Cerita Sex "Ngentot Cewek Cantik"

Bookmark and Share
Cerita Sex "Ngentot Cewek Cantik" - Setelah kepergian Jay, Ray mendapat partner baru bernama Moogie, seorang wanita yang bagi Ray hanya menyusahkan saja. Tapi seiring berjalannya waktu, Ray dan Moogie semakin akrab, bahkan belakangan mereka memasuki tahap hubungan yang lebih intim.


Semua masalah berawal di bandara Juanda, 15 Juni 2001

“Hey, no tears, Maan,” ucapnya seraya merangkulku sekali lagi. Ah, mungkin ini yang sering disebutkan oleh orang-orang sebagai perpisahan yang memilukan.
“Tears nenekmu,” umpatku sambil tertawa. Garing memang, tapi mau bagaimana lagi. Jay melepaskan rangkulannya dan menatapku. tatapan yang cukup mengingatkanku tentang setumpuk pekerjaan yang belum terselesaikan.
“Hahaha,” tawanya, “salam buat gadis-gadis.”
“Gampang-lah,” sahutku tersenyum padanya. Kutatap punggungnya saat ia melangkah memasuki ruang keberangkatan. Huh, menyebalkan. Dan aku masih punya banyak tugas untuk diselesaikan SENDIRI!!! Bagaimana mungkin aku tidak merasa sebal. Tapi mungkin inilah rasa sebal yang kularikan dari kepergian salah seorang sahabat terbaikku yang sudah melanglang buana di sudut-sudut kota bersamaku selama tiga tahun ini.
Kubalas lambaian tangannya dan bergegas meninggalkan tempat yang mulai terasa panas walau banyak TKI amatiran yang menggigil kena AC di sudut lorong. Lalu… apa yang akan terjadi sekarang?

Keesokan harinya, saat pemotretan di hotel Nv

“Kenapa sih Boss ngga pernah punya model cakep yang ngga kampungan?”
Jodi menatap ke arahku dengan pandangan khawatir, “Ssshh, jangan begitu. jaman sekarang kan susah nyari cewek yang berani pose menantang.”
“Iya, tapi jangan tukang sayur begitu dong,” tukasku sengit seraya memandangi kembali ‘orang kampung’ yang sekarang sudah sibuk sendiri membolak-balik tubuhnya di atas bangku kayu di samping kolam renang.
Jupri si tukang potret di sebelah kami tertawa ngakak, “Sudahlah, Ray. Yang penting masih ada juga kan tukang sayur yang beli tabloid kita.”
Mau tidak mau aku tertawa juga mendengar selorohannya. Mungkin kalau ada Jay di sini lebih ramai.
“Sepi ya, ngga ada Jay,” mendadak Jodi bisa membaca pikiranku.
“Ya,” anggukku kemudian. Memang kami semua merasa kecewa saat Jay menerima tawaran dari LL, perusahaan besar yang bergerak di bidang event organizer dan periklanan di Jakarta itu.
Tapi Jay kan berhak memutuskan masa depannya.
“Tapi, Ray,” Jupri menyeletuk seraya memencet tombol kamera, “katanya Pak Herman sudah menyiapkan partner kamu yang baru.”
Partner. Tentu saja. Dan itulah masalahnya.
“Sudah, Bang?”
Kami langsung menatap sebal pada wanita berbikini itu.
Bang? Emang tampang kita kaya bangku?

Di kantor, siang harinya

“Tenang, duduk dulu,” ucap Pak Herman sambil tersenyum-senyum. Dengan tidak sabar kududukkan diriku di kursi putar di depan mejanya.
“Mana, Pak?”
“Tunggu sajalah.”

Kata orang kejutan memang menyenangkan, tapi terlalu terkejut juga tidak menyenangkan. Persis yang kualami hari itu.
“Ray, kenalkan partner baru kamu, Moogie salah seorang yang terbaik dari tabloid cabang group kita,” ucap Pak Herman seperti seorang salesman kosmetik, “Moogie, ini Ray, yang terbaik dan yang terbengal yang pernah kita miliki.”

Kubalik tubuhku dan yah, hanya bisa mengangakan mulutku lebar-lebar saat gadis berambut cepak itu mengangkat tangannya dan membentuk huruf V dengan jemarinya.
“Loh, kok cewek?” pertanyaan pertama yang keluar dari bibirku sebagai reflek keterkejutanku. Gadis itu menatapku dengan matanya yang entah bagaimana terlihat aneh.
“Memang kenapa kalau cewek? Ngga boleh?”
“Hah? Loh… loh… tunggu,” ucapku terbata-bata.
“Sudah-sudah,” potong Pak Herman, “sekarang saya pingin kalian keluar dari ruangan saya. Soalnya sebentar lagi tukang pijat mau datang, dan kalian masih punya kewajiban untuk diselesaikan.”

