Konspirasi 4

Bookmark and Share

“Jadi itu bukan sebuah teka-teki?” tanya Juna.

“Ya. Itu bukan sebuah teka-teki,” kata Mika perlahan, “itu sebuah pesan tersembunyi, dan aku sangat berterima kasih karena berkat kamu pesan itu tersampaikan.”

“Sama-sama. Maaf juga karena membobol email kakak. Itu hanya permintaan seorang gadis manja.” Juna Jun melirik ke arah Nami yang duduk di sebelah kanan Mika dengan penuh sindiran. Nami membalas sindiran itu dengan menjulurkan lidahnya.

“Aku tahu itu.” Mika menjawab maklum.

“Oke.” kata Juna, “tolong kakak jelaskan maksud kakak tadi, memintaku untuk mencari data tentang Yohanes ini. Siapa sih dia itu?” Juna penasaran.

“Pria yang mungkin berumur 2000 tahun.” jawab Mika.

“Menarik sekali,” Juna berkata agak sedikit sangsi, “Lanjutkan, kak!”

“Ya. Kamu boleh percaya atau tidak, bahwa tidak ada catatan kematian yang benar-benar tepat menyangkut Yohanes ini.” Mika membuka sedikit catatan dari bukunya. “Oke. Seperti yang aku jelaskan. Ada dua belas murid, salah satunya Yohanes. Kesebelas murid yang lain, sejarah mencatat dengan jelas kematian mereka. Sedangkan Yohanes, menurut cerita dia digoreng hidup-hidup dalam bak minyak di Roma. Tapi entah kenapa dia tidak mati? Akhirnya dia dibuang ke Patmos dan hanya sejauh itu faktanya. Setelah itu banyak ketidakpastian.”

“Maksudnya?” tanya Juna.

“Ada yang mengatakan dia mati di penjara. Ada pula yang menyebutkan dia bebas dan menjadi pastur di Turki setelah itu meninggal karena tua. Atau ada juga yang bilang bahwa dia tidak pernah dikirim ke Patmos, hanya orang yang serupa dengan wajahnya yang mengantikan hukumannya.” jelas Mika.

“Tidak ada yang terbukti benar?” Juna bertanya lagi.

“Ya. Sejauh itu lah yang bisa aku dapatkan sampai saat ini.” sahut Mika.

Juna termenung sebentar dan tiba-tiba saja pemuda yang selalu memakai topi terbalik ini mendapatkan gagasan yang menarik minatnya. “Jadi kakak pikir kalau ada pihak yang menyembunyikan rahasia ini?”

“Benar. Profesor Jeremiah adalah salah satu korbannya.” jelas Mika.

“Dan hal ini menjadi sangat berbahaya.” Juna bergidik.

“Iya. Makanya, aku berharap untuk kalian tidak melibatkan diri kalian dalam hal ini. Aku mungkin hanya akan meminta bantuan sedikit saja, setelah itu aku akan menyelidikinya sendiri.” kata Mika.

Juna menggeleng tidak puas. “Maaf, kak. Tapi aku sudah terlanjur tertarik untuk ikut menyelidiki ini.”

“Tapi ini sangat berbahaya.” Mika tidak setuju.

“Aku tahu, kak. Dan aku sangat menyukai bahaya. Aku jelas tertantang untuk menyelidiki hal ini. Satu hal lagi, aku akan membantu kakak untuk menyelidiki hal yang paling rahasia di dunia dan itu dengan bantuan temanku.” kata Juna.

“Maaf, Jun. Tapi aku harap jangan ada lagi yang tahu soal ini.” Mika keberatan.

Juna tertawa lebar. Nami juga ikut tersenyum karena mengerti maksud adiknya, lalu dengan penuh pengertian Nami mencoba menjelaskan maksud Juna tersebut. “Mik, maksud Jun… Temannya itu laptopnya.”

“Oh. Aku kira siapa.” Mika tersenyum malu.

“Begini, kak. Tiba-tiba aku mempunyai sebuah gagasan kecil.” Juna berbinar. ”Ada pihak tertentu yang mencoba menutup-nutupi tentang Yohanes ini dan aku yakin seratus persen jika fakta ini berhasil ditutup-tutupi selama ini dari dunia, maka pihak tersebut sudah terorganisir dengan rapi dan yang pasti berhubungan dengan pemerintah atau suatu organisasi dunia. Dan fakta ini adalah sebuah konspirasi dunia yang pastinya akan menguncang dunia saat kita menemukan kebenarannya. ”

“Kamu terlalu berkhayal, Jun!” protes Nami.

