Di Sebuah Pulau

Bookmark and Share

Layar terhembus oleh angin. Ada empat belas orang yang menumpang perahu itu untuk bisa sampai ke sebuah pulau lainnya, untuk menghadiri sebuah perhelatan. Penduduk kampung pulau itu pun dengan senang hati untuk berangkat. Pulau yang dihuni oleh tidak lebih dari enam belas Kepala Keluarga (KK) itu biasa saling menghadiri perhelatan jika diundang oleh tetangga di pulau kecil lainnya. Gugusan pulau-pulau kecil amat banyak di perairan itu. Lautan Hindia yang demikian ganasnya, mereka bisa atasi dengan baik.

Burhan memegang kemudi dan sesekali tangan kirnya menarik tali yang digunakan untuk mengendalikan layar. Perahu itu pun terangguk-angguk di terpa ombak-ombak kecil. Tapi tiba-tiba saja awan gelap dan angin demikian kencangnya. Semua diminta untuk mawas diri, karena mereka sudah berada di tengah laut. Biasanya mereka berlayar selama tujuh sampai delapan jam menuju pulau tetangga yang mengundang mereka.

Burhan yang berusia 24 tahun dan sudah punya isteri dan dua orang anak dan tinggal di pulau karena isterinya sedang hamil tua, sudah ragu akan keadaan angin. Cepat dia melepaskan tali dan minta kepada penumpang lainnya yang juga nelayan, untuk menurunkan layar. Angin tak dapat dikendalikan, selain kencang dan deras, dia juga berputar-putar.

Baru saja dia berteriak agar layar diturunkan, baru layar dilepas tali pengikatnya, tiba-tiba angin kencang dan berputar-putar menerpa layar mereka, membuat perahu terangkat dari atas air laut setingi lebih dua meter. Kemudian perahu terhempas ke laut dalam keadaan terbalik.

Burhan yang sudah sangat wanti-wanti duduk di buritan bersama mertuanya. Dia sudah memegang bambu ukuran besar, bila terjadi apa-apa. Ujung bambu dia ikat, kemudian ujung tali lainnya dia ikatkan ke pergelangan kakinya. Persis seperti orang bermain selancar. Begitu perahu terangkat kemudian terbalik dan terhempas, dengan cepat ditarik genggam tangan mertuanya dengan kuat dan dia peluk. Hampir semua penumpang perahunya itu berteriak histeris.

Burhan menyuruh mertuanya memeluk batang bambu itu kuat-kuat, lalu Burhan mendorong tubuh mertuanya. Burhan dan mertuanya yang pandai berenang, dengan kedua kakinya mereka mengikuti arus. Terserah arus mau membawa mereka kemana. Semua penumpang perahu berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Perahu sudah pecah berkeping-keping, karena perahu itu juga sudah tua.

Lewat mahgrib, Burhan dan mertuanya, terdampar di pantai sebuah pulau kecil. Disana ada sebuah gubuk kecil, sepertinya sudah lama tidak dipakai lagi. Dengan tersengal-sengal Burhan memeluk mertuanya yang tinggal memakai celana dalam saja, karena kain sarungnya entah sudah dimana. Mereka memasuki gubuk, walah atasnya disana-sini sudah banyak yang bocor, namun lebih baik, karena sebentar lagi hujan deras akan turun. Dengan beberapa buah tempurung yang dibersihkan seadanya, Burhan menampung air hujan untuk mereka minum.

TAARRRR…! Halilintar membahana menakutkan. Maimunah – 46 tahun, mertua Burhan, terkejut dan menghambur ke pangkuan menantu laki-lakinya. Tiba-tiba dunia menjadi gelap. Tak ada penerangan apapun di pulau itu. Hanya ada suara desau angin dan debur ombak, lalu… sepi.

“Emak takut… Hanya kita berdua di sini.” kata mertuanya.

“Jangan takut, Mak. Burhan ada di samping Emak…”

“Emak tau. Pakaian Emak basah sekali. Angin Kencang, dingin sekali.”

“Burhan akan peluk Emak, supaya tidak dingin,” kata Burhan membawa mertuanya ke sebuah sudut, agar sedikit terhindar dari hembusan angin kencang.

Burhan membuka celananya dan menggantungkannya di sebuah sudut gubuk yang terlindung agar besok sudah agak kering, bisa dipakai. Kalau memakai pakaian yang basah, lebih dingin lagi. Setelah yakin dia telanjang di tengah gelap gulita itu, dia minta agar mertuanya memeras bajunya, agar cepat kering dan tidak masuk angin. Dalam pikiran mertuanya juga sama dan membuka bajunya lalu memerasnya. Terdengar suara air jatuh saat dia memeras bajunya di tengah gelap gulita itu. Tidak ada yang bisa kelihatan. Jari tangan dihadapkan di depan mata saja tidak kelihatan. Begitu cepat cahaya menghilang dan mereka sudah tidak memikirkan lagi teman-teman mereka satu perahu. Besok mungkin mereka akan bertemu.

