Aan valentinku - 4

Bookmark and Share

Pertempuran pertama pun dimulai di ruang tamu. Aan dan saya sudah bertelanjang bulat dengan penis ngaceng. Duduk dengan santai, Aan sengaja mengencang-ngencangkan penisnya sehingga batang itu nampak berkedut-kedut dengan liar. Precum yang dilelehkan keluar terperangkap dalam kondom. Dengan lembut, Aan menolongku duduk di atas batangnya. Mula-mula terasa sulit karena batang Aan tak pernah gol. Tapi setelah lubangku ditemukan, batang itu langsung menghunjam masuk.


Bleess..


"Aahh.." desahku, wajahku agak meringis, sakit bercampur nikmat.


Segurat kekhawatiran nampak di wajah Aan. Tapi karena saya sudah mulai melenguh-lenguh dengan nimat, Aan mulai mempenetrasiku. Penisnya yang perkasa itu pun mulai bergerak masuk lebih dalam.


"Aarggh.." desahnya, napasnya tersembur ke wajahku.


Namun, dengan cepat, batangnya dimundurkan keluar. Lalu dimasukkan kembali, begitu seterusnya, dengan ritme tetap dan mantap. Batang kelaki-lakiannya membawa sejuta kenikmatan yang tak terkatakan. Dengan bentuk penisnya yang agak bengkok, secara anatomi, prostatku jarang tersentuh. Untuk merangsangnya, Aan harus memiringkan tubuhnya agar penisnya dapat menyapa prostatku. Tapi dalam anus terdapat berjuta-juta sel syaraf. Jika mereka terangsang, kenikmatan tetap akan datang. Dan itulah yang sedang kualami.


"Oohh.. Aan.. Enak banget.. Oohh.. I love you.. Aahahh.. Fuck me.. Aarrgghh.."


Saya berusaha meringankan tubuhku agar Aan dapat lebih mudah dan leluasa memasuki tubuhku. Dengan kedua tangannya yang kuat, Aan mengangkat dan menurunkan tubuhku. Dua keuntungan sekaligus: melatih otot dan kenikmatan seksual. Napsnya terdengar semakin berat saat rasa letih mulai mendatanginya.


Namun nafsunya tetap berkobar dan Aan tetap semangat bersetubuh denganku. Kami berdua seperti sepasang bintang porno homoseksual yang terbakar libido. Kami mengerang dan saling berciuman, tangan kami meraba-raba, dunia serasa milik kami berdua saja.


"Aarrgghh.. Oohh.." desah Aan, matanya terpejam sementara bibirnya asyik menciumiku.


Eranganku tak kalah hebat dibanding erangannya.


"Oohh.. Yyeeaahh.. Aan.. Fuck me.. Oohh.. Fuck.. Aarrgghh.."


Bibir kami saling berpagutan seperti ular dan tangan kami sibuk meremas dan meraba. Semakin saya menyemangatinya, semakin Aan bernafsu. Oh, dia memang sungguh jantan! Tubuh kami berguncang-guncang mengikuti irama persetubuhannya. Akal sehat kami hilang dan yang tersisa hanyalah hasrat untuk saling memuaskan dan untuk dipuaskan. Penisku basah dan licin dengan precum. Sebagian mengenai dada Aan yang padat berisi; sebagian dengan otot dan sisanya dengan lemak. Dadanya begitu enak untuk diremas-remas.


Kebetulan dada adalah bagian yang paling kusuka dari seorang pria, apalagi yang berisi. Kedua puting Aan yang agak lebar dan berwarna kecoklatan juga tak luput kumainkan. Dari semua pria yang pernah meniduriku, Aan-lah yang paling kusuka. Tiba-tiba, Aan bangkit dari sofa. Kaget, saya berpegangan erat-erat pada tubuhnya. Kedua tanganku kulingkarkan di lehernya dan kedua kakiku pada pinggangnya. Saat sudah berdiri dengan sempurna, meski agak kepayahan karena harus mengangkat tubuhku, Aan mulai melakukan penetrasi. Pinggulnya mulai bekerja, maju-mundur. Alhasil penisnya pun juga ikut bergerak masuk dan keluar. Kami berdua serentak mendesah-desah akibat rasa nikmat yang kami dapatkan.


"Aarrgghh.. Hhoohh.. Uugghh.. Aahh.."


Tangan Aan dengan kuat memegangi tubuhku. Kurasakan otot-ototnya berkontraksi dengan hebat, sungguh macho. Terus-menerus kuerangkan namanya.


"Aan.. Oohh.. Aan.."


Meski gaya penetrasi ini asyik, tapi butuh banyak tenaga sehingga Aan dan saya langsung lemas. Akhirnya kami putuskan untuk mengganti gaya. Saat Aan mencabut penisnya dengan perlahan, saya mendesah-desah, menikmatinya. PLOP! Batang kejantanannya sudah tercabut keluar. Wajah Aan nampak cemas melihat kondomnya yang agak kemerahan.


"Sayang? Kamu berdarah?" Kugeleng-gelengkan kepalaku.


"Tidak, kok. Kalo berdarah, pasti sakit. Sedangkan saya gak merasa sakit sama sekali. Malahan enak banget." Kucoba untuk menenangkannya.


"Tapi tadi mukamu meringis-ringis kesakitan. Saya jadi takut."


Aan-ku yang baik memang sangat perhatian. Dia tak mau melukaiku dengan batangnya. Saya yakin, jika saya benar-benar terluka pada saat itu, Aan pasti akan lebih memilih untuk tidak melanjutkan persetubuhan sejenis yang belum usai.


"Saya meringis bukan karena sakit, tapi karena nikmat. Enaknya tak terkira. Dan soal bercak kemerahan itu, mungkin aja 'ee'-ku. Sudahlah, sayang. Jangan khawatir. Saya gak 'Pa-Pa, kok."