“Tidak, kak. Justru aku makin curiga tentang suatu hal.” bocah itu bersikeras.

“Apa itu?” tanya Mika.

“Dulu aku pernah mendengar sebuah isu tentang suatu departemen rahasia yang dimiliki oleh Timur Tengah. Seperti halnya Pentagon di Amerika Serikat, departemen ini juga menampung seluruh rahasia sejarah yang tidak pernah diketahui dunia.” jelas Juna.

“Apakah benar ada organisasi seperti itu?” Nami terlihat tidak percaya.

“Itu memang masih sebuah isu. Tapi aku akan mencari kebenarannya.” yakin Juna.

Mika mengangguk. “Baiklah kalau begitu. Aku setuju kalau kalian ikut dalam penyelidikan ini.”

Nami dan Juna tersenyum puas.

“Dan kita harus segera memulainya.” Mika menyobek salah satu bagian buku, lalu menuliskan beberapa poin untuk dicari Juna nanti. Setelah selesai, kertas itu diserahkan kembali kepada Juna. Bocah itu langsung menyalakan laptopnya dan siap untuk beraksi.

***

“Bos, coba tebak apa yang tadi kami dengar saat kami berada di cafe?” lapor wanita bebaju ungu pada seorang laki-laki.

“Apa itu?”

“Ternyata profesor Jeremia telah memberi tahu hal itu kepada salah satu muridnya. Dan muridnya itu sekarang sedang berusaha menyelidikinya.” kata wanita itu.

“Begitu?” si laki-laki mendongak. Tangannya membelai pelan tonjolan buah dada si wanita yang tampak membulat sempurna.

“Ahhh... Ya.” si wanita mendesah. “L-lalu… sekarang, apa yang harus kami lakukan?” dia menunggu perintah.

“Tenang saja. Ikuti pergerakan dan perkembangan mereka. Jangan lakukan apa pun! Jangan pernah gegabah! Laporkan semua perkembangannya padaku dan biar aku yang akan menentukan langkah selanjutnya.” Jelas si laki-laki panjang lebar. 

"Baik, bos." wanita berbaju ungu itu mengangguk.

“Tapi sebelumnya, layani dulu aku!” tambahnya sang bos sambil menyeringai.

Tanpa membantah, si wanita segera berjongkok untuk melepas celana dalam majikannya.

***

“Ya. Seperti yang kakak katakan sebelumnya. Cuma fakta-fakta tentang ke sebelas murid lain yang jelas tercatat dan sama bunyinya dalam berbagai sumber. Hanya Yohanes yang tidak mempunyai kejelasan yang pasti. Tidak ada yang secara terang-terangan membahas soal ini, hanya ada beberapa forum diskusi saja yang membahasnya, itu pun faktanya tidak jelas.” ucap Juna sambil terus meneliti layar laptopnya.

“Lalu?” Mika bertanya.

“Soal departemen rahasia itu aku belum mendapatkan apa pun.” jari-jari Juna terus bergerak.

“Dan soal Dokter Benjamin Ramon?” tanya Mika lagi.

“Nah, itulah yang mungkin menarik,” kata Juna bersemangat, “dia seorang yang berkebangsaan Israel, dia seorang penulis, umurnya sekitar tujuh puluhan saat ini, tapi tidak ada seorang pun yang pernah melihatnya.”

“Tidak ada foto?” tanya Mika.

Juna menggeleng.

“Lalu bagaimana dengan buku yang ditulisnya?” Mika makin penasaran.

“Tahun 1975 adalah awal dia menjadi penulis, dia menulis sebuah buku fiksi yang laris dipasaran. Dan pada tahun 1980 dia menulis sebuah buku yang berjudul “J”, sehari setelah peluncurannya, buku itu ditarik dari pasaran tanpa alasan yang jelas. Dan semenjak itu, tidak ada kopian dari buku tersebut sekaligus nama Dokter Benjamin Ramon menghilang dari dunia.” jelas Juna.

“Misterius sekali?” Mika menggelengkan kepala.

“Ya begitulah.”

Mika mengerutkan keningnya dan berpikir keras. Lalu mendengus kecewa.“Akhirnya hal yang aku takutkan terjadi.” gumamnya.

