. Kenyataannya, yang ada di sampingku sekarang adalah… Rian.
“Lo ngerasa jadi maho nggak jalan berdua sama gue?” ujar Rian sambil terkekeh-kekeh.
“Sialan lo. Ah, liat band aja yok,” ucapku.
Kami berdua maju ke depan panggung agar dapat lebih jelas melihat penampilan band. Band yang saat itu sedang tampil tidak begitu menarik perhatianku, sebab suara vokalisnya terlalu cempreng. Namun ketika band selanjutnya naik panggung, aku mengerutkan kening.
Ada tiga orang yang naik ke panggung. Dua orang pria berambut gondrong, dan satu orang perempuan cantik. Aku tidak kenal kedua pria itu, tapi aku kenal si perempuan.
Perempuan berkacamata, mengenakan kemeja dan kaos hitam agak ketat, dan celana jeans sobek-sobek. Aku kenal dia, dia adalah Ghea, adik tingkatku yang sering berpapasan denganku di kampus. Kacamata berbingkai merah selalu menjadi ciri khasnya. Selain itu wajahnya sangat cantik, kulitnya putih mulus, postur tubuhnya bisa dibilang mungil, namun kalau boleh tebak, ukuran dadanya lebih besar dari Tania.
Band itu membawakan lagu ‘Lithium’ milik Nirvana dengan percaya diri. Suara Ghea yang agak serak terasa pas dan nyaring, bahkan memberikan nuansa tersendiri pada lagu itu. Entah kenapa aku selalu tertarik pada perempuan tomboy dan agresif. Tapi Ghea mungkin di atas levelku, dia adalah tipe cewek cerdas pemberontak yang jadi incaran banyak cowok.
Ketika sedang bernyanyi, sesekali ia melirik ke arahku lalu tersenyum. Aku tidak berani membalas. Soalnya aku tidak yakin, benarkah ia tersenyum padaku? Berkali-kali aku menoleh ke belakang, tak ada orang yang tampak membalas senyumnya. Sepertinya benar. Di kampus kami jarang mengobrol, tapi aku memang selalu merasakan tatapan berbeda dari dirinya setiap kali kami berpapasan.
“I’m so horny. But that’s ok. My will is good….” suara merdu Ghea terngiang di telingaku beserta lirik itu, juga senyumnya yang menggoda.
Suara merdu Ghea merasuk hingga ke dalam telingaku. Suaranya yang agak serak terdengar seksi, membuat tubuhku terasa merinding mendengarnya. Aku mulai membayangkan, bagaimana jadinya suara Ghea kalau ia sedang mendesah-desah?
Tiba-tiba khayalanku dikagetkan oleh getaran hp di kantong celana. Aku merogoh kantong dan melihat layar hp. Tadinya aku hampir saja menekan tombol untuk menerima telepon itu, tapi ketika melihat nama peneleponnya, jempolku tertahan. Orang yang meneleponku itu adalah Tania.
Tiba-tiba khayalanku dikagetkan oleh getaran hp di kantong celana. Aku merogoh kantong dan melihat layar hp. Tadinya aku hampir saja menekan tombol untuk menerima telepon itu, tapi ketika melihat nama peneleponnya, jempolku tertahan. Orang yang meneleponku itu adalah Tania.
Aku ingat, tadi dia memang berjanji akan menelepon balik, sebab komunikasi kami terputus gara-gara ada seorang lelaki yang dengan seenaknya menggoda Tania ketika kami sedang berbicara.
Oh, jadi dia baru sempat meneleponku sekarang karena dia baru selesai bercumbu dengan lelaki itu? Satu jam lebih. Sudah berapa ronde, Tan?
Tania menolak memberikan keperawanannya padaku karena dia ingin menjagannya untuk seorang lelaki yang spesial. Mungkikah lelaki di telepon tadi adalah lelaki spesial itu? Kalau iya, berarti mereka memang sudah melakukannya.
Aku bisa membayangkan. Ketika tadi aku meneleponnya, mungkin Tania sedang ditiduri oleh lelaki itu. Mungkin posisi missionary, mungkin juga doggy style, tapi sepertinya sih doggy style. Tania mengangkat teleponku sambil menungging, lalu lelaki itu dengan enaknya menggenjot vagina Tania dari belakang. Ketika berbicara denganku, ia terdengar tidak fokus, sepertinya karena ia sedang berusaha menahan suara desahannya. Desahan karena rasa nikmat yang mulai merasuki seluruh tubuhnya. Dan ketika ia hampir mencapai klimaks, ia pun tidak tahan lagi dan langsung menutup telepon. Aku patah hati, sementara di ujung sana ia menjerit menikmati orgasme.
Jantungku seperti terbakar membayangkan semua itu, tapi anehnya kemaluanku malah mengeras. Membayangkan Tania sedang ditiduri oleh lelaki lain, membayangkan wajah manisnya yang sedang melenguh, dan payudara mungilnya yang diremas-remas oleh lelaki misterius itu, serta tentu saja lubang vagina Tania yang sama sekali belum pernah kutembus…ada yang meledak dalam diriku.
Kepalaku jadi pusing, getaran hp-ku masih berlangsung. AKhirnya jempolku menekan tombol reject.
***
Esoknya di kampus, aku tak sengaja berpapasan dengan Ghea. Ia memakai kacamata merah maroon favoritnya serta kemeja coklat yang dua kancing atasnya dibiarkan terbuka, samar-samar memperlihatkan belahan dadanya yang mengundang rasa penasaran. Biasanya aku jarang menyapanya kalau dia tak menyapa duluan, tapi entah apa yang terjadi, aku teringat dengan suara seksinya kemarin, dan aku langsung menepuk pundaknya.
“Ghe!” panggilku.
“Hey, Kak!” Ia menoleh dan tersenyum padaku. Jantungku berdetak kencang.
“Penampilan kamu kemarin bagus!” ujarku. Aku memang biasa memakai gaya bahasa yang lebih sopan pada orang yang belum terlalu akrab.
“Hehe, iya Kak! Kemarin saya lihat Kak Adi di depan panggung!” jawab Ghea sambil cengar-cengir. Aku dapat melihat gigi-giginya yang berderet rapi.
Ketika di atas panggung dan ketika bersama teman-temannya, ia terlihat sangat tomboy dan blak-blakan, tapi saat berbicara denganku ia malah seperti anak manis yang sopan. Kami terdiam selama beberapa saat, sepertinya aku bingung mau bicara apa lagi, bibirku beku, aku hanya menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba Ghea meraih pergelangan tanganku. Ada apa ini?
“Kak Adi belum makan kan? Yuk, saya traktir!”
Aku kebingungan dengan sikapnya. Apa dia memang seramah ini?
“Dalam rangka apa nih?” tanyaku sambil setengah diseret oleh Ghea.
“Tadi sebenernya saya udah janji sama temen-temen band yang lain, mau latihan. Tapi ternyata mereka ada urusan, jadi sekarang saya bingung mau ngapain. Kebetulan ada yang pingin saya tanya sama Kak Adi.”
Hal yang ingin dia tanyakan itu ternyata masalah pelajaran. Ketika sampai di kantin, ia menggiringku ke meja pojok yang sedang sepi, lalu ia mengeluarkan setumpuk buku kuliah. Dia memang satu tingkat di bawahku, dan mata kuliahnya banyak yang sama dengan mata kuliah yang pernah kuambil, jadi dia banyak meminta nasehat. Mulai dari masalah tugas-tugas, sifat para dosen, dan lain sebagainya. Aku kewalahan, sebab aku sebenarnya bukan mahasiswa yang terlalu pintar, sementara dia adalah mahasiswi yang sangat cerdas.
“Nah, sebagai ucapan terima kasih, sekarang Ghea traktir!” Ucapnya sambil menyingkirkan buku-buku dari meja.
***
Hubunganku dengan Ghea semenjak saat itu menjadi semakin akrab. Setiap kali ada waktu kosong dan kebetulan berpapasan, ia sering bertanya masalah kuliah. Kadang aku juga bertemu dengan teman-teman bandnya, dan ternyata mereka orang yang cukup ramah. Aku jadi merasa beruntung, sebab di saat aku merasa dikhianati Tania, aku malah semakin akrab dengan Ghea. Tapi Tania tak benar-benar hilang dari pikiranku, terkadang saat sebelum tidur aku masih sering membayangkan Tania. Tapi aku berusaha menggantinya dengan bayangan Ghea. Ghea tak kalah cantik, tak kalah ramah, senyumnya lebih manis, buah dadanya juga (sepertinya) lebih besar. Dan terlebih lagi, suaranya itu….