“Kamu dimana?” suara mertuanya bergetar kedinginan.

“Ya, aku akan mendekat. Aku akan mendatangi suara Emak,” kata Burhan mendekati dan berupaya meraba-raba dengan tangannya ke arah suara. Hep… kedua tangan mereka bertemu dan daya ingat Burhan sangat kuat. Berarti mertuanya tidak jauh dari sebuah sudut yang aman dari terpaan angin kuat dan kebocoran atap gubuk. Cepat dipeluknya tubuh mertuanya yang dia yakini, mertuanya pasti sedang ketakutan.

Saat berpelukan itu, dengan cepat Burhan dan mertuanya merasakan persentuhan kulit-kulit tubuh mereka seperti ada arus kehangatan. Burhan mengira, mertuanya hanya memeras bajunya saja kemudian memakainya kembali, ternyata mertuanya bertelanjang di kegelapan itu. Dalam, pikiran wanita itu, biarlah dia bertelanjang saja daripada menahankan dingin dengan pakaian basah ditubuh, toh tak seorang yang bisa melihat tubuhnya bertelanjang. Dalam pikiran mertua Burhan, Burhan yang masih muda, masih tahan melawan dingin dan hanya sebentar meremas pakaiannya lalu memakainya. Dua pikiran yang sama, dengan keyakinan mereka tidak akan berpelukan dalam keadan bugil

Burhan langsung seperti tersengat listrik dan sekujur tubuhnya menjadi hangat tiba-tiba. Mertuanya juga demikian. Tak menyangka gesekan antara kulit itu mampu menghangatkan tubuhnya dan membuat darahnya mendesir-desir dengan menantu laki-lakinya itu. Saat dia mau melepaskan diri dari pelukan pemuda itu, Burhan ternyata tidak melepasnya, bahkan semakin memperkuat pelukannya. Tetek mertuanya yang menempel di dadanya, membuat tangannya secara refleks memegang sebelah pantat mertuanya yang ternyata juga sudah melepaskan celana dalamnya. Burhan baru sadar, kalau bulu kedua kemaluan mereka sudah saling menempel. Demikian juga dengan mertua Burhan. Dia merasakan ada benda yang menempel di selangkah pahanya dan dia tahu benda apa itu. Dia ingin dia melepaskan pelukannya, tapi pelukan menantunya demikian erat.

Burhan memangku mertuanya. Burhan meminta mertuanya merangkul tengkuknya, kemudian Burhan membawa mertuanya itu ke sebuah amben tiga batang bambu tua. Burhan duduk di amben itu.

“Peluk Burhan, Mak. Rapatkan tubuh Emak, biar kita hangat,” bisik Burhan kepada mertuanya.

“Tapi ini pantang, Nak?” kata sang mertua.

“Kita akan mati kedinginan, bila kita tidak saling menghangatkan. Lupakan pantang sejenak, Mak…” Burhan berusaha meyakinkan.

Mereka pun berpelukan. Burhan menempatkan kedua telapak kaki mertuanya  di lantai Bambu, agar tak dingin di pasir, lantai gubuk itu. Burhan pun memeluk mertuanya dengan kuat dan berharap agar hari cepat terang dan mereka bisa mencari apa saja untuak mereka makan dan untuk mereka pakai untuk pulang ke pulau mereka.

Halilintar sepertinya sudah letih terus menerus memuntahkan suaranya yang memekakkan telinga. Hujan juga rasanya sudah tidak sederas tadi, dan angin pun pun sepertinya sudah lelah terus berhembus. Tubuh mertua dan menantu itu semakin hangat, bukan karena angin berhenti berdesau saja atau hujan semakin menipis turunnya. Keduanya tidak sadar, kalau mereka sedang dialiri darah cepat yang mereka tidak ingini. Pelukan dan gesekan kulit mereka membuat mereka secara diam-diam dan malu, menjadi bernafsu. Nafsu itulah yang membuat mereka menjadi hangat dan rasa dingin semakin menjauh.

Secara perlahan-lahan Burhan merasakan mertuanya, menggeser-geser tubuhnya. Himpitan memek mertuanya terasa sekali di pangkal pahanya. Terasa hangat dan basah. Burhan juga merasakan pentil tetek mertuanya semakin keras menusuk bagian dadanya. Burhan sendiri juga merasakan nafsunya demikian keras. Tapi bagaimana caranya, agar mertuanya tidak mengetahuinya, sementara wanita itu butuh kehangatan.