Cewek? CEWEK??!!?

“Hey, kamu dengar ngga sih?”
“Iya-iya,” dengan malas kuangkat kepalaku dan menatap gadis itu, “aku dengar kok, tentang bagaimana kamu begini… lalu begitu…..”
Kuucapkan satu demi satu setiap kata yang semenit lalu diucapkannya. Gadis itu menatapku seperti melihat alien. “Gila, memang kamu wartawan tulen.” Hanya itu, sebelum gadis itu kembali nyerocos tentang cerita kehidupannya.

Lima menit kemudian kepalaku sudah pusing lagi. Segera kututup novel Omerta yang semalam masih bisa kunikmati dan menatap ke arah gadis yang langsung terkejut itu. “Sudah?”
“Eh,” ucap gadis itu, “kalau kamu sudahan ya udah.”
“Bagus.”
“Tapi……”
“Duuuuhhhh,” erangku gusar lalu bangkit berdiri dan menuju lemari arsip di sebelah dispenser. Seperti yang sudah kuduga, gadis itu mengikutiku.
“Akhirnya pekerjaan,” ucapnya dengan suara nyaring seolah baru mendapat hadiah ulang tahun, “kupikir kita akan berkarat di sini.”
“Nih,” ucapku seraya mengeluarkan sebuah map berwarna kelabu. Moogie mengambil map itu dan mulai membukanya di atas meja.
“Apaan nih?”
“Itu kerjaan kita nanti malam.”
“Dugem?” desahnya sambil mengerutkan alis.
“Iya,” ucapku kasar lalu menyalakan rokok di bibirku. “Dugem. Kenapa? Anak mama ngga boleh keluar malam yah?”
Di luar dugaan Moogie hanya diam saja.

Malamnya, aku jadi keledai dungu….

“Iya, Tante,” ucapku dengan senyum termanisku, “ngga sampai malem kok.”
Wanita setengah baya itu memandangku dengan penuh selidik, apalagi kalau bukan mengira-ngira berapa meter rambutku dan menduga-duga jumlah tatoo di badanku, “Jam dua belas.”
Moogie bisa melihat mataku yang membelalak.
“Iya, Ma. Jam dua belas.”
“Eh?” ucapku hendak protes, tapi Moogie melirikkan matanya, “Iya Tante. Hanya sampai jam dua belas kok.”

Di jalan beberapa saat kemudian,

“Gila, mana ada dugem cuman sampe jam dua belas,” gerutuku seraya menginjak pedal gas mobil. Moogie hanya tertawa kecil. “Loh, pamitnya kan ke pesta ulang tahun.” Iya juga sih pikirku dalam hati.

“Omong-omong, Ray,” selanya kemudian, “nanti kamu ajarin aku yah apa yang harus kulakukan.” Dengan heran kupalingkan wajahku ke arahnya.
“Loh, memangnya kamu dari tabloid mana sih?”
“Klenik.”
Alamak!! Nggak nyambung amat.

Di diskotik S, salah satu yang terbesar di Surabaya,

“Ih, jangan pegangan dong, kaya pacaran aja,” tukasku saat Moogie menggandeng tanganku ketika kami berjalan menuju pintu masuk. Gadis itu langsung kelihatan menciut dan memasang wajah penuh penyesalan.
“Kan aku belum pernah ke sini, Ray.”
Sinting! Kapan lagi coba aku jadi babby-sitter. Tak ingin berdebat lebih lama, kugamit tangannya dan setengah menyeret ke pintu masuk.

“Loh, Ray, kok sorean?” tanya bapak bertubuh tinggi besar yang berdiri di depan pintu masuk, “bawa cewek lagi. Gebetan kamu ya?”
Dengan wajah gusar kutatap bapak itu, “Ngga, Pak. Ini adik saya.”
Moogie langsung cekikikan.
Bapak itu mempersilahkan kami masuk tanpa bayar.
Lha wong langganan tetap sejak 1997.