“Apa maksudmu, Mik?” tanya Nami.

“Saat kita tidak menemukan petunjuk melalui komputer, kita harus menempuh cara konvensional.” sahut Mika.

Nami tampak bingung dengan pernyataan Mika. “Aku belum mengerti.”

“Kita harus mencari keterangan itu dengan menyelidiki langsung dimana Yohanes itu pernah tinggal dan pernah hidup. Kita harus bertanya kepada siapa saja yang tahu tentang dia, mengenal tentang dia dan berhubungan dengan dia. Dan untuk hal itu, kita harus ke Galilea di Israel.” jawab Mika berat.

“Wah, seru!” sahut Nami.

“Tapi itu menjadi masalah buatku. Jujur saja, untuk ke sana kita memerlukan uang yang banyak sekali dan aku tidak punya uang sebanyak itu.” Mika tampak lesu.

“Kalau soal itu jangan takut,” kata Nami. “ada Nami di sini. Aku bisa membiayai semua kebutuhan penyelidikan ini.”

Mika menggeleng. “Tidak boleh begitu.”

“Tidak apa-apa, Mik. Aku sudah berkomitmen untuk membantu dan aku akan membantu. Tidak perlu sungkan lagi.” jelas Nami.

“Tapi...”

“Sudahlah!” Nami menepuk pundak pemuda itu.

“Benar,” tambah Juna. “anggap saja masalah itu sudah selesai.”

Mika tersenyum dan bernafas lega. Ia merasa salah satu bebannya terlepas begitu saja. “Baiklah kalau begitu. Aku sangat berterima kasih sekali kepada kalian.”

“Mmm...” Juna menyipitkan matanya sedikit lalu tersenyum kecil, “aku tidak ikut kalian ke Israel.”

“Kenapa kamu tidak ikut?” tanya Nami.

“Tentu saja aku akan di sini untuk mencari data-data rahasia itu bukan? Dan aku harus tetap ada di Indonesia.” Juna menjelaskan.

“Iya. Benar juga.” Nami menganggukkan kepala.

Mika menoleh ke arah gadis itu. “Lalu kapan kita akan berangkat?”

“Pertama-tama,” terang Nami, “kita harus mengurus Visa dulu. Soal urusan itu, bukan masalah. Aku punya banyak teman di pemerintahan, jadi mereka tidak akan mempersulit dan bisa mempercepat prosesnya.”

“Tapi... sepertinya, ada satu masalah lagi.” ucap Mika.

“Masalah apa?” Nami bertanya.

“Apa kamu mengerti bahasa yang dipakai di sana?” Mika bertanya balik.

Nami menggeleng.

“Lalu bagaimana caranya kita nanti berkomunikasi di sana?” Mika mulai bingung.

“Bahasa Inggris?” Juna mengusulkan.

“Kurang efektif. Kita benar-benar harus punya seorang translator bahasa Israel. Dan untuk bahasa ini tidak akan mudah mencari orangnya.” terang Mika.

“Benar juga.” Juna menganggukkan kepalanya, tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu, ia segera mengambil handphonenya dan menelepon seseorang.

***

Ruben terjaga saat mendengar nada dering telepon. Dilihatnya jam di dinding sudah menunjuk pukul lima sore. Hmmm, rupanya cukup lama juga dia tertidur. Badannya terasa agak dingin dihembus AC yang disetel rendah. Sambil mengambil selimut, dia lihat layar HP-nya. Rupanya dari Juna, teman baiknya.

“Hai, Jun, ada apa?” dia bertanya. Diliriknya tubuh Tante Lita yang masih meringkuk telanjang di sampingnya.

“Halo, Ben... Aku ada perlu denganmu.” jawab Juna di seberang sana.

“Oh ya?” tubuh itu terlihat menarik untuk dipeluk dari belakang.

“Iya. Sebelumnya aku mau bertanya dulu.” sahut Juna.

“Tanyakan saja!” Ruben menebarkan selimut lebarnya hingga menutupi tubuh mereka berdua.

“Apakah kamu ada kegiatan atau pekerjaan selama satu bulan ke depan?” Juna bertanya.

“Tidak ada.” Ruben menyisipkan tangan kirinya ke bawah badan wanita cantik itu sementara tangan kanannya dipelukkan melingkupi dada tantenya yang besar.