Maimunah merasakan kemaluan menantunya terasa mendenyut-denyut di bibir memeknya. Dia berusaha untuk tetap tenang, agar apa yang dirasakannya tidak diketahui oleh Burhan, karena selain dia malu, dia juga tak ingin Burhan menjadi malu. Maimunah merasakan degup jantung Burhan demikian keras. Itu terasa ke degup jantungnya sendiri. Saat kepalanya disandarkan di tengkuk Burhan, dia merasakan dengus nafas Burhan seperti sudah tidak teratur. Dia mengetahui sekali bagaimana laki-laki kalau sudah bernafsu. Tubunya kini masih dalam dekapan kuat kedua tangan Burhan.

Kedua mertua dan menantu itu memiliki pikiran masing-masing, untuk saling menjaga, agar tidak ada yang merasa malu. Menantu meyakinkan dirinya bagaimana caranya agar mertuanya tidak merasa malu dan sebaliknya juga demikian. Tapi Burhan yang masih berusia 24 tahun dan masih menginginkan nafsunya tersalurkan, terlebih dalam keadaan demikian, dalam beberapa detik kehilangan akal sehatnya.

Dengan kuat tangan kirinya yang memeluk tubuh mertuanya mulai dari pinggang ke atas, mampu mengangkat tubuh ibunya. Maimunah sendiri yang diangkat tubuhnya tidak mengetahui apa keinginan menantunya dan mengikuti angkatan tangan Burhan. Dia tekan kakinya ke lantai bambu agar tubuhnya terangkat. Saat tubuhnya terangkat sedikit ke atas, Sebelah kanan tangan Burhan memegang kemaluannya dan mengarahkannya ke memek mertuanya. Memek yang sudah basah kuyup dengan lendir nafsu itu, saat Burhan mendudukkan emaknya kembali ke atas pangkuannya, Cluuup… Kemaluan Burhan yang tegang, begitu cepat tertelan ke dalam memek mertuanya. Saat kemaluan Burhan sudah berada sepenuhnya dalam memeknya, Maimunah tersadar dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Burhan.

“Burhan, kita sudah tidak benar…” katanya berusaha meronta.

“Emak. Semua sudah terlanjur. Biarlah. Tak ada yang tak benar. Kita sedang dalam hal yang benar,” katanya dan terus memeluk mertuanya.

Mertuanya tak bisa berbuat apa-apa. Burhan mencium leher mertuanya dan mengelus-elus punggung mertuanya. Lama kelamaan, Maimunah pun tersirap juga. Dia mengalah, toh semuanya sudah terlanjur. Kemaluan menantunya sudah di dalam. Sebentar atau lama, kemaluan menantunya sudah dalam lubang memeknya. Dia hanya diam dan menyandarkan wajahnya ke leher Burhan. Burhan hanya mengelus-elus tubuh mertuanya. Kulit keduanya demikian lengket, seperti lepat dan daun. Mereka diam dan perlahan-lahan Maimunah terpancing juga dan dia secara perlahan, ikut pula mengelus tubuh Burhan.

Burhan terkejut, karena mertuanya sudah mulai mengelus tubuhnya.. Perlahan Burhan mulai berusaha menusuk tarik kontolnya di memek mertuanya. Di tekannya pantat mertuanya dengan tenaganya, kemudian di lepaskannya, kemudian ditekannya kembali. sampai akhirnya, pantat mertuanya berjalan maju-mundur sendiri tanpa ditolak-tolak lagi.

Maimunah entah sadar atau tidak, dia memaju mundurkan pantatnya, sampai pula pada saat yang tak terduka, Maimunah justru mempercepat maju-mundur pantatnya, hingga kontol menantunya bisa keluar masuk dalam memeknya yang basah. Maimunah mendesah-desah dan Burhan juga demikian. Mereka tak berhenti dan sama-sama mereka memberi respons dengan cepat dan semakin cepat, dengan desahan nafas yang memburu.

Burhan memeluk mertuanya dengan kuat, dan pelukan Burhan pun dibalas pula dengan pelukan yang kuat pula. Sama-sama mereka tiba di puncak nikmat yang rasanya tidak terlukiskan dengan kata-kata. Keduanya hening dengan nafas mereka yang memburu, masing-masing mereka berusaha menetralkannya.

“KIta sudah salah,” kata Maimunah.

“Tidak ada yang salah,” kata Burhan.

“Cukup hanya ini, tak boleh lagi,” kata Maimunah yang masih berada dalam pelukan Burhan.

“Jika ada kesempatan, kita harus melakukannya lagi.
KIta boleh cari pulau mana yang kita suka dengan alasan mencari ikan atau apa saja,” tegas Burhan.

“Tidak boleh. Aku emakmu,” tandas Maimunah.

“Tidak.
Sekarang emak adalah isteriku yang sangat rahasia. Jika bukan isteriku, mana mungkin kita sama-sama menikmatinya?” Burhan berkilah.