“Nah,” ucapku sesampainya di dalam, “kamu tunggu saja di sini dan amati saja perilaku orang-orang di sini. Target kita adalah orang-orang yang menjajakan narkoba. Tapi kamu harus hati-hati, soalnya di sini kan gelap, jadi kamu pasang telinga baik-baik kalau ada seseorang menawarkan kamu sesuatu.”
Moogie mengangguk-anggukkan kepalanya, “Lha cuman itu doang?”
“Ngga sih,” senyumku kemudian, “enjoy-nya dong.” Kuliukkan tubuhku mengikuti irama musik yang membisingkan telinga. Moogie menutupi mulutnya dan tertawa kecil. Kulirik jam di tanganku saat Moogie tertawa dan menghela nafas melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.

Moggie memukul pundakku, “Ray!” Dengan terkejut kupalingkan wajahku menatapnya, benakku terseret dari irama musik house yang sedetik lalu masih menyusupi sarafku, “Apaan?”
Gadis itu mendekatkan bibirnya ke kupingku, “Aku mau pipis.”
“Duh,” helaku gusar lalu menyeret gadis itu melewati kerumunan orang-orang.

Dengan sabar kutunggu gadis itu keluar dari toilet. saat itulah seorang pemuda dengan rambut botak dan baju serampangan menghampiriku dan membisikkan kata-kata ajaib yang sudah kutunggu-tunggu.
“Enam lima?”
“Empat lima,” sahutku lirih.
Si Botak menghela nafasnya, “Lima puluh.”
“Di luar?” senyumku padanya. Mendadak aku jadi lupa bahwa aku tidak sendirian ke situ. Si botak melangkah ke luar toilet dan menghampiri beberapa orang yang bergoyang di sudut gelap, sebelum menghampiriku.
“Nih,” ucapnya seraya meletakkan di tanganku sebutir obat yang berdiameter satu senti. Lumayan.
“Wawancaranya?”
Si Botak langsung pasang wajah terkejut lalu berusaha mengambil lagi barang yang barusan dimasukkannya ke tanganku, “Polisi?” Kulihat beberapa orang di sudut gelap itu mulai menghampiri kami. Dengan masih tersenyum kugelengkan kepalaku, “Wartawan.” Si Botak melirik gelisah.
“Ada apa, Zir?” tanya salah seorang yang berambut karatan.
“Ada apa, Ray?” mendadak Moogie sudah di belakangku.

Dalam perjalanan pulang,

“Gila, Ray. Kamu berani sekali,” Moogie menatap kaset kecil di jepitan jemarinya.
“Part of the job,” jawabku singkat. Sebenarnya malam ini aku beruntung sekali, dari target lima sampai enam orang, aku malah mendapat tujuh narasumber.
“Tapi aku jadi heran, Ray.”
“Kenapa?”
“Kok ngga ada bagian sensualnya?”
Dengan tertawa terbahak-bahak kupalingkan wajahku menatap gadis itu.
“Yang ini liputan khusus non seksual.”
“Oh, begitu ya?”
“Kecuali…..”
Moogie menatapku dan menunggu akhir kata-kataku, “Kecuali?”
“Hehehe,” dengan kekeh nakal kupalingkan lagi wajahku menatap jalan raya, “kecuali….. kalau kamu ngga pulang jam dua belas dan kamu pakai baju seksi, yang ngga pakai lengan dan rok mini ketat.”
“Kok begitu?”
“Ngga tau. Iseng saja ngomong begitu. Hayo, kamu ngeres, ya?”
Gadis itu lengsung berteriak gusar dan meninju lenganku.
“Kamu itu yang jorok!”
Ternyata selama perjalanan pulang kami sudah bisa mengakrabkan diri.

Kantor, keesokan siangnya

“Jadi udah dapat apanya?”
“Nenek elo dapet semangka,” ucapku dengan tertawa.
Jodi langsung keki, “Nenek gua udah tewas.”
Jupri tertawa terbahak-bahak.
“Sungguhan nih, Ray.”
“Emangnya mau dapat apaan?” tanyaku kemudian setelah lelah tertawa, “Nih.”
Kedua orang itu menatap kaset kecil di atas meja.
“Bukan yang ini, bego,” ucap Jupri sesaat kemudian, “si Moogie itu.”
“Moogie? Moogie katamu?” ucapku dengan wajah misterius.
“Iya-iya,” mereka langsung pasang wajah bernafsu.
“Bibirnya,” bisikku mendesah, “lehernya… putih, bo.”
“Terus, terus?”
“Pulang dari disko, di parkiran, dia diam saja waktu kujilati belakang kupingnya. Terus tanpa dia sadarin gua buka tuh bajunya dan jilat payudaranya yang montok. Merah jambu, maan.” Jodi dan Jupri menahan nafas, “Lalu?”
“Lalu gua susupin jemari gua ke balik roknya dan dianya basah banget, bo.”
“Terus?”