Tapi tadi sore ada satu hal yang membuat pikiranku kembali pada Tania. Awalnya aku tak sengaja bertemu Santi yang terlihat murung di depan kelas. Wajahnya kusut, tidak seperti Santi yang selama ini kukenal.
“Kenapa, San?” tanyaku.
“Huhh.. nggak. Ga papa.” jawabnya ketus.
“Masalah Tania?”
Santi mengangguk. Sejak Tania menghilang dari geng power rangers, Santi jadi terlihat suram. Mungkin ia merasa dikhianati, sebab Tania adalah sahabat terdekatnya selama ini.
“Bete gue. Itu anak kenapa sih? Pacaran sampe segitunya, sampe lupa temen!” ucap Santi.
Aku mengangguk setuju. Tapi di dalam hatiku, aku merasakan hal yang lebih dari sekedar kehilangan teman. Aku patah hati.
“Kapan terakhir ketemu?” tanyaku.
“Tiga hari yang lalu, gue dateng ke kosnya. Itu pun cuma sebentar, karena dia mau pergi. Bilangnya sih ada kerja sambilan, ah paling juga pacaran ama cowok barunya itu!”
Aku menghela nafas. Segala macam bayangan muncul lagi di benakku. “Gue juga bingung harus gimana. Lo kan yang paling deket sama dia, San.”
“Iya gue tau. Urusan pribadi dia gue ga berhak ikut campur, tapi sebagai sahabat gue juga ga bisa cuek. Lo tau ga, apa yang gue temuin di kamar Tania?” Santi cemberut masam.
“Apa?” aku teringat dengan kamar itu. Kamar pertama kalinya aku menjadi intim dengan Tania. Saat itu Tania memintaku meremas-remas payudaranya, dan ia bahkan memberiku handjob sampai spermaku muncrat ke bonekanya.
“Tapi lo jangan bilang siapa-siapa ya!” Santi mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah benda kecil dibungkus plastik, di bungkusnya tertulis sebuah merek alat kontrasepsi terkenal.
“Kondom?!!” tenggorokanku terasa kering mendadak.
“Sssst!” Santi memasukkan lagi kondom itu dalam celananya.
Segalanya tentang Tania menjadi semakin buruk saja. Kekhawatiranku ternyata benar. Kalau Tania sampai menyimpan kondom di kamarnya, berarti ia sudah sering berhubungan intim dengan pacarnya, di kamarnya, di tempat kenanganku bersamanya. Aku berusaha menyembunyikan wajah suramku dari Santi.
Pada saat seperti ini, tiba-tiba saja hpku berbunyi. Aku mengangkatnya dan menebak-nebak siapakah gerangan yang mengirimiku SMS?
‘Kak, sore ini ada waktu luang nggak? Ada tugas susah yg mau saya tanyain ;) (Sender: Ghea)’
Seorang mahasiswi kembang kampus yang cerdas dan pintar bernyanyi, yang diincar oleh banyak lelaki di kampus ini, yang cantik dan seksi, mengajakku bertemu secara pribadi? Aku tidak tahu kenapa dengan nasib semujur ini senyumku masih tidak mau melebar juga. Aku tetap saja memikirkan Tania… entah marah, atau rindu.
Dengan berat hati, aku meninggalkan Santi yang masih termenung di depan kelas. Sedih juga, gini jadinya kalau ranger kuning kehilangan ranger pink. Aku pun merasa kesal dengan Tania, ia tidak hanya meninggalkan aku, tapi juga teman-temannya yang lain. Lelaki spesial seperti apa sih yang sudah merebut hatinya?
Aku membalas SMS Ghea dan mengiyakan ajakannya untuk bertemu. Dia bilang dia menungguku di kios bakso Pak Kumis yang ada di seberang kampus, jadi mau tidak mau aku harus keluar dari kampus ini, kebetulan semua jadwal kuliah sudah selesai. Ketika melewati tempat parkir, aku melihat sebuah mobil sedan mewah baru saja masuk dan sedang mencari tempat parkir. Mobil siapa itu? Mungkinkah mobil dosen atau rektor? Atau mobil mahasiswa anak orang kaya? Tapi aku belum pernah melihatnya sebelumnya.
Ketika mobil itu selesai parkir, sesosok pria keluar dari kursi pengemudi. Pria itu memakai kemeja necis dan mengenakan kacamata, rambutnya pendek dan disisir ke samping. Dari pintu mobil yang satunya lagi, sesosok wanita keluar. Ia mengenakan kaos oblong, celana jeans, dan sepatu kets. Penampilan mereka berdua sangat kontras, tapi aku kenal siapa wanita itu. Dia adalah Tania.
Wajah Tania terlihat kaget ketika melihatku, mulutnya menganga dan matanya menatap mataku tanpa berkedip. Terus terang, aku juga tidak tahu harus mengatakan apa. Ada perasaan rindu yang amat sangat di dalam dada ini, tapi ada juga perasaan marah dan patah hati yang tidak bisa ditutupi. Kalau saja tak ada pria itu di sebelahnya, aku mungkin akan mencoba bicara. Tapi aku tidak mau. Membayangkan mereka berdiri bersampingan saja sudah membuatku bisa membayangkan seks macam apa yang sering mereka lakukan di dalam mobil mewah itu. Lebih dari soal seks, lelaki itu adalah lelaki spesialnya Tania, lebih spesial dari aku.
“Adi!” Tania akhirnya memanggilku ketika aku berjalan menjauh. Aku tidak menggubrisnya, aku tetap berjalan ke arah bakso Pak Kumis untuk menemui Ghea.
Beberapa langkah aku berjalan, aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang, lalu menepuk pundakku. Ini bukan tangan Tania. Tangan siapa ini? Tangan lelaki brengsek itu!
“Hey bung! Tunggu sebentar!”
Bang, bung, bang, bung, dia pikir dia siapa? Aku memang orang yang terkenal tidak suka cari masalah, tapi kesabaranku sudah pada batasnya.
Aku menoleh dan menatapnya. Dia beberapa tahun lebih tua dariku, mungkin itulah kenapa ia terlihat sudah mapan. Tapi di wajahnya tak ada rasa bersalah, wajahnya terlalu datar. Lalu ia membetulkan posisi kacamatanya, membuat aku semakin muak.
“Kamu pasti temannya Tania yang namanya….”
BUAK!
Tinjuku melayang menghantam kepala lelaki itu sebelum ucapannya selesai. Kacamatanya lepas, ia terhuyung dan jatuh tersungkur. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku aku memukul orang karena marah, tak kusangka pukulanku kuat juga. Satpam dan tukang parkir memperhatikan kami dan bersiap untuk melerai.
“Kalo lo orang kaya, lain kali kondom beli sendiri!” ucapku membentaknya. Tania hanya mematung melihat perbuatanku, wajahnya pucat.
Aku bingung dengan diriku sendiri. Apa yang sudah aku lakukan? Memangnya aku siapanya Tania? Memangnya apa hakku marah pada pacarnya Tania? Memangnya dia salah apa? Memangnya Tania salah apa kalau dia berhubungan dgn pria lain? Aaaargh! Aku lalu lari sekencang-kencangnya, melewati gerbang kampus, menuju bakso Pak Kumis.
Di dalam kedai bakso, Ghea sedang asyik minum jus alpukat sambil memainkan iphone-nya. Aku tiba di sebelahnya sambil terengah-engah.
“Eh kak adi! Kenapa ngos-ngosan gitu? Santai aja kali, saya nggak buru-buru kok,” ujar Ghea sambil tersenyum. Tiba-tiba saja ia terlihat lebih cantik dari biasanya.
Sambil mengatur nafas, aku duduk di hadapannya dan sedikit berbasa-basi. Ia menanyakan apakah aku masih lapar, aku bilang tidak.
“Nah, soal yang mau saya tanyain itu soal ini,” Ghea mengeluarkan lembaran diktat kuliah, lalu menunjuk satu halaman.
“Oh itu…. Kalau yang itu sih…” aku terdiam.
“Kenapa?”
Kalau aku berlama-lama di sini, bisa-bisa Tania dan pacarnya menemukanku, siapa tahu tadi mereka mengejar dari belakang? Bukannya aku takut lelaki itu membalas pukulanku, tapi aku tidak sanggup bertemu Tania. Aku harus segera pergi dari sini.
“Wah… kalau soal yang itu catatanya ketinggalan di tempat kos. Padahal itu lengkap banget,” jawabku.
“Oh ya sudah, kalau gitu….”
“Gimana kalau kita diskusinya di tempat kos-ku aja?” ucapku memotong.
