Sunarti Pembantuku

Bookmark and Share
Aku bekerja disalah satu perusahaan kontraktor swasta nasional dengan posisi yang cukup baik sehingga secara finansial aku hidup berkecukupan. Sedangkan isteriku bekerja di bank swasta asing, memiliki mobil sendiri dari hasil kerjanya.

Kami bekerja dari hari Senin sampai Jumat dan setiap hari Sabtu-Minggu biasanya kami nikmati dengan berlibur ke pantai atau ke gunung yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, atau kadang-kadang menikmati kuliner yang tersebar di seantero Jakarta. 


Usiaku 29 tahun sedang isteriku 25 tahun, tapi kami belum memiliki momongan walaupun usaha mendapatkannya kami rajin lakukan setiap malam.

Hari itu hari Sabtu, aku hanya sendiri di rumah karena isteriku sejak Kamis lalu pergi ke Bali dalam rangka pertemuan kantor, rencanannya akan pulang Senin siang. Sebenarnya aku tidak sendirian sama sekali, karena masih ada pembantuku yang selalu siap membereskan urusan rumah tanggaku. Sunarti, namanya. Kami biasa memanggilnya Mbak Narti saja.

Mbak Narti usianya 35 tahun, berperawakan sedang, kulitnya putih bersih, dengan rambut hitam legam sebahu. Pinggangnya ramping, leher yang jenjang dan buah dadanya besar menantang, pantatnya agak tonggeng, kalau berjalan bergoyang-goyang mengundang birahi.

Aku nonton TV sendirian, hanya mengenakan celana boxer biru dongker tanpa CD dengan T-Shirt putih sebagaimana biasanya kalau aku sedang di rumah dan tidak ada kegiatan apa-apa. Pukul 09:00 dan aku belum mandi, bangunku memang agak siang karena tadi malam pulang kerja kemalaman akibat macet yang luar biasa.

“Tuan, sarapannya sudah saya siapkan, Tuan” terdengar suara Mbak Narti. “Oh, ya terimakasih Mbak, aku mandi dulu” jawabku, dan segera bangkit pergi kekamar mandi.

Setelah mandi, aku ganti baju dengan seragam yang sama, celana boxer putih bergaris merah dan tetap tanpa CD, atasannya T-Shirt putih. Oh, ya hampir semua T-Shirtku warnanya putih sebab tampak bersih dan sederhana. Lalu aku sarapan sambil membaca koran pagi mencari berita menarik.

Dari tempat dudukku tampak Mbak Narti sedang membersihkan kamarku dengan pintu dan jendela kamar yang dibuka lebar. Dia membungkuk merapikan sprei tempat tidurku, karena posisinya menghadap kearahku, tampak kedua buah dadanya bergoyang-goyang. Sejenak aku menghentikan suapku melihat pemandangan indah itu.

Mbak Narti mengenakan kain yang diikatkan ala kadarnya dan baju kebaya longgar yag menampakkan sedikit perutnya yang putih dan masih kencang. Mbak Narti janda tanpa anak, bercerai karena persoalan klise yaitu tak mau di madu.

Kemudian dia mulai mengepel lantai dengan tongkat pelnya. Goyang tongkat pel dibarengi dengan goyang pinggulnya yang besar ke kiri dan ke kanan.

Baru kali ini aku memperhatikan Mbak Narti bekerja! Terasa penisku panas dan menegang membayangkan yang tidak-tidak.

Selesai membersihkan kamarku, yang merupakan bagian akhir dari rutinitas paginya, Mbak Narti membereskan peralatan ngepelnya dan berkata padaku, “Tuan, permisi saya mau mandi dulu” aku menoleh, “Lho, belum mandi toh kamu, biasanya pagi-pagi sekali sudah mandi?” Dia tersenyum malu, “Maaf tuan, tadi bangun agak kesiangan, karena tidur kemalaman nungguin Tuan pulang” “Oh, begitu ya. Kita jadi sama-saa bangun kesianga.. hehehe” Mbak Narti turut tertawa geli, dan segera berlalu ke kamar mandi di belakang di sebelah gudang.

Terbayang tubuh montok Mbak Narti telanjang bulat di kamar mandi, akupun beranjak menuju ke belakang.

Gudang di sebelah kamar mandi sebenarnya tidak berisi banyak barang, ini cuma kamar kosong yang dijadikan gudang. Ada jendela kaca yang kecil antara gudag dan kamar mandi pembantu. Karena gudang jarang dimasuki, maka jendela tersebut dibiarkan saja.

Terdengar suara kran air dibuka, dan aku segera membuka pintu gudang perlahan tanpa bunyi berarti, lalu mengambil kursi tua untuk mencapai jendea kecil itu. Mula-mula tampak punggung Mbak Narti, putih dan kencang. Lalu terlihat pantatnya yang tonggeng dan besar. Dari jendela kecil itu posisi Mbak Narti terlihat menyamping, kedua buah dadanya mengacung ke depan dengan puting coklat kemerahan. Putih sekali!