“Cabuuullll!!!!”
Mendadak sesuatu mendarat di kepalaku. Jodi dan Jupri langsung tertawa terbahak-bahak. Ternyata mereka sudah tahu kalau Moogie ada di belakangku. Dengan ikut tertawa kubalik tubuhku den menghindar dari ayunan tas berikutnya. “Awas kamu, Ray,” cibir gadis itu seraya melangkah menuju kantor Pak Herman. Jodi menepuk pundakku dan berbisik, “Sikat aja, anaknya manis kok.” Jupri ikutan nyeletuk, “Iya. Toketnya gede.”
“Nenek elo bedua saling sikat.”
“Nenek gua udah tewas,” ulang Jodi dengan wajah sewot.
“Udah tau,” ucapku seraya bangkit berdiri dan ngeloyor ke ruangan Pak Herman.

Empat hari kemudian,

“Begitu ya, Mbak?” tanya Moogie pada ‘mbak’ yang sudah menyalakan lagi rokoknya itu. ‘Mbak’ itu menganggukkan kepalanya dan melanjutkan dengan suara nge-bass, “Iya. Lah kita ini kan ngga pernah minta dilahirkan jadi pria, eh, waria. Seharusnya mereka-mereka ngga berhak buat ngusir kita dari jalanan. Jangankan ngusir, ngelirik kaya ngelirik setan aja forbiden, bo.”
“Setuju, Mbak!” sahut Moogie dengan wajah serius, membuatku setengah mati menahan tawa. Beberapa saat kemudian ‘mbak’ itu mengantar kami keluar, tak lupa membungkuskan empat buah lemper yang sejam lalu dibelinya di warung depan, “Makasih ya, jarang loh ada orang mau ngobrol sama kami, kecuali yang memang sepaham.” Moogie menganggukkan kepalanya, sementara aku sibuk mengalihkan pandangan mataku dari mata si ‘mbak’ yang penuh godaan.

“Gimana, Ray? Hebat kan performaku?”
“Hebat, kaya Jialing,” ucapku sebelum tertawa. Moogie meruncingkan bibirnya dan mengalihkan wajahnya, “Kamu sih, sentimen melulu.”
“Ngga kok,” sahutku cepat, “kamu luar biasa, sampai si mas, eh, mbak itu terpesona dan berapi-api.” Moogie tertawa mendengar selorohanku.
“Ray, gua laper.”
“Mojok gih.”
“Emang mau e’e?”
“Tuh lemper.”
“Ngga kenyang.”
“Tambah ban serep.”
“Lapeeerrrr!!!!”
Sampai akhirnya aku terpaksa menepikan mobilku, menelusuri trotoar untuk mencari warung pecel Madiun, seperti yang diminta tuan puteri. Wanita memang menyusahkan. Mungkin itu sebabnya aku tak pernah mau terikat dengan satu wanitapun dalam hidupku.

Keesokan malamnya,

“Asik, ya,” seru Moogie padaku menyela musik hingar-bingar dan teriakan vokalis di bawah kami. Dengan tersenyum kuanggukkan kepalaku. Senyum sebal, sebab tadi di depan pintu masuk Mirzha dan Greg sempat menatapku dengan heran. Bagaimana tidak heran? Jam sembilan ke Cafe Pink? Untungnya, dengan alasan pekerjaan akhirnya aku terlepas dari berjuta pertanyaan dan gelak tawa.

“Ray!” Kubalikkan tubuhku dan menatap ke arah suara di belakangku. Upay berlari dan memelukku, sebelum mencium kedua pipiku, “Gimana kabarnya?”
“Masih hidup, ngapain kamu di sini jam segini?” sahutku tertawa.
“Ditelepon anak-anak, katanya ada orang aneh datang.”
Langsung tawaku meledak. Tawa sebal, apalagi.
“Siapa nih?” tanya Upay ketika melihat Moogie di sebelahku yang juga menatapnya. Moogie mengulurkan tangannya, “Moogie.”
“Upay,” sahut Upay dengan senyum mengembang, “Ray, gebetan kamu boleh juga kali ini.”
“Enak saja,” ucapku ketus, “dia ini yang menggantikan Jay di kantor. Aku cuman bawa dia ke sini untuk ngenalin yang namanya ‘tempat kerja’.”
“Oh, iya, bagaimana kabarnya Jay?”
“Entahlah,” nadaku terdengar lesu, “sudah lupa kali ya?”
“Aku kok dicuekin?” Moogie terdengar memprotes. Upay langsung tertawa.
“Ray, aku pinjam dulu yah.”
Dengan tertawa kuanggukkan kepalaku. Upay langsung menyeret Moogie menghilang dibalik kerumunan manusia.