Ghea terdiam, ia sepertinya terkejut. Lalu samar-samar aku seperti dapat melihat pipinya memerah. Setelah itu dia tersenyum lebar.
“Boleh aja!” ucapnya.
***
Aku pergi bersama Ghea ke tempat kos-ku. Sebenarnya ini ide yg buruk, mengajak perempuan ke dalam kamar tanpa persiapan apa-apa. Aku bisa membayangkan seberapa berantakan kamarku, belum lagi cd film-film porno yang mungkin masih berserakan.
“Haha… Kamar cowok!” ia tertawa ketika aku membuka pintu.
Aku menyingkirkan beberapa buku yang berserakan di atas kasur dan menyuruh dia duduk. Tidak lama kemudian, tiba-tiba ia berteriak senang ketika melihat sebuah gitar tua yang kuletakkan di sebelah lemari pakaian. Tanpa meminta izin, dia pun mengambil gitar itu dan membawanya ke atas kasur.
“Ternyata suka main gitar ya?” tanyanya.
“Dulu sempat pingin belajar, tapi sekarang sih cuma jadi pajangan,” aku tersenyum, duduk di sebelahnya.
Seperti lupa tujuan awalnya datang ke sini, ia langsung memainkan gitar itu dengan jari-jarinya yang lentik. Lalu dia pun mulai bernyanyi.
“Knock knock knock, knocking on heaven’s door….”
Aku tiduran di sebelahnya, sementara ia duduk bernyanyi di sebelahku. Seketika saja, Ghea seperti berubah lagi menjadi gadis rocker yang kulihat di atas panggung waktu itu, rasanya dia seperti punya kepribadian ganda.
Sambil mendengar suara merdu Ghea, aku melamun, aku teringat pada semua hal yang kualami bersama Tania. Kalau saja, seandainya saat itu di bioskop aku tak tanpa sengaja menyenggol dada Tania, dan tidak datang ke kost-nya esok harinya, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Mungkin kami masih akan tetap bersahabat seperti biasa, tanpa ada embel-embel apapun. Mungkin aku masih akan menyimpan perasaanku dalam-dalam, tapi tak akan sesakit ini. Ya, pastinya aku jg tak akan pernah melakukan hal-hal intim itu bersama Tania, tapi artinya semua itu kalau akhirnya jadi begini?
“…that cold black cloud is comin’ down, feels like I’m knockin’ on heaven’s door…”
Melihatku melamun, Ghea tiba-tiba saja menepuk pahaku. “Abis mukul orang, terus ngerasa bersalah ya?” ucapnya tiba-tiba.
Aku kaget bukan main, aku bangkit duduk dan menatapnya. Darimana dia bisa tahu hal itu? Jangan-jangan….
“Tadi saya lihat dari jauh, sebelum masuk ke kedai bakso. Masalah cinta segitiga nih kayanya? Hehehe…, sori kalau pengen tau!”
Aku kembali rebahan di atas kasur dan menghela nafas. Lalu Ghea kembali memainkan gitar dan berdendang ringan. Mungkin karena terhipnotis oleh suaranya yang merdu, aku akhirnya menceritakan semua itu. Aku menceritakan semua yang terjadi padaku dan Tania…, perasaanku yang sudah kupendam sejak lama, hubungan skandal rahasia kami, dan pacar baru Tania yang membuatku naik darah. Ghea mendengarkan dengan serius, ia sama sekali tak kaget waktu aku ceritakan skandalku dengan Tania, ia juga tidak terlihat merendahkan, ia malah terlihat simpatik.
Lalu Ghea ikut tiduran di sampingku, sambil masih memetik gitar. “Kak Adi mungkin nggak tau, kalau sebenarnya Kak adi itu sering jadi bahan pembicaraan adik-adik kelas, sebagai cowok yang sopan, berkharisma, baik hati dan kalem. Tapi lucunya, aku nggak kaget waktu tau rahasia pribadi Kak Adi yang bertolak belakang….” ucapnya dengan suara yg pelan, “dan mudah-mudahan Kak Adi juga ga kaget kalau tau bahwa….”
“Bahwa apa?”
“Bahwa cewek kaya saya ini… yah, yang kata orang sih populer, cantik, keren, gaul, dan hehehe”
Aku menyikut pundaknya, ia balas menyikut pinggangku, lalu tertawa.
Ia melanjutkan ucapannya, “…iya, bahwa cewek kaya saya ini, ternyata diam-diam udah lama… naksir Kak Adi.”
Deg!
Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Baru kali ini ada perempuan yang terus terang mengatakan itu padaku. Bahkan Tania tak pernah satu kalipun mengatakan kalau ia menyukaiku. Aku menoleh ke arah Ghea yang tiduran di sebelahku. Ia sedang menutupi wajahnya yang memerah dengan tangan. Sangat cute, kemana perginya gadis rocker yang tadi asik bernyanyi? Aku tertawa dalam hati. Tiba-tiba saja aku juga tertarik mengeluarkan sisi diriku yang lain.
“Main gitar lagi dong!” ucapku sambil bangkit duduk. Ia juga ikut duduk.
“Huuu! Maunya konser gratis! Bayar tiket dong!” ia menjulurkan lidah, lalu membetulkan kacamata merah maroon-nya.
“Kan aku yang main drum.”
“Oke!”
Ghea memainkan gitarnya, tapi kemudian berhenti. Ia memicingkan matanya. “Mana? Katanya Kak Adi mau main drum? Kok diem aja? Pukul-pukul kaleng biskuit kek, apa gitu,” ia protes.
“Aku lagi main drum kok!”
“Mana?”
“Nih…” aku meraih tangan kirinya, lalu menuntun telapak tangannya itu ke arah dadaku.
“Kedengeran ngga? Blast beat nih drumnya!”
Ia tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai memegangi perutnya. Matanya berkaca-kaca karena terlalu lama tertawa. “HAHAHAHAHAHA! Gombal parahhh! Sakit perut nih!”
Aku senyum-senyum mendengarnya. Selesai tertawa, ia menarik tanganku ke arah dadanya, gantian katanya.
“Bukan cuma Kak Adi aja yang dari tadi main drum!”
Telapak tanganku menempel di dadanya, di atas kancing kemeja yang bagian atasnya ia biarkan terbuka. Sekarang aku jadi gugup.
“Oh iya, posisi jantung kan agak ke kiri dikit ya,” ujarnya. Ia menggeser tanganku ke sebelah kiri dadanya, tepat di atas payudara kirinya. Mata kami saling bertatapan. Di balik kacamata persegi itu aku dapat melihat kedua matanya yang terlihat agak sayu. Apalagi ketika tanganku bergeser agak ke bawah.
“Kerasa nggak?” tanyanya.
“Apanya?”
“Detak jantungnya lah. Emang ada yang lain?”
“Hmm… Ada…”
Pelan-pelan telapak tanganku bergeser semakin ke bawah. Aku bisa merasakan ada bukit yang menonjol di dadanya. Ghea terlihat menahan nafas, matanya semakin sayu.
Dengan lembut, jari-jemariku mulai memijit payudara Ghea dari luar kemejanya. Ternyata ukurannya lebih besar dari yang kukira. Hampir dua kali lebih besar dari milik Tania, tapi masih pas di telapak tanganku. Aku meremas-remas payudara kiri Ghea dengan satu tangan, sambil terus memperhatikan ekspresi wajahnya.
“Mhhh…” suara lenguhan pelan keluar dari bibir Ghea. Suara yang sangat merdu, suara lenguhan paling merangsang yg pernah kudengar. Spontan saja penisku berdiri di dalam celana.
“Satunya lagi….” bisiknya. Menuruti perintahnya, aku pun meraih payudaranya yang sebelah kanan. Sekarang kedua gunung kembar itu sudah kugenggam, lalu kupijat perlahan-lahan. Rasanya sungguh kenyal dan kencang. Luar biasa.
“Ghe, buka aja ya?”
“Mmmmh…. iyah….”
Aku penasaran dengan belahan dada yang sejak tadi mengintip dari kerah kemejanya. Lalu dengan perlahan-lahan aku membuka kancing kemeja Ghea, satu-persatu. Semakin banyak kancing yang kubuka, semakin jelas terlihat payudaranya yang bulat menggoda. Ia mengenakan bra putih yang sangat seksi. Aku kembali meremas kedua payudara Ghea. Lalu tanpa diminta, ia melepas kacamata yang ia kenakan, kemudian ia mencium bibirku dengan ganasnya. Aku didorongnya sampai telentang di kasur, kemudian ia naik ke atasku dan kembali menciumi bibirku.