“Kalau begitu, apa kamu akan tertarik dengan sebuah pekerjaan yang akan kuberikan kepadamu?” Juna menawarkan.

“Tergantung pekerjaan apa itu?” Ruben melekatkan pinggulnya ke arah pantat sang tante, sehingga otomatis kontolnya menempel di situ pula, di sela-sela paha belakang tante Lita yang bulat menggoda.
 
“Translator.” sahut Juna.

“Dalam bahasa apa?” Dasar darah mudanya masih panas, sejenak kemudian kontolnya sudah jadi burung perkasa yang siap tempur lagi.

“Israel.” Juna berkata.

“Ibrani atau Arab?” Ruben menggerak-gerakkannya menusuki sela-sela paha belakang Tantenya.

“Kedua-duanya.” ucap Juna.

“Oke. Untuk acara apa?” Tangannya pun tidak tinggal diam dan mulai memelintir puting Tante Lita kiri dan kanan seraya meremas-remas gumpalan kenyal itu.

“Ada teman kakakku mau menyelesaikan observasi buat skripsi di sana.” Juna memberi alasan.

Tapi Ruben tidak bisa langsung menyahut karena tantenya sekarang bangun dan bereaksi. Wanita cantik itu risih mendapat perlakuan seperti itu. “Sudah, Ben! Jangan lagi! Tante masih capek!” tante Lita beringsut menjauhinya.

“Emm, boleh. Kapan kita berangkat?” Tapi Ruben tetap memeluknya erat. Bahkan dengkulnya sekarang berupaya membuka paha tantenya dari belakang.

Tante Lita beringsut menjauh lagi dan kedua tangannya berusaha melepas pelukan sang keponakan. “Jangan, Ben! Aku ini Tantemu.” rintihnya sambil tetap membelakangi.

“Tapi, tadi kita sudah melakukannya, Tante!” Ruben bertanya tidak mengerti.

”Siapa itu, Ben?” tanya Juna.

”Ohh, bukan siapa-siapa.” Dia makin mempererat pelukannya pada tubuh montok sang tante. Sementara tante Lita sendiri langsung diam seribu bahasa, tak ingin affairnya ini diketahui oleh orang lain. ”Jadi, kapan kita berangkat?” Ruben bertanya.

“Sepertinya aku tidak akan ikut.” jawab Juna.

“Oke. Siapa pun yang nanti berangkat, kapan berangkatnya?” tahu kalau tantenya tidak bisa melawan, Ruben segera menciumi tengkuk wanita cantik itu.

“Secepatnya.” Juna menyahut.

“Oke, kebetulan aku sudah lama tidak ke sana.” dia juga melekatkan lagi kontolnya ke pantat tante Lita yang semlohai, tapi wanita itu kembali menghindar.

“Besok kamu bisa ke tempatku?” tanya Juna.

“Di villa?” Ruben menariknya lagi, dia tidak ingin bokong indah itu terlepas.

“Iya.” Juna menyahut pendek.

“Oke. Sampai ketemu besok!” dia yang sudah telanjur terangsang. Segera mematikan telepon.

”Jangan, Ben!” Lita merintih saat sang keponakan kembali memeluk tubuhnya.

”Kenapa, tante?” Ruben meminta alasan.

“Ini salah,” bisik Lita lirih. ”Aku sudah mempunyai suami, Ben.”

”Lalu kenapa tadi tante mau melakukannya?” Ruben terus mendesak. Pokonya dia tidak akan melepaskan wanita cantik ini.

”Ta-tadi... Tante khilaf.” Lita tergagap.
 
“Khilaf? Tapi kita sudah melakukannya sampai dua kali, Tante?” Ruben tidak habis mengerti.
 
“I-iya, Ben. Tante tadi benar-benar tak mampu menahan nafsu. Tante sudah lama tidak melakukan ini sejak Oom pergi ke luar negeri. Dan sekarang kamu merangsang Tante sampai Tante terlena.”
 
“Masak terlena sampai dua kali?”

“Yang pertama memang. Tante baru terbangun setelah... setelah kamu  memasuki tubuhku. Tante mau melawan tapi tenagamu kuat sekali sampai akhirnya Tante diam dan malah jadi terlena.”
 
“Kalau yang kedua, Tante?” tanya Ruben ingin tahu sambil mendekap lebih erat.

Lita berusaha menghindar dan menepisnya lagi. “Kamu mencium bibir Tante. Di situlah kelemahan Tante, Ben. Tante selalu terangsang kalau berciuman.”
 