“Jadi Jay ngga kembali lagi?” tanya Dedy padaku sejam kemudian di bar. Dengan mengangkat bahu kunyalakan rokok di bibirku, “Mungkin tidak.”
“Sayang sekali. Ngga ada yang ngeramein bar.”
“Ngga ada yang dikerjain maksudmu.”
Dedy tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha. Eh, itu gebetan kamu datang.”
Kupalingkan wajahku dan melihat Moogie menghampiri bersama Upay.
“Upay!” seruku gusar saat melihat wajah Moogie yang kemerahan.
“Nyantai aja dech,” ucap Upay seraya mengedipkan matanya. Moogie tertawa kecil dan mengambil kursi di sebelahku.
“Kamu minum apa di bawah?”
Moogie menatap Upay yang mengedipkan matanya, “Ngga ada?”
“Kok begitu?” ucapku gusar lalu melirik Upay.
“Singapore Sling dan Gin Tonik. Tapi bukan aku yang nyampur loh, Ray. Tanyain sama bartender yang di bawah.”
Ya ampun!!

Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas saat aku memegangi lengan Moogie dan membukakan pintu mobil. Moogie tersenyum-senyum dan mendudukkan dirinya, seolah tidak merasakan apapun. Dengan menggelengkan kepala kutatap Upay yang masih sibuk menggaruk kepalanya.
“Lihat nih,” ucapku sebal, “bagaimanaku harus bilang sama orang tuanya?”
“Ya buat dia sadar dulu,” desis Upay lirih sambil tersenyum misterius.
“Hhhh,” desahku lalu melangkah menuju ke sisi lain mobil, “aku pulang.”
“Daahh,” seru Upay sebelum aku masuk, “salam buat Moogie kalau dia sadar.”
Kalau dia sadar.

Dalam perjalan pulang,

“Kamu marah ya, Ray?”
“Nggak,” jawabku pendek, lebih mengkonsentrasikan benakku ke jalan.
“Marah.”
“Nggak.
“Maraaaahhh! Keliatan kok.”
“Ngga tuh, ngga ngerasa.”
Mendadak Moogie menarik pipiku, “Nih supaya ngga marah.”
“Aduh,” seruku gusar dan menggelengkan kepalaku lalu menatapnya. Gadis itu menekuk tubuhnya dan memandang dengan gaya tak bersalah, “Tuh, marah kan?”
Entah apa yang kurasakan saat itu, akupun tak tahu. Mendadak kutarik setir mobil dan menepikan mobilku.
“Ray? Ada apa?” tanya gadis itu menegakkan tubuhnya.
“Ada ini,” ucapku pendek seraya memiringkan tubuhku dan mengecup bibirnya.
“Mmhhh,” gadis itu melenguh saat bibirku menyentuh bibirnya. Sejenak bisa kurasakan otot-otot pundak yang kusentuh melemas. Hanya sekejap, sebelum otot-otot itu mengencang kembali. Moogie menyentakkan tubuhku.
“Ray. Apaan sih!”
“Pingin nge-sun aja.”
“Kurang ajar.” Wajah gadis itu terlihat serius dan…..gusar?
Dengan tertawa kuinjak pedal gas dan membiarkan mobilku melaju perlahan di jalanan yang mulai sedikit sepi. Kubiarkan keheningan menyela diantara kami. Menunggu sepatah pertanyaan….