Maimunah diam. Apa yang dikatakan Burhan benar. Baru saja dia menikmati betapa indahnya bersetubuh dengan menantunya sendiri yang sudah lama tak dia rasakan, sejak suaminya jatuh dari pohon kelapa.

Berdua mereka mencuci tubuh mereka ke air laut. Kembali mereka ke gubuk dituntun oleh sinar rembulan yang malu-malu di balik awan. Berdua mereka kembali ke gubuk dan duduk di tempat yang sama. Burhan kembali memangku mertuanya dengan kasih sayang dan kali ini, Burhan sudah berani menciumi bibir mertuanya dan mempermainkan lidahnya di mulut sang mertua. Dan…

“Lalu kita ini bagaimana? Apakah ada yang tahu, kalau kita selamat di Pulau ini? Bagaimana pula nasib teman-teman kita yang lain?” tanya Maimunah sedih mengenang teman-teman mereka yang belum diketahui nasibnya.

Maimunah dan Burhan berusaha mengelilingi pulau yang hanya seluas tak lebih dari 20 hektar itu. Seharian mereka berupaya mencari teman-teman mereka sembari menunggu ada orang yang bisa melihat mereka untuk mendapatkan pertolongan. Nyatanya nihil.

Untung di pondok yang usang itu, ada sekotak korek api yang masih kering. Ada pula minyak lampu sedikit dengan sumbu lampu teplok yang tersisa. Yang lebih membuat mereka senang, mereka menemukan sebuah parang, walau sudah berkarat, tapi masih bisa dipakai. Burhan berupaya menajamkan parang itu dan memanjat kelapa untuak mereka makan. Mertuanya sudah memakai celana dalam dan baju Jacket Burhan dililitkan di pinggangnya, namun Burhan masih tetap memandang mertuanya itu dengan nafsu. Burhan juga berupaya mengorek-ngorek lumpur saat pasang surut, untuk mendapatkan beberapa puluh kerang.

Burhan mencari dedaunan kelapa untuk disisipkan di atas gubuk, serta memperbaiki bale-bale pada gubuk. Di dinding gubuk pun diselipi daun kelapa yang mereka ambil di tanah. Kerang itu mereka cucuki pakai lidi, kemudian ditumpuk di daun kelapa kering dan dibakar. Wah rasanya enak sekali, terutama dalam keadaan lapar. Seharian mereka membenahi gubuk, mencari makanan dan untung di sebuah perbukitan ada mengalir air. Walau debitnya sangat kecil, tapi bisa ditampung pada baskom usang untuk minum dan mereka memasaknya di tungku dengan pelepah kelapa jadi kayu apinya.

Hari semakin gelap saja, sebentar lagi akan gulita dan pekat serta hitam. Ikan-ikan kecil yang ditanggok pakai kaos singlet di tepian, mereka makan dengan lahapnya. Biji buah Ketapang juga mereka makan dengan lahap. Sore berganti senja dan senja bergerak ke barat menuju malam. Nun di ufuk timur sana, ada warna jingga, secara perlahan hilang di balik laut luas dan lepas.

“Kita bakal bermalam lagi di sini,” kata Maimunah seperti mengeluh.

“Ya, kita akan tidur bersama sekarang, karena aku sudah buat bale-bale untuk kita berdua,” kata Burhan.

“Tapi…”

“Jangan pikirkan yang lain. Kita saling membutuhkannya sekarang,” jawab Burhan singkat.

Maimunah mengerti maksud perkataan Burhan. Dari kejauhan ada kelihatan lampu kelap-kelip. Ada harapan bagi mereka, Namun lama kelamaan lampu kelap kelip dari perahu itu, hilang pula. Mereka yakin sekali, perahu itu pasti sedang mencari mereka. Mereka pun pasrah setelah tak seberkas cahaya dari matahari pun yang kelihatan. Hari berganti dengan tiba-tiba dan langsung gelap. Itulah laut.

Burhan menuntun mertuanya ke gubuk dan mereka tiduran di bale-bale, dengan parang tetap siap sedia tak jauh dari kepala Burhan. Karena dingin, Maimunah memakai jaket Burhan sementara di bagian bawah dia hanya memakai celana dalam saja. Dinding yang dikelilingi oleh daun kelapa yang kering, juga dijadikan pengganjal agar tempat tidur mereka terasa empuk dan hangat. Tubuh mereka juga dikelilingi oleh daun kelapa yang kering.

“Mak, aku selalu curi-curi dengar. Kalau Bapak tak bisa lagi melayani Emak,” bisik Burhan.

“Kenapa kamu suka mencuri dengar. Tidak baik,” sela Maimunah

“Mulanya iseng saja. Kelamaan aku menginginkannya walau aku sudah punya isteri.”

“Sebenarnya ini tak bisa kita lakukan.”