“Oh, kalau begitu Tante kucium saja sekarang ya? Biar Tante bernafsu lagi.” sahut Ruben penuh nafsu sambil berupaya memalingkan wajah sang Tante.

Tapi Lita menolak keras. “Jangan, Ben! Sudah cukup. Kita jangan berzinah lagi. Tante merasa berdosa pada Oom-mu.” dia mulai terisak.

Ruben jadi mengendurkan serangannya, meski tetap memeluk tubuh montok wanita itu dari belakang. Mereka terdiam cukup lama, dengan tante Lita menangis sesenggukan dalam dekapannya. Tubuh wanita itu terasa berguncang kecil.

“Ya sudah, Tante. Sekarang kita tidur saja. Tapi bolehkan Ruben tetap memeluk Tante seperti ini?” tanya pemuda itu.
 
Tanpa diduga, Lita malah berbalik menghadapnya sambil membetulkan selimut dan berkata, “Tapi kamu harus janji tidak akan menyetubuhi Tante lagi?”
 
“Iya, Tante. Saya janji.” Ruben mengangguk. ”Anggap saja Tante sekarang sedang memeluk anak sendiri.” tambahnya.

Sekilas bisa dia lihat bibir sang Tante tersenyum. Di bawah selimut, Ruben kembali memeluknya dan merasakan tangan Tante Lita juga memeluknya. Buah dada besar milik wanita cantik itu terasa menekan dadanya, tapi Ruben mencoba untuk mematikan nafsunya. Kontolnya yang masih ngaceng, meski menyentuh paha sang tante, juga dia tahan supaya tidak tegang lagi. Wajah mereka berhadap-hadapan sampai napas Tante Lita terasa menerpa hidungnya. Mata wanita itu terpejam. Ruben pun juga mencoba untuk tidur.
 
Mungkin saking lelahnya, dengan cepat Lita terlelap lagi. Namun lain halnya dengan Ruben. Terus terang, meski sudah berjanji, mana bisa dia mengekang terus nafsu birahinya, terutama si ‘burung’ kecilnya yang sudah mulai mengepakkan sayapnya lagi. Dengan tempelan buah dada sebesar itu di dada dan pelukan hangat tubuh polos menggairahkan begini, mana bisa Ruben tidur tenang? Mana bisa dia menahan syahwat? Apalagi dia masih muda, masih kuat-kuatnya melakukan seks. Jujur saja, Ruben sudah benar-benar ingin segera menelentangkan tubuh Tantenya, menusuk dan memompanya sekali lagi!
 
Tapi dia sudah telanjur berjanji tidak akan menyetubuhinya lagi.
Mestikah janji itu dia ingkari? Apa yang harus dia lakukan? Bisakah tidak mengingkari janji tapi tetap dapat menyetubuhi Tantenya? Benak Ruben segera berputar. Dia ingat kata-kata Tante Lita tadi bahwa wanita itu paling mudah terangsang kalau dicium. Mengapa dia tidak menciumnya saja? Bukankah mencium tidak sama dengan menyetubuhi?
 
Ya, akhirnya Ruben memutuskan. Dia akan melakukannya. Mencium sudah lumayan daripada tidak sama sekali. Pelan dia sisipkan kaki kirinya di bawah kaki kanan Tante Lita, sedang kaki kanannya dimasukkan di antara kaki wanita itu sehingga keempat kaki mereka saling bertumpang tindih. Ruben tidak perduli zakarnya yang sudah jadi tonggak keras, melekat di pahanya. Dia merapatkan pelukan dan dekapan ke tubuh Tantenya. Lalu perlahan Ruben mendekatkan wajahnya ke wajah cantik sang tante dan menautkan bibirnya dengan bibir wanita cantik itu.

Ruben kembali berupaya memasuki rongga mulut sang tante yang agak menganga dengan lidahnya. Dia terus bertahan dengan posisi erotis ini sambil agak menekan bagian belakang kepala Tante Lita supaya pertautan bibir mereka tidak lepas. Dan usahanya ternyata tidak sia-sia. Setelah sekitar tiga menit kemudian, terasa gerakan lidah sang Tante. Serta merta gerakan itu dia balas dengan jilatan lidah juga.
 
“Emm.. emm.. hhmm..” desis Lita sambil membelit lidah sang keponakan.