“Maksud kamu tadi apa?” Nah, betul juga kan.
“Ngga apa-apa, pingin nge-sun aja. Aku kan sudah bilang tadi.”
“Kan ada alasannya.”
“Kenapa?” tanyaku meliriknya, “Kamu suka?”
“Gila apa?” sergah gadis itu. Kulirik dari spion penumpang, gadis itu meraba-raba bibirnya dengan pandangan keluar jendela.
“Aku salah?” tanyaku beberapa saat kemudian.
“Ngga salah lagi. Kamu kurang ajar.”
“Kamu tahu kenapa?”
Moogie diam saja. Kuputar lagi setir mobil dan berhenti. Moogie langsung memiringkan tubuhnya menghadapku, “Apa!”
Dengan tertawa kutatap wajahnya, “Karena kamu mabuk, dan karena kamu menggemaskan.” Moogie terlihat kehabisan kata-kata.
“Aku ngga mabuk.”
“Iya kamu mabuk,” tawaku, “mau bukti?”
Moogie menatapku. Dasar yang namanya gadis, kalau sudah kena perangkap ngga bisa mikir, “Apa coba?”
“Nih,” setengah memaksa kudorong tubuhku ke arahnya dan melumat bibirnya sekali lagi. Moogie mencoba menahan tubuhku dengan kedua tangannya. Kembali kurasa tubuhnya melemas sesaat, lima detik matanya terpejam sebelum ototnya kembali mengencang, mendorongku kasar dan menampar.
“Hey,” seruku seraya menghindari ayunan tangannya. Dengan tersenyum kutatap matanya yang mulai berkaca-kaca, “kamu belum pernah dicium?”
Mendadak kulihat air mata mengalir di pipinya. Moogie menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Berarti belum. Hati-hati kucondongkan lagi tubuhku dan menarik kedua lengannya membuka.
“Jangan menangis ah, nanti kalau ketahuan mamamu bisa berabe.”
Moogie masih menggosok-gosok kedua matanya. Dengan tertawa kecil kutundukkan kepalaku dan kembali menempelkan bibirku di bibirnya.
Moogie mengeluh sesaat, tubuhnya mengejang sebelum akhirnya melemas dalam dekapanku. Kukulum bibirnya lembut, membiarkan lidahku menjelajahi rongga-rongga mulutnya. Kurasakan tubuh gadis itu bergetar dan matanya tetap terpejam. Aku? Tentu saja buka mata, lagipula kan ekspresi wanita saat dicium itu merupakan sebuah pemandangan yang menurutku menyenangkan.
Kubiarkan gadis itu terlena selama kurang lebih dua menit dalam dekapan dan kuluman bibirku, sebelum kuangkat lenganku dan menyentuh kulit lehernya. Kubelai dan kupijat lembut lehernya, perlahan dengan penuh kehangatan. Kuraba dengan jemariku, dari telinga, dagu, sampai ke batas kerah kaus ketat yang dikenakannya. “Ray,” desah gadis itu saat jemari telunjukku menyusup masuk dan menekan permukaan payudaranya yang terasa mengeras.
“Ssshhh,” desahku, “nikmatin aja.” Kukeluarkan jariku dan mengangkat kedua lengan gadis itu, melingkarkannya di leherku. Kembali kubuat gadis itu memejamkan matanya dengan kembali melumat bibirnya. Perlahan kuletakkan telapak tanganku di perutnya, memijat halus dan merangsak mencari tepian bajunya. Tubuh gadis itu bergetar saat telapak tanganku menyusup ke balik bajunya dan meraba kulit perutnya.
“Sudah, Ray,” desahnya lirih.
“Belum,” desahku balik di bibirnya.
Kutelusuri kulit perutnya dengan jemariku dan perlahan menuju payudaranya yang masih terbalut bra kain. Moogie mendesah saat kutangkupkan jemariku di payudaranya dan memijatnya halus. Kutekan perlahan dan kulepaskan, seolah sedang membuat adonan kue. Moogie mendesah berulang-ulang, rangkulannya di leherku mengencang. Kuturunkan bibirku dan menjilati lehernya, gadis itu menggelinjang. Kuangkat tepi bawah bajunya dan merogoh kaitan bra di punggungnya.
Moogie seperti tersentak saat kulepaskan pengait bra-nya.
“Sudah, Ray,” desahnya dengan nada lirih dan panik. Moogie mencoba meronta, tapi segera kulumat bibirnya, “Please.” Mana tahan dia kalau didesah seperti itu.
Dengan lembut kususupkan jemariku ke balik bra-nya yang sudah longgar. Moogie menggerakkan tubuhnya sedikit ketika jemariku menyentuh puting payudaranya yang sudah mengeras. “Hhhhhh,” Moogie mendesah panjang sementara matanya mulai berkerut. Kulepaskan bibirku dan menundukkan tubuhku, memperhatikan bentuk payudara gadis itu dengan seksama. Besar, mungkin tiga puluh enam B. Kupejamkan mataku dan menutup puting susunya dengan bibirku, membuat gadis itu menggelinjang. Dengan tangan kiriku kutarik sisi kiri bajunya sehingga memperlihatkan kesemua payudaranya. Bergantian kukecupi puting susunya, sementara Moogie mendesah tak karuan.
Setelah merasa puas, kuangkat tubuhku dan membetulkan kembali letak bra dan bajunya. kukecup bibir gadis itu dan Moogie membuka matanya.
Perlahan air mata menetes di pipinya, “Apa itu tadi, Ray?” Suaranya bergetar.
“Karena kamu begitu menggemaskan,” senyumku dan kembali mengecup bibirnya. Kutarik tubuh gadis itu dan memeluknya. Moogie menyusupkan kepalanya ke dadaku dan terisak. Aku sampai sekarang tidak pernah mengerti mengapa gadis-gadis selalu terisak saat seorang pemuda pertama kali menyentuh mereka. Aneh, ya?