“Kak… kalau buat saya, Kak Adi adalah cowok yang paling spesial,” ucapnya dengan nafas yang memburu….
Ia kembali melumat bibirku, ciumannya sangat ganas, sangat terlihat kalau ia sudah berpengalaman. Lidahnya masuk ke dalam mulutku dan mencoba bersentuhan dengan lidahku. Sisi liar Ghea muncul keluar, ia bahkan sesekali menggigit bibirku. Aku jadi kewalahan, dibandingkan dengannya, aku masih sangat cupu.
Tapi aku tidak mau kalah. Langsung kubalikkan tubuhnya sehingga ia ada di bawahku. Kusibak rambut panjangnya yang indah, lalu kuciumi lehernya. Ia mendesah menahan geli.
“Aw! Geli!” ia menjerit pelan.
Tanganku terus meremas-remas buah dadanya, sesekali memilin putingnya yang sudah mulai menegang. Sejujurnya, aku tak menyangka hal seperti ini akan terjadi sewaktu mengajaknya masuk ke dalam kamar. Tapi aku sungguh tak bisa menolak Ghea.
Ciumanku turun dari leher ke belahan dadanya, lalu ke puting kanannya. Kujilat-jilat putingnya, ia pun mendesah semakin keras.
“Aaah… Mmmmh….” suaranya sangat merdu, rasanya aku tidak ingin berhenti mendengarnya.
Aku bergantian menghisap kedua putingnya, dan ia terus-menerus mengelus-elus rambutku.
“Mmmh…Lebih besar mana sama punya Tania?” ia bergumam sambil mendesah, melemparkan satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Aku tak ingin membicarakan Tania, sebab yang ada di hadapanku sekarang adalah Ghea. Jawabannya sudah jelas, buah dada Ghea lebih besar dan lebih nikmat.
Srurrrpt!
“Awwwh!”
“Enak?” tanyaku.
“Banget!”
Ciumanku turun dari payudaranya ke parah perutnya yang ramping. Kumainkan lidahku di sekeliling pusarnya, Ghea menggelinjang kegelian. Sementara itu tanganku melepaskan celana jeans-nya secara perlahan-lahan. Ghea tampak tidak keberatan, ia bahkan membantu membukakan celananya.
Setelah celana jeans-nya terbuka, aku dapat melihat celana dalam putih yang ia kenakan. Aku mengelus-elus kedua pahanya yang mulus, lalu menciumi lututnya. Ghea tampak kegelian dan menggerak-gerakkan kakinya.
“Jangan gerak-gerak, nanti kepalaku kena tendang!” protesku.
“Sorii! Abisnya geli!”
Ciumanku menjalar dari lutut, ke pahanya, lalu ke selangkangannya. Cuma ini cara yang kutahu untuk memuaskan wanita, cuma sampai hal ini saja batas pengalamanku. Aku memerosotkan celana dalam Ghea, dan terlihatlah vaginanya yang sudah dicukur bersih dan mulus. Kepala Ghea menengadah, memandangi langit-langit kamar kostku. Dengan gerakan yang lihai, aku langsung menjilati vagina Ghea. Ia pun semakin berkelojotan, terpaksa aku memegangi kedua kakinya.
“Aaaaah… uuuh… Kak Adi.. baru pertama kalinya aku diginiin… Uuuh… Nggak tahan….”
Jilatanku semakin liar. Kumasukkan lidahku ke sela-sela lubang vaginanya, lalu kugerak-gerakkan. Tak lupa semua teknik oral yang pernah kulihat di film porno kupraktekkan pada vaginanya. Ia semakin merasa nikmat, desahannya berubah jadi jeritan-jeritan tertahan, lalu erangan yang sangat merdu.
“Gilaaaa…. Arrrghhhh….!” Ghea mengerang panjang, namun aku menghentikan permainanku. Tiba-tiba saja aku merasa seperti mengalami de javu. Beberapa detik tadi aku sempat lupa kalau vagina yang ada di hadapanku adalah milik Ghea, bukan Tania.
“Hah.. hah… Kenapa berenti…?” keluh Ghea manja.
“Ngg.. Nggak apa-apa…” jawabku.
“Udah nggak tahan… masukin aja, Kak.”
Aku termenung mendengar permintaannya, “Masukin?”
Ghea menatapku, matanya seperti heran kenapa aku bertanya. “Iya, masukin punya Kak Adi…Kontol Kak Adi… uuhh.”
Aku ingat aku belum pernah melakukan ini, sebab Tania selalu melarangku menembus keperawanannya. Mungkin Ghea memang sudah tidak perawan, tapi entah kenapa aku jadi merasa agak canggung.
Melihatku yang tak juga menuruti permintaannya, Ghea bangkit dari posisi tidurnya, lalu bergegas membuka celanaku. Dengan gerakan yang seperti sudah terlatih, ia segera mengeluarkan penisku yang sudah berdiri tegang. Lalu ia menggenggamnya menggunakan tangan kanannya.
“Aku bikin lebih tegang lagi ya Kak, tapi jangan keluar dulu.”
Ghea mengocok-ngocok penisku dengan tangannya, lalu tanpa ragu ia langsung memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Ia menghisapnya dengan lembut, batang penisku terasa disedot sampai ke bagian terdalamnya.
“Oooohh…” aku mendesah tak tertahankan, Ghea masih terus menghisap penisku, sesekali kepalanya maju mundur.
Kemudian ia menghentikan gerakan kepalanya dan malah mendorong pinggulku ke arah mulutnya.
“Kak…. entotin mulut Ghea…” ucapnya dengan suara yg sulit terdengar karena penisku masih ada di mulutnya.
Aku terkesima dengan permintaannya yang berani itu, tapi aku tak mungkin menolak. Dengan kedua tangan, aku memegangi kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang. Kudorong penisku ke arah mulutnya, lalu kutarik sedikit. Kudorong lagi, tarik lagi. Semakin lama penisku terdorong masuk semakin dalam ke mulutnya, hampir ke tenggorokannya. Rasanya sungguh luar biasa, tulang belakangku seperti mau lumer saja.
Dengan nafsu yang membumbung tinggi, aku menggenjot mulut Ghea, semakin lama semakin cepat. Sesekali Ghea seperti hampir terbatuk-batuk, tapi ia menolak untuk melepaskan penisku. Sampai pada saat sodokan penisku di mulutnya menjadi sangat kuat, Ghea menarik mulutnya, ia batuk berat dan hampir muntah, air liur menetes dari mulutnya yang sejak tadi tak bisa bergerak.
“Ghe, kamu nggak apa-apa? Maaf ya, maaf!” ucapku khawatir melihatnya.
“Hoek! Uhuk uhuk! MMmmmng…. Nggak apa-apa… Hemmm….Nggak apa-apa kok,” jawabnya sambil berusaha tersenyum.
Setelah nafasnya kembali tenang, ia telentang di atas kasur, lalu menuntun penisku ke dekat vaginanya. Sambil menggenggam penisku, ia menggesek-gesekkannya ke bibir vaginanya yang sudah basah. Ia ingin aku memasukkannya.
“Kamu yakin, Ghe?” tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, Ghea tertawa cekikikan. “Biasa aja kali, Kak. Nggak usah gugup gitu.”
“Oh kamu udah sering ya?” tanyaku.
“Nggak sering, pernah sekali. Tapi buat Kak Adi, berapa kali pun boleh.”
Aku mendorong penisku ke bibir vaginanya. Rasanya sangat sempit, aku sampai tidak tahu harus mendorongnya seperti apa.
“Nih saya bantuin Kak, pelan-pelan ya,” ucap Ghea.
Dengan bantuan dari tangan Ghea dan gerakan pinggulnya, akhirnya penisku bisa masuk juga ke dalam vaginanya. Rasanya sungguh luar biasa. Rasa hangat, lembut, dan jepitan dinding-dindingnya di batangku membuat pikiranku melayang entah kemana. Aku memeluk tubuh Ghea dan mencium bibirnya, lalu Ghea berbisik.
“Kak Adi nggak usah nungguin Tania lagi ya? Kalau sama saya, semuanya saya kasih…”
Aku mulai menggerakkan pinggulku perlahan-lahan. Penisku keluar masuk di vagina Ghea, bergesekan tanpa henti, merasakan cengkraman vaginanya yang sangat kuat.
“Ahhh…”
“Ooohh… gimana kak rasanya kehilangan keperjakaan?” ledek Ghea sambil berusaha tertawa.
“Rasanya… rasanya kaya begini…” aku mempercepat genjotanku, membuat sodokan-sodokanku semakin kuat.
“Ahhh! Ahh! Ohh! Nikmat!” Ghea menjerit-jerit setiap kali penisku menusuk bagian dalam vaginanya.