Celana boxerku mendadak jadi sesak dan kepalaku jadi pusing. Apalagi sewaktu tiba-tiba Mbak Narti beranjak buang air di kloset duduk. Bukan suara deras air kencingnya yang membuatku tambah puyeng, melainkan gundukan tebal tertutup rambut tebal kemaluannya.

Sesaat kemudian dia bangkit berdiri meneruskan mandinya, hanya beberapa kemudian kran air dimatikan dan dia meraih handuk. Sewaktu mengeringkan badannya dengan handuk dia menghadap ke arah jendela kecil tempatku mengintip, aku tercekat menahan nafas. Untung dia tidak menengadahkan kepala nya ke atas sehingga tidak menyadari kalau ada yang mengintip dirinya mandi.

Mula-mula dilapnya rambut kepala, lalu turun ke leher dan kedua buah dadanya yang sekel, turun ke perut dan menggosok bagian kemaluannya, baru turun ke bawah ke bagian kaki.

Buru-buru aku keluar, masuk ke dalam rumah dan duduk di meja makan sambil mengatur napas. Tak lama Mbak Narti keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk saja karena kamarnya berseberangan dengan kamar mandi. Tanpa menoleh kanan kiri dia langsung masuk ke kamarnya. Kususul dia dan kucoba membuka pintu kamarnya yang ternyata karena buru-buru belum sempat dikunci.

Mbak Narti telah mengganti handuk yang melilit tubuhnya yang sintal, dengan kain sarung tanpa baju. Kain sarungnya menutupi sampai batas dadanya, pundaknya dan betisnya yang putih tampak jelas. Dengan kaget dia bertanya, “Oh eh ah ada apa Tuan?” Sambil berusaha menutupi dadanya yang cuma tertutup kain sarung itu.

“Anu, Mbak bias mijet enggak? Tolong pijetin saya dong, badan saya pegel-pegel nih!” jawabku agak gugup. “Oh, baik Tuan, tapi saya ganti baju dulu ya?” katanya, berharap saya keluar dulu karena dia belum ganti pakaian.

“Gak usah Mbak, disini saja. Gak lama kok”, kataku segera sambil menengkurapkan tubuhku ke tempat tidurnya.

“Ya ya Tuan, kaosnya di buka dulu Tuan” kata Mbak Narti sambil mengambil body lotion yang tersedia di kamarnya.

Aku membuka T-Shirt dan kembali tengkurap. Terasa telapak kaki kananku dipijatnya, enak rasanya geli-geli gimana gitu. “Eh, kamu kok pinter juga mijetnya Mbak?” pujiku. “Emang dulu pernah belajar ya?”

“Belajar dari ibu saya Tuan. Ibu saya tukang pijet di kampong, sampai sekaranh masih” jawabnya. “Emang umur ibu Mbak berapa?” tanyaku. “Hampir enam puluh Tuan, tapi masih kuat mijet”. Jawabnya lagi. “Oooo pantesan kamu mijetnya pinter”


Dari telapak kaki, pijatannya naik kebetis lalu ke paha dan samping luar pahaku. Perlahan penisku mulai bergerak. Ah, kok cepat benar ini penis bereaksi?

Kemudian Mbak Narti pindah memijat kaki kiriku dengan cara yan sama, mula dari telapak kaki sampai ke paha.

Setelah selesai bagian kaki, tangannya naik ke pinggangku. Diturunkannya sedikit celana boxerku cukup untuk memijat bongkahan pantatku. Pijatannya cukup keras dan aku mulai merasa tubuhku merasa lebih segar. Dari pinggang naik terus ke punggung dan kedua pundakku juga di pijatnya, begitu juga leher dan kepalaku.

Setelah agak lama memijat bagian pinggang sampai pundak, Mbak Narti menyuruhku berbalik. Aku telentangkan tubuhku, penisku sudah tegang dari tadi dan tentu saja Mbak narti mengetahui hal itu. Tapi tanpa berkomentar dia sudahmenarik tangan kiriku dan mulai meijatnya dari telapak tangan. Otomatis tanganku menumpang di atas pahanya yang hanya berlapis kain sarung. Sewaktu pijatannya beralih ke atas, jari-jari tanganku yang bebas mulai merayapi pahanya bagian atas. Mbak Narti berhenti sebentar, “Jangan Tuan, nanti gak rapi pijatannya” katanya lembut, tapi tiada nada penolakan dalam ucapannya itu.

Aku berhenti sejenak dan Mbak Narti meneruskan pijatannya ke bagian lenganku sebelah atas. Lalu kembali memijat-mijat kembali telapak tanganku, kemudian menarik jari-jariku satu persatu. Cklak.. cklak.. cklak.. cklak.. cklak. Kelima jari tangan berbunyi semua.