“Ray?” sela gadis itu setelah aku mengantarnya ke depan pintu.
“Ya?” tanyaku sambil tetap memasang senyum di wajahku.
“Cuman begitu saja?”
Kutundukkan kepalaku dan tertawa, “Ya kamu tebak sendirilah artinya apa.”
Lalu kuangkat kepalaku dan mengecup bibirnya. Moogie tidak menolak. Menyenangkan membiarkan gadis itu hanyut dalam kesimpulannya sendiri. Aku tidak berjanji apa-apa, bukan?

Lusanya di kantor,

“Kamu mau kopi?” tanya Moogie kepadaku. Kuanggukkan kepalaku. Gadis itu tersenyum lalu bangkit menuju dispenser. Jodi mendekatiku dan berbisik,
“Eh, kau apain tuh si Moogie, kok kalian jadi mesra amat?”
Dengan tersenyum kuangkat bahuku, “Mana kutahu?”
“Dasar,” umpat Jodi lalu kembali ke mejanya saat Moogie kembali dengan secangkir kopi. “Thanks,” ucapku padanya. Moogie tersenyum dan duduk di sebelahku. Perlahan gadis itu mengangkat lengannya dan menyusupkannya ke lenganku. Hangat. Tapi memang begitu seharusnya, kalau seorang gadis menganggapmu pacarnya. Tul ngga?
“Ehm, ehm,” mendadak suara Pak Herman terdengar di belakang kami. Moogie langsung menarik lengannya dan membuka-buka lembaran editing di hadapannya. Dengan tersenyum simpul kubalikkan wajahku menatap Pak Herman yang menggelengkan kepalanya. “Sini, Ray,” ucap si Boss seraya menuju ke ruang kantornya. Dengan menggaruk kepala kuangkat tubuhku dan mengikutinya.

“Jadi kamu apain anak itu?”
“Wah, saya ngga ngapa-ngapain kok, Bos,” ucapku dengan wajah tak bersalah.
“Masa? Ngaku aja deh,” ucap Pak Herman dengan melirik tajam.
“Hehehe,” tawaku iseng seraya menggaruk lagi kepalaku, “yang namanya cinta.”
“Aduh,” Pak Herman menepuk kepalanya, “aku sudah menduga hal ini akan terjadi.”
“Lha ya salahnya siapa loh, Bos?” tanyaku membela diri.
“Ingat, Ray. Be profesional.”
“Iya. Saya tahu.”
Masa?

Dua hari yang lalu, 26 Juni 2001

“Ach,” Moogie menggelinjang saat kugigit pahanya. Gadis itu tertawa melihat senyuman di bibirku, “nakal.” Dengan tertawa kuangkat kakinya dan menjilat belakang lututnya. Moogie berusaha mengangkat punggungnya dn menggapai rambutku, “Geli, Ray.”
“Hehehe,” sambil tetap tertawa kuletakkan kakinya kembali dan mengecupi pahanya sampai ke bagian celana dalamnya yang berwarna biru muda. Moogie menjerit lirih saat kugigit lembut kain yang menutupi kemaluannya. Kuulurkan tanganku dan meraih buah dadanya, meremas dengan lembut.
Desahannya terhenti saat kuangkat tubuhku dan mengambil tempat di sisinya.
“Moogie,” ucapku lirih.
“Ya?” gadis itu membuka matanya dan menatapku. Kukecup bibirnya.
“Sini tanganmu.”
Gadis itu tersentak saat jemarinya menyentuh batang kemaluanku yang mengeras di balik celana dalam yang kukenakan. “Kenapa?” tanyaku sambil tetap tersenyum. Moogie melirik ke bawah dan menggumam, “Keras.”
Kontan saja aku tertawa mendengar pengakuannya yang khas anak baru tau sex.
“Masukin,” ucapku setengah memerintah. Moogie menyusupkan jemarinya ke balik celana dalamku, dan beberapa saat kemudian aku sudah mengajarkan tujuh puluh lima persen dari semua ilmu me-masturbasi cowok padanya. Tentu saja tidak termasuk ‘blow job’, mana ada lagi cewek lugu yang pertama kali diajarkan langsung mau? Hehehe