“Ya. Tapi nyatanya, kita saling membutuhkan,” Burhan tak mau kalah karena pahanya sudah berlaga dengan paha mertuanya.

Keduanya pun diam. Maimunah tak bisa membantah apa yang dikatakan Burhan. Tiba-tiba saja bibir Burhan sudah mengecup bibir Maimunah. Mulanya Maimunah berupaya menahan diri. Namun rabaan tangan Burhan pada selangkangannya dan elusannya pada buah dadanya, membuat Maimunah tak mampu lagi menahan diri.

“Burhan, Emak takut,”

“Jangan takut, Mak, aku ada di samping emak.”

“Emak takut hamil.”

“Jangan takut, Mak. Kan ada aku.”

“Justru itu, nanti bagaimana kalau aku hamil karena ini…” Maimunah mengelus kontol Burhan.

“Tenang saja, Mak.” Burhan mengupayakan menghilangkan kecemasan mertuanya. Perlahan-lahan Burhan memelorotkan celana dalam mertuanya  sampai lepas. Kemudian dielusnya bulu-bulu yang memenuhi antara dua paha mertuanya itu. Selain itu, Burhan juga mengisap-isap tetek mertuanya dengan rakus.

“Bagaimana ini….” desah
mertuanya.

Burhan diam saja dan terus mengulum lidah mertuanya.

“Oh… biarlah, cepat saja masukkan.”
Maimunah akhirnya meminta.

Mendengar perkataan mertuanya, Burhan langsung menaiki tubuh mertuanya dan Maimunah pun mengangkangkan kedua kakinya. Memek yang sudah basah itu ditusuk oleh kontol menantunya, sampai amblas.

Keduanya tidak bersuara apa-apa kecuali desahan-desahan nafas dan rintih kecil dari mulut Maimunah. Burhan memompanya dengan teratur dan pompaan itu membuat Maimunah seperti tak mampu berkata apa-apa lagi selain menggoyang-goyangkan pinggulnya dari bawah. Maimunah pun terus merintih-rintih dan dengan kuat, dia membalikkan tubuhnya. Posisi mereka sudah berubah. Burhan kini berada di bawah dan Maimunah menekan-nekan tubuhnya dari atas. Pantatnya dia putar-putar dan teteknya menekan-nekan dada Burhan. Kelihatan Burhan jadi kewalahan sekali mengimbanginya dan dia mendesah, menyatakan dia akan sampai.

“Jangan dulu…” Maimunah semakin mempercepat putaran pinggulnya ke kiri dan ke kanan, serta dia menekan jauh ke dalam.

“Maaaakkkk… aku sampeeeekkkk…” Burhan memeluk mertuanya dari bawah dan mencengkram tengkuknya.

Maimunah terus memutar pinggulnya, takut kontol menantunya jadi mengecil. Dia terus berupaya secepatnya untuk mengejar nikmat, jangan sampai kontol itu mengecil; dan keluar dari memeknya. Maimunah pun mengerang kuat. Akhhhhhh… Lalu erangannya menjadi senyap di telan gelap gulita yang pekat. Mereka berpelukan dan tertidur dengan pulas di malam gelap itu. Karena angin sedikit kencang, nyamuk-nyamuk tak berani mendekat.

Mereka terbangun, saat matahari mulau menusuk-nusuk mata mereka. Cepat Burhan terbangun dan bangkit, lalu memakai pakaiannya. Dia takut, saat mereka tertidur, sudah ada orang di pulau itu yang melihat keadaan mereka.

Akhirnya mereka pun ditemukan oleh nelayan pulau lain di pulau itu dan memberi mereka kain untuk disarungkan. Nelayan itu membawa mereka ke pulau mereka setelah tiga malam mereka berdua terdampar di pulau itu.

Beberapa yang ikut satu perahu dengan mereka, ternyata ditemukan meninggal dunia. Jenazah dimakamkan, dan tak lebih dari 10 hari, pulau kecil itu dirundung dukacinta. Setelah itu, semuanya kembali normal kembali. Semua kembali melaksanakan tugasnya masing-masing dan duka sudah dapat diatasi.

Maimunah juga mulai melaut, karena suaminya yang sudah lumpuh tak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya tinggal di rumah mereka yang kecil. Harus diuruskan makan dan mandinya. Bergantian Maimunah dan anak-anaknya mengurus suaminya itu. Dalam sebuah kesepakatan, Burhan mengusulkan agar dia ditemani mertuanya untuk bersama melaut dan menangkap kepiting serta hal lain yang bisa dilakukan. Sedang dua adik Burhan dengan perahu lain. Isteri Burhan untuk menyiapkan segala sesuatunya di rumah.
Kesepakatan itu disetujui oleh seisi penghuni rumah. Kesepakatan itu dimulai esok pagi.