“Iya, nikmat. Ohh ohh!”
Lama-kelamaan genjotan pinggulku semakin stabil, Ghea juga sepertinya semakin bisa mengendalikan nafas. Aku meremas-remas payudaranya, lalu mengecup bibirnya. Sambil terus menggenjot, aku mengambil kacamata Ghea yang tadi ia lepas di dekat kasur. Lalu aku memakaikan kacamata itu pada Ghea, ia tersenyum melihat tingkahku.
“Kayanya kamu lebih seksi kalau pakai kacamata,” ucapku menggodanya.
Permainan kami semakin lama semakin intens. Sesekali aku memutar-mutar penisku di dalam vagina Ghea, membuat dia menggelinjang. Sesekali juga aku mencampur antara genjotan cepat dan gesekan lembut.
Setengah jam berlalu, permainan kami mulai mendekati klimaksnya. Aku dapat merasakan penisku seperti akan meledak, sementara Ghea sudah terengah-engah dan tak bisa berkata apa-apa lagi selain desahan dari mulutnya.
“Ah… ah… ah… Kak… Ah… Ah.. oh… sebentar lagi… “
“Ugghh… Ghe… Ohhh… sama… juga… ahhh”
Dalam keadaan seperti itu suasana kamar di sekelilingku seperti lenyap. Itulah kenapa aku tak sadar ketika ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aku tak menggubrisnya, aku terus menggenjot Ghea tanpa henti. Hingga aku sadar kalau pintu kamarku tadi lupa dikunci, dan terbukalah pintu kamar itu, lalu Tania melangkahkan kakinya masuk.
Tania melihatku. Tania melihat kami. Ekspresi wajahnya sangat pucat ketika ia membuka pintu kamarku lalu memergoki aku dan Ghea yang sedang bercinta dengan penuh gelora. Mata Tania melotot, seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Anehnya, aku tak bisa menghentikan gerakanku. Ghea juga sepertinya sudah tak sanggup lagi memikirkan keadaan di sekelilingnya. Sambil disaksikan oleh Tania yang mematung karena shock di depan pintu, aku mempercepat genjotanku di vagina Ghea, hingga akhirnya aku dan Ghea mencapai orgasme secara bersamaan.
“Aaaaaarghhh!!! Aaaaah!” aku dan Ghea menjerit hampir bersamaan, seolah seperti paduan suara yang sedang menyanyikan nada tinggi.
Spermaku muncrat di dalam vagina Ghea, sementara Ghea mengeluarkan jeritan panjang dan punggungnya melengkung seperti busur. Tubuh kami lumer menjadi satu, keringat kami bercampur dalam jeritan.
Tania masih di depan pintu, seperti patung yang beku. Kecuali air matanya yang perlahan-lahan menetes keluar, memperhatikan aku dan Ghea yang masih terengah-engah menikmati sisa orgasme kami. Air mata Tania semakin banyak keluar, dan ketika hampir membanjiri pipinya, ia pun membalikkan badan dan lari sekencang-kencangnya dari kamar kost-ku.
Aku bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Tania menangis? Kenapa? Entah mengapa, aku juga jadi ingin menangis. Tapi Ghea segera memeluk kepalaku dan mendekapnya. Kami tertidur di atas kasur, di dalam kamar, dengan pintu yang terbuka.
Tatapan dan air mata Tania terus menghantuiku sejak saat itu. Walau ada segudang alasan yang bisa kubuat supaya aku tidak usah peduli, tapi kenyataannya aku merasa hidupku hancur berantakan. Rasanya bernafas saja susah.
Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu kuteriakkan dalam hati tiap kali aku mengingatnya.
Tepat setelah kejadian ironis itu selesai, Ghea sempat minta maaf padaku. Awalnya dia cuma terdiam. Kami kembali mengenakan pakaian kami yang tercecer di lantai kamar. Ia sedang mengancingi kemejanya, belum memakai celana, ia menatapku tanpa suara. Aku mengancingi celanaku dan menunggu ia mengeluarkan kata-kata.
“Maaf kak,” ucapnya.
Hatiku semakin retak mendengar permintaan maafnya. Ini bukan salah Ghea. Aku yang memulainya terlebih dulu. Lagipula kalau mau jujur, aku yang bersalah padanya. Aku telah menggunakannya untuk pelampiasan nafsuku dan rasa kesepianku yg kelam. Bukan salah dia kalau akhirnya aku mendapat ganjaran dari perbuatanku sendiri.
“Bukan. Aku yang harusnya minta maaf. Aku khilaf.” jawabku.
Setelah itu ia memelukku. Pelukan yang tanpa nafsu, tapi penuh dengan rasa gelisah. Beberapa menit kemudian aku mengantarnya pulang.
***
Beberapa hari kemudian di kampus aku sempat bertemu dengan Santi dan geng power rangers yang lain, kecuali Tania. Beda dengan sebelumnya, kali ini Santi tidak terlihat terlalu murung. Kami duduk di kantin untuk makan siang bersama sambil ngobrol-ngobrol.
“Eh Bro, gimana tuh kabar nya si Saras?” tanya Rian pada Galih sambil menyikut lengannya. Saras adalah gebetan Galih yang pernah dia ajak bersama kami ke festival kampus.
“He he he… baik-baik aja kok.” Galih menggaruk-garuk lehernya, kebiasaan dia kalau sedang grogi.
“Tumben tampang lo kaya gitu. Biasanya kalo ngomongin gebetan tampang lo stay cool aja. Pasti ada yg beda nih sama gebetan lo yang satu ini?” Santi ikut-ikutan menyindir sambil melahap bakso di depannya.
“Bisa aja lo semua… biasa aja kok.”
“Di, lo inget ga? Sewaktu abis nganterin kita pulang dari festival musik di kampus Z waktu itu, si Galih kan jalan terus tuh sama si Saras, kemana coba?” tanya Rian padaku.
“Hmmm… ke mana ya? Diajak ke rumahnya kali?” jawabku ragu-ragu.
Rian menoleh ke arah Galih sambil menggelengkan kepalanya dan berdecak-decak. “Lo bawa ke rumah?”
“Nggak lah!” sanggah Rian.
“Lo tunjukin koleksi bokep original lo ya?” ucap Santi. Galih tertawa terbahak-bahak.
“Sialan lo semua. Udah kaya wartawan infotainment aja dah! Waktu itu gue langsung nganterin dia pulang kok!” Galih membela diri.
Sewaktu kami sedang asyik menggoda Galih, Santi menngangkat panggilan masuk di hp-nya. Aku tidak terlalu jelas mendengar apa yang ia katakan, awalnya wajah Santi terlihat ketus, tapi tak lama kemudian seutas senyum terlihat di bibirnya.
“Woy, guys! Diem dulu sebentar! Coba tenang dulu!” ucap Santi setelah menutup teleponnya.
Kami semua terdiam dan memandangi Santi, penasaran dengan apa yang ingin ia katakan.
Santi memajukan kepalanya dan berbisik. “Guys, temen kita si ranger pink yang udah lama ga muncul katanya mau dateng ke sini… dan mau nraktir kita makan sepuasnya!”
DEG! Jantungku seperti berhenti berdetak. Sementara itu Galih dan Rian bersorak gembira, aku berusaha untuk ikut terlihat senang, padahal tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin.
Jantungku berdetak kencang, kakiku terus menerus mengetuk-ngetuk lantai. Seandainya aku bisa melarikan diri dari situasi ini. Mungkin aku bisa pura-pura pergi ke WC, lalu diam-diam pulang? Kalau nanti ada yang bertanya aku bisa bilang kalau aku ada keperluan mendadak.
Sebelum aku sempat melakukan itu, Santi sudah melambaikan tangannya dan tersenyum. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Santi, lalu aku dapat melihat Tania berjalan ke arah kami dari salah satu sudut kantin. Ia memakai t-shirt ketat dan celana jeans seperti biasa. Namun ada hal yang berbeda dari biasanya. Tania memotong rambutnya. Sekarang rambut lurusnya jadi pendek seleher, memperlihatkan lehernya yang indah, membuat ia tampak lebih seksi.
Ia berjalan semakin mendekat, jantungku semakin cepat berdetak. Kemudian Tania menghampiri Santi dan cipika-cipiki seperti teman lama yang baru bertemu kembali.
“Buset! Potong rambut lo, Tan?” goda Santi.
“Iya dong! Pantes ngga rambut baru gue?” ujar Tania sambil membelai rambutnya sendiri. Samar-samar aku dapat mencium wangi parfum Tania. Lebih harum dari biasanya. Saat ia bicara aku juga dapat melihat bibirnya yang dibalut lip gloss seolah tampak basah.