Silat lidah ini berlangsung cukup lama dan ketika tanpa sengaja paha Ruben menyenggol memek tantenya, terasa agak basah disana. Pasti Tante Lita sudah terangsang, pikir pemuda itu. Tapi dia tidak mau memulai, takut melanggar janji. Biar Tantenya saja yang aktif.
 
Maka Ruben pun berusaha menambah daya rangsang pada diri wanita cantik itu. Pelan dia membimbing tangan kiri sang tante untuk menggenggam batang penisnya.
Meski mula-mula enggan, tapi lama kelamaan tante Lita mau juga melakukannya. Dia menggenggam ‘garuda perkasa’ milik sang keponakan sambil sesekali memijit-mijitnya hingga Ruben menggelinjang kegelian.
 
“Shh.. shh..!” desisnya sambil terus mengulum lidah sang tante.

Tangan kanannya, setelah membimbing tangan kiri Tante Lita untuk menggenggam kontolnya, lalu meneruskan perjalanannya ke celah paha wanita cantik itu yang sudah sangat basah. Ruben menyibakkan rambut-rambut tebal di sekitarnya, mencari celah-celah yang ada disana lalu menyisipkan jari telunjuk dan tengahnya kesitu. Dia menggerakkannya keluar-masuk hingga membuat Tante Lita mendesis-desis keenakan. Genggamannya di kontol Ruben jadi terasa lebih kuat. Ruben jadi tidak tahan lagi.
 
“Masukin ya, Tante?” bisiknya, lupa pada janjinya.
 
“Ja-jangan, Ben!”
 
“S-saya.. sudah nggak tahan lagi, Tante!” pinta Ruben memelas.
 
“Di-dijepit paha saja ya?” Tanpa disuruh, Lita lalu telentang dan mengangkangkan pahanya.

Pelan Ruben menaikinya. Dengan bimbingan wanita itu, Ruben menaruh kontolnya diantara paha tante Lita yang montok, sekitar sejengkal di bawah memek. Dan tante Lita menjepitnya nikmat. Wanita itu menggerak-gerakkan pahanya sehingga kontol Ruben serasa terpelintir-pelintir nikmat sekali.
 
Payudara besar sang Tante juga menekan dadanya. Terasa sangat empuk dan hangat sekali. Dengan tangan kirinya, Ruben segera memilin dan memijit-mijit putingnya yang sebelah kanan. Dia juga melanjutkan ciumannya ke bibir tipis wanita cantik itu. Sementara tangan kanannya, kembali memasuki memek sang Tante dan mengocoknya.
 
“Heshh.. heshh.. Ben.. mmhh..” Tante Lita sulit bicara karena mulutnya dilumat kuat oleh Ruben. “Tanganmu.. Ben!” dia berusaha menghentikan kegiatan tangan kiri sang keponakan di putingnya, juga kocokan jemari Ruben di dalam memeknya.
 
Ruben segera menghentikan gerakannya, tapi tiga jari tetap terendam di memek basah sang tante dan mengutil-ngutil kecil. Sampai Tante Lita akhirnya tidak tahan dan mengangkangkan sedikit pahanya hingga jepitan pada kontol Ruben terlepas. Cepat pemuda itu menarik jemarinya dari situ dan menaikkan sedikit tubuhnya sehingga sekarang ganti kontolnya yang berada di depan pintu gerbang nikmat itu. Kepalanya malah sudah menyeruak masuk.
 
“Hshh.. Ben, jangan dimasukkan!” Tante Lita buru-buru memegang kontol itu dan menggenggamnya erat.
 
“Tapi saya sudah nggak tahan, Tante.” desis Ruben.
 
“Cukup kepalanya saja, Ben.. dan jangan dikocok!” Tante Lita memperketat genggamannya, sementara Ruben semakin memperkuat tekanan kontolnya.
“I-ingat janjimu!” bisiknya menambahkan.
 
“Ta-tapi, Tante juga ingin kan?” tanya Ruben polos.
 
“I-iya sih, Ben. Tante juga sudah nggak tahan. Tapi ini zinah namanya.” Lita beralasan.
 
“Apa kalau tidak dimasukkan bukan zinah, Tante?” tanya Ruben bloon.
 
“Bu-bukan, Ben. Asal penismu tidak masuk ke memek Tante, bukan zinah.”