Pagi-pagi sekali Maimunah sudah mempersiapkan sarapan pagi dan bontot untuk dua orang untuk dibawa ke laut dan ke pulau lain. Disiapkan jaring dan jala, serta alat penangkap kepiting. Adik Burhan juga demikian. Selesai sarapan pagi itu, Burhan bersama mertuanya menuju perahu mereka dan dua adiknya menuju perahu lain. Mereka sepakat, Burhan dan mertuanya menuju pulau Lingam dan dua adiknya menuju Pulau Layu. Layar pun dipasang, Burhan mengemudikan perahu itu dengan telaten.

“Apakah Emak mengerti, kenapa aku memilih emak temanku satu perahu?” tanya Burhan di sela-sela desau angin yang membawa perahu mereka melaju.

Maimunah tak menjawab dengan kata-kata, tapi dengan senyum. Burhan mengerti jawaban mertuanya. Sebuah senyum pengertian.

“Aku rindu, Mak.” kata Burhan.

“Aku mengerti. Nanti kita ke Pulau Jago-jago dulu, untuk mengambil beberapa ramuan. Emak takut, kalau nanti Emak menjadi hamil,” kata Maimunah.

“Jangan, Mak. Aku mau Emak hamil, karena aku. Aku mau kita punya anak, Mak.”

“Bagaimana nanti kata orang?”

“Pokoknya aku mau Emak hamil karena aku,” kata Burhan menegaskan.

Perahu pun tak jadi diarahkan ke Pulau Jago-jago. mereka meneruskan arah ke Pulau Linggam. Di sana banyak paluh-paluh dan lumpur. Mereka menunggu sebentar pasang surut, agar mereka bisa meraba kerang. Burhan meminta Maimunah mendekat ke arahnya di buritan agar haluan perahu tengkat sedikit ke atas dan angin meniup layar, kemudian laju perahu bisa semakin kencang. Maimunah pun melakukan permintaan menantunya. Maimunah menyandarkan tubuhnya ke punggung Burhan. Sembari menjaga kemudi, Burhan pun memeluk mertuanya dari belakang. Dimasukkannya tangan kirinya ke dalam baju mertuanya dan dia mengelus tetek mertuanya  yang masih kenyal. Mertuanya pun merasakan, ada daging menekan-nekan punggungnya. Dia tahu kalau kontol Burhan, sudah mengeras.

“Hati-hati. Sebentar lagi kita sampai ke pulau. Arahkan haluan ke sebelah kiri. Aku yakin di sana sepi,” kata Maimunah.

Burhan mengikuti. Begitu beberapa puluh meter lagi di pantai pulau, Burhan menurunkan layar dan dia mulai mengayuh perahu. Langsung Burhan mengayuhkan ke sela-sela rumpun pohon-pohon Bakau. Ada beberapa pasang anak burung mencicit-cicit di pepohonan, merasa terusik ketenangan mereka atas kehadiran Burhan dan Maimunah.

“Kenapa kita kemari?” tanya Maimunah.

“Agar orang tidak melihat kita. Aku rindu Mak. Aku ingin,” kata Burhan serak.

Maimunah mengerti maksud menantunya. Sebenarnya Maimunah justru jauh lebih menginginkannya lagi, karena dia sudah merasakan lama tidak disetubuhi dan dia juga sudah merasakan betapa nikmatnya disetubuhi Burhan menantunya itu.

Perahu ditambatkan di batang pohon Bakau dengan kuat. Mereka mengambil di sela-sela pohon Bakau yang sangat rimbun dan teduh dari terik matahari. Dengan tidak sabar Burhan langsung menyergap tubuh mertuanya dan melapas kain sarung mertuanya. Burhan sendiri melepas celana pendeknya yang pinggang celana itu itu hanya berkaret saja. Burhan dari rumah sengaja tidak memakai celana dalam. Mertuanya dia tidurkan di atas potongan-potongan papan di atas perahu.

Cepat dia mengangkangkan kedua kaki mertuanya, lalu dia berjongkok di antara kedua kaki mertuanya. Langsung dia cucuk memek yang berbulu lebat itu. Setelah semuanya masuk ke dalam memek hangat itu, Burhan menindih tubuh mertuanya dan memompanya dari atas dengan ganas. Kali ini Maimunah yang sudah lama menginginkannya, langsung pula memberikan tanggapan dari bawah. Dia memeluk Burhan kemudian menggoyangkan bagian tubuhnya untuk menjawab pompaan Burhan.

Air berkecipak karena perahu bergoyang-goyang dan burung-burungpun serentak terbang dari pohon-pohon bakau yang membuat suara dedaunan menjadi bergesekan. Saat itu pula Maimunah tak mampu membendung kenikmatan dalam dirinya. Dia menceracau. Duh… enaknya, duh... nikmatnya, duh… kontolmu besar juga, dan seterusnya.