“Kemana aja lu?” sahut Rian.
“Iya, nggak pernah muncul. Pacaran mulu lo ya?” tambah Galih.
“Ada deeeh… Ntar gue jelasin!”
“Payah lo ah. Kasian tuh si Adi, kangen sama lo, daritadi diam terus… Hahahaha” ucap Galih. Tenggorokanku rasanya bagai tercekik mendengar ucapannya. Aku tahu dia cuma bercanda, tapi ucapannya begitu telak membuat aku dan Tania sama-sama terdiam.
“Hahahaha…. boro-boro gue kangen….. kangen band kali!” aku mencoba ikut bercanda, tapi jadi terdengar maksa.
Tania duduk di kursi kosong di sebelah Santi, tepat di hadapanku. Kemudian ia merebut es teh manis Santi dan menyedotnya tanpa meminta izin. Santi protes, dilanjutkan dengan candaan Galih dan Rian yang sangat garing. Sekilas, pemandangan di hadapanku terasa sangat normal. Rasanya seperti suasana persahabatan kami dulu, suasana yang nyaman dan menentramkan yang sangat kami rindukan. Seandainya saja semua bisa kembali seperti dulu. Tapi aku tahu saat ini ada yang berbeda, setidaknya bagiku dan Tania.
“Jadi begini kawan-kawan…” Tania mulai membuka suara, “gue minta maaf kalau selama ini gue sering ngilang dan jarang ngumpul sama kalian… gue emang sempat ada masalah yang makan perhatian banget. Tapi sekarang…., gue bawa kabar gembira.”
“Kabar gembira apa Tan?” tanya Rian penasaran.
Tania dan Santi senyum-senyum, mereka sudah mengetahui sesuatu. Selama beberapa detik, Tania melirik ke arahku, kemudian kembali membelokkan pandangan.
“Gue…Ehm… Sebentar lagi gue bakal… tunangan.” ucap Tania. Suaranya agak gemetar ketika mengucapkan itu.
Sorak sorai Rian dan Galih terdengar bersahutan, Santi mengacak-acak rambut pendek Tania. Galih mengangkat gelas es tehnya dan mengajak kami semua bersulang, seperti adegan bar di film-film. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, aku tahu dengan siapa dia akan bertunangan. Sesi wawancara pun dimulai. Galih, Rian dan Santi bergantian menanyai Tania soal rencana pertunangannya itu.
Dengan kaki yang lemas, aku bangkit berdiri, lalu mengulurkan tanganku ke arah Tania. Aku berusaha tersenyum.
“Selamat ya…” ucapku.
Tania menyambut tanganku. Ia berusaha tersenyum, tapi pandangan matanya terus menunduk.
Aku tidak tahan lagi, aku harus segera pergi dari sini.
“Eh guys, sori ya. Gue harus cabut duluan nih. Gue baru inget kalau siang ini gue udah ada janji sama dosen,” ucapku dengan terburu-buru.
“Ah nggak asik lo di!” gerutu Rian.
“Iya… Rugi lo, nggak dapet traktirannya Tania,” ujar Galih.
“Sori, sori banget!” ucapku. Kemudian aku menoleh ke arah Tania.
“Maaf ya, Tan.” ucapku.
Teman-temanku yang lain mungkin berpikir aku meminta maaf karena tidak bisa mengikuti acara perayaannya, tapi aku dan Tania sama-sama tahu, kata maaf itu punya makna yang lain, makna yang lebih dalam dan lebih luas.
“Maaf, gue harus pergi sekarang,” ucapku lagi.
Saat aku membalikkan badan dan berlari keluar dari kantin, tak ada yang menahanku. Tapi sepertinya aku mendengar suara Tania memanggil namaku pelan. Tapi… mungkin itu cuma imajinasiku saja.
Di depan kampus, tanpa sengaja aku bertemu Ghea. Ia sedang di tempat fotokopi, ia melihatku dan melambaikan tangan, seolah tak terjadi apa-apa di antara kami.
“Ghe, ikut yuk!” aku menarik tangannya. Untung ia sudah selesai memfotokopi.
Aku mengajaknya naik motorku, pergi ke sebuah kafe yang letaknya agak jauh dari kampus. Sebenarnya aku tak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian, tapi masalahnya cuma dia saja yang mengetahui soal hubunganku dengan Tania, aku tak tahu lagi harus bercerita pada siapa kalau bukan dengan Ghea. Selama di perjalanan, ia memeluk punggungku dengan erat, seperti orang yang sedang berpacaran. Aku dapat merasakan buah dadanya yang menempel di punggungku, tapi pikiranku sedang kacau, jadi aku tak bisa menikmati hal itu.
Di kafe, kami duduk di sebelah pojok. Tak lama kemudian pelayan datang dan kami pun memesan minuman dingin.
“Kenapa Kak?” tanya Ghea sambil membetulkan posisi kaca matanya.
Aku menghembuskan nafas gelisah, kemudian mulai bercerita tentang apa yang terjadi di kantin tadi. Ghea menatapku sambil manyun, kemudian menyedot minuman yang baru saja diletakkan pelayan di meja kami.
“Jadi, Kak Adi masih mengharapkan Tania?” tanya Ghea.
“Nggak…. Nggak tau….” jawabku. Aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya kuharapkan.
“Mungkin Kak Adi cuma gelisah karena penasaran. Karena belum pernah ngungkapin perasaan Kakak yang sebenarnya ke dia, kan?” ucapnya lagi.
Aku termenung. Mungkin benar yang diucapkan Ghea. Mungkin perasaanku adalah semacam obsesi.
“Jadi menurut kamu?”
“Kak Adi harus ungkapin dengan jujur apa yang Kak Adi rasain selama ini pada Tania secara langsung, supaya nggak ada beban lagi. Setelah itu….” Ghea menghentikan ucapannya.
“Setelah itu?”
“Setelah itu, lupain dia.”
Aku terhenyak. Melupakan Tania?
“Tapi….” gumamku ragu-ragu.
“Habis mau gimana lagi? Kalian sama-sama udah buat pilihan masing-masing kan? Tania udah punya tunangan… dan Kak Adi…. udah punya saya.”
Aku kembali terkejut dengan ucapan Ghea. Aku mulai bisa menebak. Jangan-jangan apa yang terjadi di antara kami waktu itu dia anggap sebagai tanda bahwa kami….
“Ghe… di antara kita nggak ada apa-apa.” ucapan itu begitu saja keluar dari mulutku.
Genggaman tangan Ghea di gelasnya tiba-tiba saja menjadi sangat erat, tangannya terlihat agak gemetar. Ketika aku melihat wajahnya, aku dapat melihat api yang membara di balik kaca mata itu. Ia sungguh menyeramkan. Sepertinya ia bisa memukulku dengan gelas kaca itu kapanpun ia siap.
“Denger ya, Kak…. saya memang bukan perempuan yang sok suci seperti Tania… tapi saya juga bukan pelacur munafik seperti dia yang bisa Kak Adi jadiin sex friend seenaknya tanpa komitmen apa-apa!”
Ghea bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kafe dengan penuh amarah. AKu menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan dan berteriak dalam hati. Aku kira berbicara dengannya bisa membuatku lebih tenang. Aku salah, aku malah semakin terpuruk.
Malam ini saat mulai tidur kepalaku terasa berat. Aku gelisah selama beberapa jam, namun menjelang dini hari akhirnya aku bisa tertidur juga. Aku tidak tahu berapa lama aku tidur, sepertinya sebentar, karena ada sesuatu yang membuatku terbangun.
Ada yang mengusik badanku saat aku sedang tertidur lelap. Sebuah benda berat menindih lenganku. Aku membuka mata dan melihat lampu kamar masih menyala, sepertinya aku tadi lupa mematikannya. Mataku terasa perih, lalu aku mengedip-ngedipkannya sebentar, sampai mataku mulai terbiasa. Lalu saat aku melihat ke sebelah kiri, aku terkejut. Benda berat yang menindih lenganku adalah Tania.
Tania tiduran di sebelahku. Kepalanya ada di dekat pundakku, sementara badannya memeluk erat lengan kiriku. Ia mengenakan kaos putih tipis dan celana pendek longgar, wangi sabun dari tubuhnya bisa kucium dengan cukup jelas.
Kenapa ia bisa ada di sini? Jantungku berdetak kencang. Aku ingat, mungkin aku lupa mengunci pintu kamar ketika akan tidur tadi. Aku kelelahan dan pikiranku kacau, aku sampai tak ingat mengunci pintu.