Ditariknya tangan kananku untuk dipijat dengan cara yang sama. Karena tempat tidurnya mepet ke dinding, maka dia mencondongkan badannya ke kiri, menaikkan kakinya lebih ke atas sehingga kain sarungnya yang kependekan tak mampu menutupi pahanya yang gempal itu.

Tangan kiriku yang kini bebas kuletakkan ke pahanya yang mulus. Tidak ada penolakan, Mbak Narti Cuma berkata lagi, “Tuan, tangannya diem dulu”


Aku terus saja membelai pahanya, bahkan makin lama makin ke atas. Sekarang sampai ke pangkal pahanya, Mbak Narti terdiam. Kucoba menyelipkan jariku ke bibir luar vaginanya. Lam-lama dia mendesis, “Ehhh.. ahhh.. ehh”

Jariku menyeruak, mencoba masuk lebih dalam, mata Mbak Narti terpejam dan kembali mendesah, “Ahh Tuan, eghh.. eghh”

Masih sempat dia menarik jari-jari tanganku dan kembali terdengar suara, “Cklak.. cklak.. cklak.. cklak.. cklak”

Lalu dia mulai memijat dadaku dengan gerakan memutar, terasa putingku mengeras dan getaran halus merambat ke penisku. Aku semakin bernafsu mengobok vaginanya dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiriku. Desahan Mbak Narti membuat aku tak tahan, bangkit mencium bibirnya. Mula-mula dia agak membrontak tapi lama kelamaan dia mulai membalas pagutanku. Kulepaskan kain sarungnya sehingga terpampanglah kedua buah dadanya yang putih dan kencang itu. Kucium perlahan buah dada kirinya, lalu kuhisap putingnya. “Ohhh ohhh ohhh Tuan” desahnya makin keras. Kedua buah dadanya kucium dan kuhisap-hisap bergantian, sementara jari tanganku tetap bermain dengan vaginanya. Mbak Narti tak tahan, dia menjambak rambutku dan menekankannya ke dadanya.

Kini kainnya tinggal tersangkut di pinggangnya, buah dada dan vaginanya sudah tidak tertutup lagi. Kukeluar-masukkan dua jari tanganku, makin lama makin kencang berbareng dengan desah napas Mbak Narti, “Oh ah uh”

Makin lama desahannya makin cepat, badannya tiba-tiba bergetar dan gerakannya terhenti, “Ohhh.. Tuan, kkkeluarrr!” Tubuhnya mengejang dan degup jantungnya jadi tak beraturan. Semburan cairan hangat membasahi ke dua jariku bahkan turun sampai ke telapak tanganku. Mbak Narti rebah di dadaku tanpa suara.

Aku memeluknya erat sambil kembali mengecup, menjilat dan menghisap ke dua buah dadanya bergantian.

Setelah agak reda, kusuruh dia menunggangiku. Lalu memasukkan penisku yang sudah amat keras ke dalam vaginanya yang basah. Kugoyang-goyang kepala penisku di bibir vaginanya, pelan-pelan kutancapkan penisku ke dalam vaginanya. Bles.. dan Mbak Narti berteriak, “Aw aw aw Tuan, pelan-pelan dong”

Pinggulku bergoyang dengan penis tertanam dalam di vaginanya. Rangsangan ini membangkitkan gairahnya lagi dan dia mulai bergoyang turun-naik. Aku merasakan sensasi yang tiada bandingannya. Vaginanya menjepit erat penisku, seperti dipijat-pijat.

Dalam posisi WOT ini biasanya perempuan lebih cepat keluar. Dan benar saja, tak lama Mbak Narti menjerit, “Woah, aku keluar lagi Tuan!” Kembali tubuhnya menjadi kejang, vaginanya berkedut cepat, lahar panas kembali menyembur dan kali ini penisku dibanjirinya.

Aku membalikkan tubuhnya, mengangkat sebelah kakinya keatas dan menggenjot vaginanya dari samping. Cepat makin cepat dan semakin cepat, lau crot.. croot.. crooot.. croot.. crot air maniku kusemprot ke dalam vaginanya. Kami berdekapan erat.

Sejurus kemudian aku bangkit sambil berkata, “Terimakasih ya Mbak? Sudah memberikan yang enak buat saya!” Dia balik berkata, “Saya terimakasih juga Tuan, rasanya enak bangeeet” Sambil bercanda aku menggodanya, “Mana enak dengan duren jatohan Mbak?” Dia tertawa, “Wah, enakan dijatohin Tuan.. hehe”

“Kapan-kapan pijat saya lagi ya Mbak?” kataku. “Pijet apa mijet, Tuan” godanya. “Yah, dua-duanya deh!” jawabku sekenanya.

Sebenarnya aku penggemar duren, tapi kali ini aku puas dengan “duren” Mbak Narti yang bisa belah sendiri.

TAMAT