Mendengar ceracau mertuanya, Burhan semakin bersemangat dan terus memompanya dari atas, sampai mereka berpelukan erat dan Burhan menyemburkan spermanya dengan sebanyak-banyaknya ke dalam rahim mertuanya.

Setelah semuanya kembali normal, mereka melepas tambatan perahu mereka menuju keluar. Di beberapa tempat mereka memasang jerat kepiting dan Maimunah menyiapkan alat-alatnya untuk merogoh kerang dari lumpur, karena sebentar lagi akan pasang, dia harus cepat. Burhan pun menyiapkan jalanya pula. Saat keluar itu Maimunah menanyakan, bagaimana dan apa alasan kepada siapa saja, bila dia benar-benar hamil.

“Orang kampung kan masih tau, kalau Bapak masih ada,” kata Burhan.

“Tapi bapakmu sudah tak bisa lagi melakukan seperti apa yang kita lakukan tadi.”

“Tapi apa orang kampung tau, kalau Bapak sudah tidak mampu lagi,” tanya Burhan.

“Tidak.”

“Kalau tidak, tenang saja. Orang kampung akan mengira, emak hamil karena Bapak. Tak usah dipikirkan. Yang penting emak harus hamil dari aku,” tegas Burhan.

Maimunah tersenyum. Dia juga ingin punya anak dari Burhan menantunya itu.
Mereka pun sibuk melakukan tugasnya. Burhan menjaga agak ketengah laut, sedang Maimunah meraba kerang serta memasang alat tangkap kepiting

***

Hasil tangkapan Burhan dan Maimunah kelihatan lumayan. Isteri Burhan yang masih memiliki bayi merah, senang-senang saja. Demikian juga Suami Maimunah yang selalu mengeluarkan lendir (ngences) dari mulutnya dan terus terbaring di tempat tidur atau di dudukan. Suami Maimunah, ayah Burhan sudah tak bisa ditangkap lagi, apa yang dibicarakannya. Sudah dibawa ke berbagai dukun yang mengatakan, pohon tempatnya memanjat itu ada hantunya, hingga harus dibuatkan syaratnya. Sudah berkali-kali disyarati, namun tak sembuh juga. Maimunah pun atas anjuran Burhan, selalu bercerita kepada tetangga, kalau dirinya selalu dipaksa oleh suaminya untuk bersetubuh. Maimunah diminta dari atas dan harus begini dan begitu dengan bumbu mengenaskan, Maimunah terus bercerita kemana-mana. Tetangga pun merasa simpati kepada Maimunah.

“Hayo cepat… bawa jaring, biar kita kerja cari ikan yang banyak untuk mengobati bapakmu,” teriak Maimunah seakan marah kepada Burhan.

Burhan pun dengan cepat menyiapkan segalanya. Mereka naik ke perahu dan berkayuh ke tengah laut, setelah isteri Burhan, anak Maimunah memberikan bontot untuk makan siang mereka berdua. Layar pun terkembang dan Maimunah mulai mengeser duduknya merapat ke belakang dan menyandarkan dirinya ke dada Burhan dengan manja.

“Pandai juga Emak, hingga mereka semua simpati kepada kita,” ujar Burhan.

Maimunah tersenyum saja. Mereka mendatangi pulau, kemudian menebar perangkap penangkap kepiting, lalu ke pulau lain dan terus menebar perangkap kepiting. Orang-orang yang mengetahui kalau itu perangkapnya Burhan dan mertuanya, mereka tak mengusiknya, karena mereka juga takut pada Burhan yang sangat temperamental. Ada beberapa pulau yang mereka tebar. Kemudian Burhan mengarahkan haluan perahu nun ke pulau yang jauh di sana.

“Kenapa kita begitu jauh?” tanya Maimunah.

“Agar kita aman,” kata Burhan.

Maimunah pun tersenyum. Dia sudah ketagihan mendapat nikmat dari Burhan. Sembari berlayar, Maumunah mengarahkan tangan Burhan memasuki baju kaosnya agar Burhan meremas-remas teteknya. Semua teman mereka satu pulau, mengenal layar Burhan yang merah bergaris-garis. JIka layar itu melintas, mereka malah menjauh, karena mereka takut bertengkar dan mengakibatkan perkelahian dengan Burhan. Melihat layar Burhan menuju pulau yang terjauh, mereka selain bertanya-tanya, juga ada rasa kagum, mertua dan menantu itu berani berlayar sebegitu jauh, dengan dalih harus kerja keras untuk mendapatkan uang untuk mengobati seorang ayah yang sedang sakit.