“Di…” Ucap Tania agak mendesah. Rupanya ia tidak tidur.
Tania menegadahkan kepalanya, berusaha menatap wajahku. Jarak wajahku dan wajahnya kini hanya beberapa senti.
“Maafin gue, Di…. Gue tau gue yang salah,” ucapnya pelan.
Aku berusaha menenangkan diriku. “Tan… kenapa lo tiba-tiba ke sini?”
Tania menghela nafas, lalu memeluk lenganku dengan lebih erat. Aku dapat merasakan gesekan payudaranya dari luar kaos yang ia kenakan.
“Hmmmm…. gue pengen, Di…”
Aku kaget mendengar kata-katanya. Ucapan Tania berhasil membuat darahku berdesir. Sebelum aku sempat mengucapkan apa-apa, tiba-tiba Tania mencium leherku, lalu tangannya meraba penisku dari luar celana boxer yang aku pakai.
“Tan…. kenapa lo tiba-tiba jadi… “
“Mmmmmh….. Mmmmhhh…” bibir kami langsung beradu, saling lumat dan saling hisap. Oooh, sungguh aku merindukan bibir ini. Aku merindukan kelembutan bibirnya setelah sekian lama.
Tangan Tania menyelinap ke balik celanaku, lalu ia mengambil batang penisku dan mengeluarkannya dari celana. Dengan gerakan yang pelan dan lembut ia mulai mengocoknya, sementara itu bibir kami terus berpagutan. Refleks, tanganku juga menyelinap ke balik kaosnya dan mencari gunung mungil yang sudah lama kurindukan. Aku meremas payudara kiri Tania dan memainkan putingnya. Putingnya sudah keras dan tegang, sangat enak untuk dimainkan menggunakan jari.
Tania bangkit, ia duduk di atas lututku. Lalu ia mengarahkan penisku yang sudah berdiri tegak ke arah selangkangannya yang masih terhalang celana. Pelan-pelan ia menggesek-gesekkan ujung penisku ke selangkangannya.
“Hhhhh…. gue kangen sama kontol lo, Di…. Mmmhhh…”
Tak lama kemudian ia memerosotkan celananya sendiri beserta celana dalamnya. Terlihatlah vaginanya yang bekas dicukur dan masih tak berubah seperti dulu. Tania menggesek-gesekkan ujung penisku di bibir vaginanya namun tampak berhati-hati.
“Tan…. Ohhh….” aku tak sanggup menahan desahan.
“Uhhh… cuma gesek-gesek aja ya Di…. ini yang terakhir kalinya…” desah Tania.
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba saja aku jadi merasa agak kesal. Aku tidak mau. Aku tidak mau cuma sekedar begini. Aku menginginkannya. Aku ingin tahu apakah dia masih perawan atau tidak saat ini. Aku tidak mau kehilangannya.
Tanpa minta izin terlebih dahulu, aku menarik kedua tangan Tania, lalu aku lempar tubuhnya ke atas kasur. Aku menindihnya, kutahan kedua lengannya dan kulebarkan kedua kakinya.
“Aw! Di! Lo mau ngapain?” Tania protes.
“Please, Tania…. Gue mau jadi yang spesial buat lo… gue mau….” ucapku sambil berusaha menahan tangannya yang meronta-ronta.
“Jangan Di… gue udah, gue udah tuna.. nga… aaaaaah!”
Dengan gerakan yang memaksa, kepala penisku masuk ke dalam bibir vagina Tania. Ia masih berusaha melawan, tapi tenagaku lebih kuat dalam menahan gerakan tangan dan kakinya. Kudorong lagi pinggulku ke arah depan, penisku masuk semakin dalam ke lubang vagina Tania. Oooh… rasanya sungguh luar biasa. Rasanya berbeda dengan lubang vagina Ghea, milik Tania terasa lebih hangat dan lebih lembut. Kuteruskan mendorong penisku, lalu kugunakan sedikit tenaga hingga batang penisku masuk seluruhnya ke vagina Tania.
“Adiiii…! Aghhh! Sakiiiit! Sakit Di….!” Tania menjerit. Gerakan tangannya berubah menjadi lemas, dan sedikit demi sedikit ia berhenti melawan. Tapi ia mulai menangis.
“Tan… jangan nangis… please gue minta maaf,” ucapku.
“Sakiiit…. lo jahat….. “
Aku melihat ke arah vagina Tania, lalu aku menemukan bekas darah yang membasahi seprei kasurku. Aku terkejut. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang.
“Lo masih perawan, Tan?” tanyaku terbata-bata.
“Sekarang udah nggak, bego lo! Bego!” Tania memeluk leherku dan berusaha menghentikan tangisannya.
Aku tidak mau menyia-nyiakan ini. Perlahan aku mulai menggenjot vagina Tania, awalnya agak pelan karena aku tidak ingin menyakitinya lebih lanjut. Dinding vagina Tania terasa sempit dan meremas-remas batang penisku. Jadi seperti inilah vagina dari perempuan yang selama ini selalu kurindukan, yang selalu kuinginkan. Luar biasa.
“Aaaaaah…. Aaakhh… Ooouhhh…” Aku terkejut mendengar Tania mulai mendesah. Ternyata ia cepat bisa menikmati ini.
“Udah nggak sakit kan, Tan?” tanyaku sambil mempercepat genjotan.
“Nggak…. ahhh enak… mmhhh….” desah Tania.
“Gue cepetin lagi ya?”
“Uuhh… Iya, Kak… yang cepet… terus, Kak….”
“Hah? Tan? Sejak kapan lo manggil gue Ka…..”
Tania melepaskan pelukannya, lalu aku dapat melihat wajahnya. Ia bukan Tania! Ia Ghea! Bagaimana mungkin? Tidak masuk akal!
Ghea berbaring di bawahku, kakinya direntangkan lebar, tangan kirinya meremas-remas payudaranya sendiri. Ghea tampak tersenyum, tapi ia terus menggerak-gerakkan pinggulnya supaya aku tidak berhenti menggenjotnya. Ia tersenyum sambil mendesah, lalu perlahan ia mengacungkan jari tengahnya ke depan mataku.
Aku gemetar sekujur tubuh. Dengan sangat cepat, Ghea bangkit dan mendorong tubuhku. Aku jatuh terlentang, lalu kepala Ghea turun hingga ke depan penisku. Ia kemudian menghisap penisku dengan mulutnya. Lalu ia menggigitnya. Ia menggigit penisku! Krauk! Krauk! Aku menjerit sekuat tenaga. Aaaaaaaa!
Lalu aku terbangun di atas tempat tidur. Cuma mimpi? Tidak ada siapa-siapa di sampingku. Tidak ada Ghea, tidak ada Tania. Aku masih sendiri.
***
Sejak kemarahan Ghea akibat kebodohanku yang tentu saja sangat menyinggungnya, Ghea sangat sulit untuk ditemui. Bahkan, akhirnya kudengar ia transfer studinya ke univ lain. Ah, Ghea..lupakanlah...maafkan aku…
Dan Tania? Sejak ia memergoki aku dan Ghea di dalam kamar, ia pun menghilang… Yang kudengar bahwa ia benar-benar telah melangsungkan tunangan dengan Josh, pria berkacamata yang pernah kupukul saat itu karna cemburu buta..
Dan Tania? Sejak ia memergoki aku dan Ghea di dalam kamar, ia pun menghilang… Yang kudengar bahwa ia benar-benar telah melangsungkan tunangan dengan Josh, pria berkacamata yang pernah kupukul saat itu karna cemburu buta..
Tiga bulan berlalu…Dan selama itu pula aku tidak bertemu dengan Tania. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Galih dan Rian, teman-teman sekos-ku sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba menjadi pemarah dan sensitif.
Aku tahu saat ini pasti Tania sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri. Rian, teman kosku jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba. Aku jadi lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm... siapa tahu Tania ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke kosnya di utara Yogya itu. Tapi mobil Josh yang sering nongkrong di depan kos itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Adi! Entahlah.
Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yang duduk tekun di pojok membuat wajahku pias. Tania? Dia duduk sambil memelototi buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.) Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok kecerdasan yang luarbiasa digabung dengan keperempuanan yang menyihirkan.
Kudekati dia dan kusapa. "Hei!"
"Hey!" jawabnya datar.
"Sedang apa?
"Berenang!" jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia tak bergeming sedikitpun.
Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke arah kami, Josh! "Hey.. sayang… masih lama?" sapanya hangat.
Tania hanya mengangguk dengan senyum yang pasti begitu aneh. Tania segera bangkit. "Yuk Josh pulang... pulang dulu ya Di!" tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi begitu saja.