Ruben jadi bingung. Terus terang, dia tidak mengerti definisi zinah menurut Tantenya ini. “Kalau begitu, apa Tante punya jalan keluar? Kita sudah sama-sama terangsang berat. Tapi kita nggak mau berzinah.”
 
“Engh.. gini aja, Ben. Tante akan.. ughhh.. mengulum punyamu.
Turunlah sebentar!” kata tante Lita.
 
Ruben pun menurut, dia turun dari atas tubuh montok sang Tante dan berbaring telentang. Tante Lita bangkit lalu memutar badannya untuk  mengangkangi. Mulutnya ada di atas kontol Ruben sementara memeknya ada di atas wajah sang pemuda. Ruben merasakan tantenya yang cantik dan seksi itu mulai menggenggam dan mengulum batang penisnya. Dia mengemut dan menggerakkannya naik turun di dalam mulutnya.
 
”Shiit..
hsshh.. nikmat sekali.” Jemari Ruben segera menangkap pinggul tantenya yang bergerak maju mundur dan segera menyelipkan empat jari kanan ke memek wanita cantik itu. Dia menggerakkannya cepat, cenderung kasar, keluar masuk di dalam vagina tantenya yang sempit sampai basah semuanya.

“Ugh.. uughh.. uagh.. Ben!
Kok enak banget sih.. Tante mau keluar, mmhhh.. mmhhh..” sambil terus mengulum, tante Lita mulai meracau.
 
Sekejap kemudian tubuhnya berhenti bergerak, lalu pinggulnya yang bulat, yang sedang dipegangi oleh Ruben, terasa berkejat-kejat. Kemudian cairan hangat membanjiri tangan pemuda itu, sebagian bahkan menetesi wajahnya. Ruben mencium bau cairan seperti air maninya, hanya saja bentuknya lebih encer dan bening.

Tante Lita kemudian terkapar kelelahan di atas tubuhnya dengan posisi mulut tetap mengulum kontol Ruben yang besar sambil sesekali mengocoknya pelan.
Diperlakukan seperti, tidak berapa lama, Ruben pun merasa mau keluar.

“Engh.. aghhhh.. Tante! Saya mau keluar!” lirihnya.

Tante Lita malah mempercepat kocokannya dan memperdalam kulumannya. Ruben berkejat-kejat dan muncrat memasuki mulut Tantenya. Wanita itu menerimanya dengan senang hati dan menelannya tanpa rasa jijik sedikit pun. Semuanya habis ditampung oleh mulutnya.

Ruben pun lemas dan ikut menggelepar kelelahan. Tangan dan kakinya terkapar lemas ke kiri dan ke kanan. Tante Lita juga terkapar kelelahan namun mulutnya masih terus menjilati kontol Ruben hingga bersih, barulah kemudian dia berbalik dan memeluk sang keponakan. Wajah mereka berhadapan, mata Tante Lita terlihat merem-melek.
 
“Kalau yang barusan ini bukan zinah, Tante?” tanya Ruben lagi, tangannya memegangi payudara wanita itu yang teronggok besar di depannya.
 
“Bukan, Ben, karena kamu tidak memasukkan kontolmu ke memek Tante.” jawab tante Lita sambil matanya memejam.
 
Ruben tersenyum, suka dengan definisi zinah tantenya yang cantik ini. “Jadi kalau begitu, boleh dong kita melakukan lagi seperti yang barusan ini, Tante?”
 
“He-eh..” jawab tante Lita sambil terkantuk-kantuk kemudian dengkur kecilnya mulai terdengar.
 
***

Juna melihat kedua orang di hadapannya yang terlihat bingung dengan kelakuannya. Bocah itu hanya tersenyum kecil. “Itu temanku, Ruben.” dia menjelaskan.

“Oke.” Mika mengangguk. Sementara Nami menatap adiknya dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Dia itu translator kita. Tenang aja, percaya sama dia. Dia profesional kok. Dia teman baikku dari kecil dan sedikit aja tentang kemampuannya, dia menguasai 13 bahasa dunia, termasuk bahasa yang dipakai di Israel.”

Nami tersenyum, sedangkan Mika memasang ekspresi takjub. ”Mmm, baiklah kalau begitu, secepatnya kita berangkat.” ucap gadis itu.

”Terima kasih ya, Jun.” Mika mengelus kepala si bocah. Juna hanya tersenyum senang menerimanya.

BERSAMBUNG