Pulau kecil, dikelilingi sekali. Kemudian mereka bertambat di tempat teduh dengan pasir yang landai. Sejauh mata memandang tak ada kelihatan perahu. Hanya ada sebuah kapal besar yang melintas nun di kejauhan. Maimunah memeluk Burhan dan dengan buasnya dia langsung melumat bibir Burhan. Dielusnya kontol Burhan dari balik celana.

“Aku tidak pernah puas dan rasanya tak pernah mau berhenti,” kata Maimunah. Dikeluarkannya teteknya dan diminta untuk dilumat oleh Burhan.

Burhan mulai melumatnya dan mempermainkannya. Burhan mengajak Maimunah agak ke dalam pulau. Disana mereka menelanjangi diri mereka dan mengembangkan kain layar sebagai alas mereka. Mulailah mereka bergumul dan saling merangsang. Maimunah belum pernah dijilati memeknya dan belum pernah pula mengulum-nguluim serta menjilati kontol siapapun juga.

Maimunah pun merengek-rengek meminta, agar Burhan memasukkan kontolnya ke dalam memeknya yang sudah ternganga sedari tadi.

“Ayo, sayang. Jangan sampai Emak tersiksa lama-lama,” pinta Maimunah memelas.

Burhan mulai mengocoknya maju-mundur. Setelah hampir 20 menit memompa memeknya, Maimunah pun menjerit-jerit kecil kenikmatan. Dia memeluk Burhan dengan kuat sekali, sampai Burhan juga memuntahkan spermanya. Dengan nafas terengah, mereka tersenyum dan Maimunah secepatnya memakai kembali pakaiannya, menjaga kemungkinan ada manusia lain. Burhan juga demikian.

Matahari sudah berada di ubun-ubun. Mereka mengambil bontot dan makan siang. Pada saat makan siang itulah Maimunah menyampaikan kabar kepada Burhan, kalau dia sudah hamil dua bulan. Burhan menatap Maimunah.

“Benarkah?” tanya Burhan.

Maimunah mengangguk bangga.

“Anakmu… cucuku,” kata Maimunah.

Burhan tersenyum. Dia mengerti makna ucapan emaknya itu. “Lalu bagaimana?” tanya Burhan.

“Tetangga sudah aku atasi juga seisi keluarga kita, termasuk isterimu dan adik-adikmu. Tinggal Bapakmu. Bapakmu, aku yang atasi, kau pura-pura tidak mengerti saja,” kata Maimunah.

Burhan setuju dan tersenyum. “Sudah lama aku menginginkan ini, Mak. Sebenarnya sudah lama aku ingin punya anak dari Emak. Anak kita,” kata Burhan.

Maimunah pun tersenyum.

Burhan menebar jala dan hari itu mereka memang lagi mujur banyak ikan yang didapat. Saat mereka menyinggahi pulau-pulau yang ditebari alat penangkap kepiting, juga banyak yang didapat. Mereka tersenyum.

“Berlipat ganda rezeki kita, Mak,” kata Burhan. Maimunah tersenyum.

***

Perut Maimunah semakin besar dan besar. Isteri Burhan senyum-senyum saja bahkan mengatakan, agar Burhan menjaga mertuanya bila melaut, jangan dikasih kerja berat. Burhan justru sangat senang dalam kehamilan ibunya, mereka terus bersetubuh di sela-sela pohon bakau.

Maimunah tahu, kalau kehamilannya itu dipertanyakan oleh suaminya, tapi Maimunah tak mau menjawab bahkan lidahnya dia peletkan mengejek suaminya yang sudah tiga tahun tak memberinya nafkah bathin.

***

Suatu sore saat Burhan dan Maimunah mau menebar jala, tiba-tiba nelayan berteriak dari kejauhan. Niat mereka mau bersetubuh memasuki pohon bakau, terhenti karena ada yang mengusik.

“Kalian harus segera kembali.”

“Kenapa?”

“Maaf, suami kakak meninggal dunia?”

Maimunah pura-pura menangis histeris dan Burhan demikian sedih melihat mertuanya menangis. Cepat mereka kembali. Tak seorang pun yang tahu, saat mereka mau berangkat subuh tadi, Maimunah membubuhkan racun ke dalam gelas kopi suaminya. Seperti biasanya, suaminya begitu bangun, tanpa cuci mulut apalagi sikat gigi, langsung minum kopi. Maimunah sempat melihat suaminya meneguk setengah gelas kopi yang dia hidangkan.

“Sudahlah, Mak. Emak harus tabah. Kita semua harus tabah,” bujuk Burhan yang tak mengerti apa-apa.

***

Setelah anak mereka lahir, Maimunah diam-diam meminum ramuan, agar dia tak hamil lagi. Peranakannya dikeringkan dengan meminum ramuan, hingga dia takkan pernah melahirkan lagi. Tak seorang pun percaya, kalau anak bungsu Maimunah adalah anaknya dengan Burhan yang juga menantunya sendiri.

END