Aku hanya terbengong dan kelu. Begitu kaku antara aku dan Tania setelah peristiwa lalu.
Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan kecepatan kilat yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas mengambil ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku bikin janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si Galih menggedor pintu kamarku.
"Adi... aku berangkat dulu, pulangnya mungkin bulan depan," pamitnya.
Ya ampun baru aku ingat sore ini dia mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya. "Ya... hati-hati... salam buat Tasya!".
Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih? "Ngapain bang? Ada yang ketinggalan?"
Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih? "Ngapain bang? Ada yang ketinggalan?"
"Ngg... anu Adi ada tamu!"
Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Tania!
Perempuan itu berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans belel. Tapi di pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke Merapikah?
"hey... boleh nginap di sini?" tanyanya cuek dan tanpa menunggu jawabanku dia langsung masuk kamar.
Ah anak itu memang penuh dengan kejutan. Datang, pergi dan kembali tanpa memikirkan perasaanku padanya yang begitu tersiksa.
Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan Galih yang terburu-buru pergi.
"Teman kos mudik semua.. Josh pergi ke Kalimantan. Ada riset di Kalcoal. Males di kos. Sepi!" seolah-olah tahu keherananku dia merebahkan tubuhnya ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai. Anak tunggal pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling takut sendiri di kosnya yang super besar itu.
"Sampai kapan?" tanyaku sekenanya.
"Tahu! Mungkin sebulan. Kalo teman-teman sih lima minggu. Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!" dia lalu membalikkan tubuhnya . Kalau tidak ingat dosenku itu sangat susah ditemui, pasti kubatalkan kepergianku.
Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun konsentrasiku ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Tania di rumah kontrakkanku. Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman kesukaan Tania).
Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Tania ketiduran. Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku. Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu kubuka kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku hampir keluar dari tempatnya karena ketakjubanku.
Beberapa lilin yang mengapung di tembikar yang penuh dengan kemboja nampak menghiasi beberapa sudut ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru tua polos dan bertaburan melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku demikian cozy. Beginikah honeymoon suite room? Tania dengan rok terusan selutut bertali dan sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok itu begitu tipis dan ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada turis-turis yang sering memakainya di Malioboro. Tampak kedua dadanya penuh dan kedua puncak hitamnya yang menonjol menyadarkanku bahwa dia tidak memakai bra hitam kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di telinganya. Ah... pantas bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini. Ada satu karakter yang kuat memancar dengan dahsyatnya.
Saat lagu "Lady wants to Know" mengalun, Tania memegang tanganku. "Shall we dance?".
Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan ketakjuban yang masih menyelimuti perasaanku kusambut tangannya, kupeluk dia dengan kerinduan yang tak kunjung usai. Harum parfum Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku. Sesekali kucium tangannya yang kugemnggam sangat erat. Kamipun terus berpelukan hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai, tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya yang tadinya rebah di dadaku.
"Sebelum kuserahkan tubuh ini kepada orang lain…. Bercintalah denganku?
Setubuhi aku dengan jiwamu... Bawalah aku ke dalam darahmu. Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut ruang hatimu..." bisiknya lembut.
Kata-kata itu bagaikan sihir yang membutakan seluruh sendi kesadaranku. Aku masih ingat Tania selalu menjaga keperawanan-nya selama kami berhubungan.
Tanpa terasa, tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut kedua dadanya. Bibirnya yang penuh kukecup dengan penuh kasih lalu segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang membuatnya tersengat. Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan kepasrahan yang penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam kepolosan yang purba.
"Please... explore me!" rintihnya saat kujilati bibir kewanitaannya.
Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang selalu kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa menggairahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu dalam plastik dan kubanting ke lantai. Gedubraaaak!
"Suara apa itu?" pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya.
"Arrgh.. ah... ugh.. ugh!" dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi itu. Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat kaku mengeras dia mengaduh, "Uuuh... hisap... please!" rintihnya. Lalu kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya.
Tanpa dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yang tak pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tidak sebebas di kontrakkanku).
"Arrgh.. uh.. oh... yessss... oh... ah.. great... baby..." saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke dalam kewanitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon untuk kusetubuhi dengan kelelelakianku.
"Please Adi... setubuhi aku.. ayo.... ah...." tapi aku tidak melakukannya, justru aku segera melumat kewanitaannya dengan lidahku. Karena kedua tangannya masih terikat dia tidak bisa memegang kepalaku untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan di kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam... dan dalam...
"Aaaaaaaaargh!... argh....oh yesssssssssssssssss!" Kuhisap, kulumat dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Rian. Benar, mungkin karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu, semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang kewanitaannya.
"Oh yesssssssss!... arghhhhhh!" dia tak bisa bebas meronta, hanya panggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin dalam.
Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga aku terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia lalu jongkok di atas wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan akupun bisa memainkan lidahku di kewanitannya.
"Ahh.. uh... ah..." begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya. Kedua bukit indahnya yang menggantung segera kuremas dan kupilin keras.
"Auw...." Jerit kecilnya saat aku memilin putiknya terlalu keras.
Tania semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan kewanitaannya agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu yang bersamaan kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan.
"Aaargh... oh YESSSSSSSSS!" lava yang begitu deras keluar dari kelelakianku, segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa... Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta hingga pagi menjelang.
***
Sudah hampir dua minggu ini Tania tinggal bersamaku. Selama itu pula erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi sesuatu yang biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi, siang dan setiap malam.
Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat menjadi 'ranjang' kami (tentunya saat Rian pergi). Rian sudah terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya.
Rian pun hanya menggerutu, "Huh... jadi kambing congek nih..." Lalu kamipun hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang kami segera masuk kamar.
Biasanya Tania masih sempat menggoda Rian dengan kenakalannya.
"Hey... jangan pengin lho?"
”Huh cah edan!" sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya: "Tereaknya jangan kenceng-kenceng!" lalu erangan-erangan hasratpun kembali menguak di antara keringat-keringat kami.
Hari-haripun berlalu demikian indahnya.
Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
"Mau ke mana, Tan...?"
"Pulang," jawabnya pendek.
"Teman-teman udah balik?"
Dia hanya menggeleng. "Besok Josh pulang!"
Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan situasi ini.
"Tinggallah bersamaku," pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di dalamnya.
Perempuan itu menggelengkan kepala. "Tidak. Josh akan marah kalau ke rumah aku nggak ada."
Josh, lagi-lagi Josh! Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak puaskah dia dengan cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan kemarahanku. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat. Diapun mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku meninggi.
"Tidak! Kau harus tinggal!" melihat perempuan itu tetap menggeleng aku semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi milikku, selamanya!
Dan keluarlah kalimatku yang kusesali hingga saat ini: "Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Tan!"
Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana pendeknya sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kusetubuhi perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Tania berteriak kesakitan karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan dengan sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tidak pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.
"Oh..jangan..." Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras dari kedua mata indahnya. Ya... Tuhan Apa yang telah kuperbuat terhadap perempuan yang sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa berkata sepatahpun dia segera meberei tubuhnya dan sambil membawa bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di tengah guyuran hujan yang turun dengan tiba-tiba, menjadi saat terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ....
Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke kos-nya, tapi hanya pembantu kosnya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan lainnya. Tania... aku hanya minta maaf.
Di hari wisudanyapun ternyata dia tidak datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku.
Hingga suatu siang ada suara mengetuk. Taniakah? Begitu kubuka ternyata Josh. Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di mukaku.
Josh hanya berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat, "Goblok! Kamu hampir memilikinya, tapi kamu sendiri yang merusaknya."
Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Tania!
"Josh-ku sayang... Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku ini. Josh, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang ingin kuberikan seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tidak menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku...
Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Adi (Ah alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan Adi). Aku juga menginginkan hidup bersamanya. Dan itu tidak adil bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yang tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya. Hampir saja kuputuskan untuk hidup bersamanya.
Tapi ternyata rasa cintanya begitu 'menyesak'kan ruangku. Akupun tidak bisa hidup dengan cara itu. Josh, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini. Aku mencintaimu selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu Adi, tolong katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak bisa merasakan perasaanku kepadanya... just take care of yourself. Tania."
Aku hanya termangu.
Catatan: Dua tahun kemudian, Rian pernah melihatnya di bandara Changi. Tania bersama seorang anak perempuan usianya sekitar hampir dua tahunan. Mereka sendirian sambil menunggu pesawat ke Paris. Aku begitu gemetar mendengarnya. Aku tidak berani memikirkan segala kemungkinan...
END
END