Kucium bibirnya yang seksi itu dan kami pun kembali terkunci dalam ciuman maut. Selain kepribadiannya yang baik, wajahnya yang rupawan, dan dadanya yang berisi, saya sangat tertarik apda bibirnya. Bibir Aan agak tebal dan seksi. Tebal di sini bukan berarti dower seperti Mandra. Tapi tebalnya bibir Aan itu proposional dan enak untuk dicium. Bibirnya mengingatkanku pada bibir salah satu kontestan pria Indonesian Idol.


Menurutku sih, bibir Aan agak mirip dengan bibir milik Lucky Octavian. Dan nampaknya Aan juga berpikir demikian. Saya sering tersenyum sendiri bila memikirkan hal itu. Mungkin karena itulah, dari semua peserta, saya paling suka dengan Lucky. Tapi bagaimana pun juga, Aan jauh lebih tampan daripada Lucky.


Persenggamaan kami berlanjut di kamar tidur. Saat itu adalah saat pertama kalinya Aan dan saya bercinta di atas ranjangku. Bagiku, hal itu penting sekali karena saya merasa seolah-olah sedang menjalani malam pertamaku dengannya. Dengan pasrah, dan tentunya bahagia, saya berbaring telentang di ranjang. Sebuah guling diselipkan Aan di bawah punggungku. Tanpa ragu, kubuka selangkanganku. Dan tereksposlah lubang anusku yang berkedut-kedut. Sisa-sisa lotion masih melekat di daerah pantatku, namun Aan mengoleskan lagi sejumlah lotion. Setelah semuanya siap, Aan mulai memasuki tubuhku.


"Aarrgghh.." desah Aan-ku saat kemaluannya kembali mengoyak anusku.


PLOP! Tanpa kesulitan yang berarti, penisnya masuk seluruhnya. Dan bersarang di dalamnya. Kehangatan mulai menyebar dan merasuki tubuhku. Oh, nikmatnya disetubuhi oleh pria yang kita puja.


"Oohh.. Gimana, sayang? Enak?" tanya Aan, megap-megap menahan nikmat. Dengan desahan nikmat, kujawab.


"Enak, sayang.. Aahh.. Enak banget.. Oohh.. Fuck me.. Aarrgghh.."


Kuremas-remas dadanya untuk menunjukkan betapa saya sedang terbakar libido. Aan mengerti dan langsung saja mempenetrasiku dengan ritme tetap. Penisnya keluar masuk dalam kecepatan yang sama, seakan seperti mesin yang sudah diatur. Sodokannya kuat dan nikmat, mampu merangsang setiap sel syaraf di dalam duburku.


"Oohh.." erangku, panjang.


Tubuhku terguncang-guncang mengikuti irama penetrasinya. Penisku yang tegang nampak agak melambai-lambai, akibat dari guncangan-guncangan itu. Percikan precumku menyebar ke mana-mana. Sementara itu keringat mulai membanjiri tubuh kami. Namun keringat Aan-lah yang paling banyak. Tubuh Aan yang seksi itu mengkilap-kilap. Tetesan-tetesan keringatnya jatuh ke atas tubuhku. Bagiku, hal itu seksi sekali.


Aan makin bernafsu untuk menuntaskan hasratnya. Semakin dia menggenjot tubuhku, semakin keras eranganku. Bukan karena sakit, melainkan karena rasa nikmat yang tak terlukiskan. Kutatap wajah Aan yang basah berkeringat. Dia tersenyum padaku dan memberiku hadiah sebuah ciuman. Oh, Aan selalu berhasil membiusku dengan ciumannya. Saya merasa tak berdaya tiap kali dia memeluk atau menciumiku. Dengan kuatnya, Aan menarik tubuhku mendekat agar penisnya amblas lebih dalam lagi. Saya hanya dapat mengerang, terasa nikmat sekali.


"Aahh.. Hhoohh.. Aahh.." Kejantanan Aan membuatku mabuk dengan nafsu. Saya hanya ingin disodomi terus-menerus.


"Aahh.. Yyeeaahh.. Fuck me.. Oohh.. Aahh.." Napasku tak beraturan, terasa berat.


Genangan precum di pusarku sudah penuh dan akhirnya mengalir menuruni sisi perutku. Saya sungguh tak kuat lagi, merasa ingin berejakulasi.


"Aahh.. Aan.. Uugghh.. Mau keluar.. Uugghh.."


Jantungku berdegup kencang saat orgasmeku hampir menjelang. Tapi akal sehatku mencegahku. Bagaimana jika cairan spermaku tertumpah ke ranjang? Orangtuaku pasti tahu. Aan rupanya juga mengerti, maka dia berhenti menyodomiku. Dengan lembut, Aan membimbingku ke kamar mandi. Di sana, saya dapat menumpahkan spermaku sepuasnya.


Setelah mencabut kondom, Aan mulai merangsangku. Penisnya yang setengah tegang itu digesek-gesekkan di belahan pantatku, seolah sedang menyodomiku. Terasa precumnya menempel di pantatku. Memejamkan mataku, saya mengocok penisku seagresif mungkin. Satu yang ada di benakku, ejakulasi. Orgasmeku yang tadi sempat terputus kini mulai dibangun kembali. Pelan tapi pasti, tekanan di dalam buah zakarku mulai meningkat. Hal itu berpengaruh pada irama napasku yang mulai menjadi berat.


"Hhoohh.. Aan.. Hhoohh.. Mau keluar.. Oohh.. Aahh.."


"Ya, keluarkan saja, sayang. Jangan ditahan. Semprotkan saja. Ayo, Endy sayang, semprotkan pejuhmu.. Aahh.. I love you.."


Bersambung...