“Sekarang begini,” kuangkat tubuhku yang sudah telanjang bulat dan meraih celana dalam yang dikenakannya. “Ih, jangan,” Moogie meronta dan memegangi celana dalamnya. “Kamu ngga percaya sama aku?” tanyaku dengan wajah serius. Moogie mengerang, “Ngga gitu, Ray. Masa gini masih kurang?”
“Kurang dong,” ucapku sambil tersenyum lalu menarik paksa lagi celana dalamnya hingga aku bisa melihat kemaluannya yang tertutupi bulu-bulu lebat kehitaman.
“Hutan,” desisku sebelum tertawa terbahak-bahak. Moogie langsung bangkit berdiri dan mencari-cari celana dalamnya. Serta merta kupeluk tubuhnya dan berbisik, “Aku kan hanya bercanda.” Gadis itu mengeliat dengan bibir runcing berusaha melepaskan dirinya dari pelukanku.
Dengan tertawa kecil kutarik dagunya dan mengecup bibirnya. Kutempelkan dadaku di dadanya, merasakan puting susunya mengeras di dadaku. Moogie mengerang lirih dan dalam sekejap tubuhnya melemas. Kulumat bibirnya beberapa saat, sebelum mengulurkan tanganku dan meremas payudaranya.
Kutekan dada gadis itu dan memaksanya berbaring kembali dalam posisi terlentang. Kulumat bibirnya dengan lembut, berusaha membuat gadis itu benar benar terlena. Kunaikkan sebelah kakiku dan menindih kakinya. Moogie menggeliat saat mendadak kunaikkan tubuhku ke atas tubuhnya.
“Ach,” desisnya dengan mata membeliak, “jangan Ray. Jangan begini.”
“Kenapa,” desahku seraya menatap matanya. Perlahan kubuka kedua kakinya sekuat tenaga–karena dia menahannya–dan menempelkan batang kemaluanku vertikal di atas permukaan kemaluannya, “ngga sampai masuk, kan?”
Moogie mengeluh saat batang kemaluanku menekan permukaan liang kemaluannya. Perlahan kugerakkan pinggulku menekan-nekan. Moogie mendesah dan mengerang lirih. Kulumat bibirnya dan mengangkat pahanya ke sisi tubuhku. “Jangan, Ray.”
“Ngga kok, ngga masuk. Percaya deh,” bisikku lirih ditelinganya.
Moogie memejamkan matanya dan mengigit bibir bawahnya saat gerakan pinggulku semakin cepat menekan dan menekan lagi. Berulang-ulang sampai kurasakan sekujur tubuhku mengejang tersengat aliran listrik yang memuntahkan spermaku di atas perutnya. Moogie mendesah tak karuan berusaha mengatur nafasnya. Kuletakkan kepalaku di payudaranya dan mengecup perlahan permukaan dadanya. Kutarik lengan gadis itu dan melingkarkannya di leherku.
“Moogie,” bisikku lirih.
“Ya,” sahut gadis itu nyaris tak terdengar.
“Kamu marah?”
“Ya,” jawaban gadis itu pendek dan terdengar jujur.
“Kamu tahu sesuatu?”
Tidak ada sahutan. Gadis itu menunggu.
Kuangkat kepalaku dan mendekati telinganya.
“Kamu yang pertama kali dalam hidupku. Di mana aku berani melakukan ini dengan seorang wanita. Dan kamu tahu kenapa, karena aku benar-benar sudah menyayangi kamu. Walaupun hanya dalam waktu sekian minggu.”
“Bohong,” gadis itu masih memejamkan matanya.
Kupegang pipi gadis itu dan menolehkannya ke arahku, “Lihat mataku.”
Moogie membuka matanya. Dan kutatap matanya. Dalam. Dalam sekali, setengah mencoba menghipnotis. Beberapa saat kami saling pandang sebelum tawa meledak di antara kami.
Tawaku tawa girang.
Tawanya diiringi air mata saat kupeluk tubuhnya.
“Aku sayang kamu, Ray.”
“Hmmm?” desahku seraya mengecup ubun-ubun kepalanya.
Dan itu masih juga bukan sebuah respons positif.

Sepuluh hari? Kenapa tidak?
Hanya butuh sedikit keberanian untuk berekspresi.



Tag : Cerita Sex, Cerita Sex Dewasa, Cerita Sex Tante Girsng, Cerita Sex Terbaru, Cerita Sex Hot, Cerita Sex Cewek Cantik, Cerita Sex Paling Hot, Cerita Sex ABG Terbaru, Cerita Sex Gadis Hot, Cerita Sex Tante Tante, Cerita Sex Paling Baru, Cerita Sex Perawan, Cerita Sex Paling Hot.