Aku masih jengkel dengan suasana hari ini. Pagi-pagi kok sudah adu mulut, kalau sudah begitu maka satu hariku penuh pasti penuh kemuraman dan kedongkolan. Emosiku sudah menyedot energi sampai-sampai kerjapun tidak konsentrasi dan asal masuk kantor saja. Huahm, emang cewek susah sekali dimengerti. Ada saja yang bisa membuatnya ngomel panjang pendek. Misal karena telat jemput tadi pagi, padahal toh cuma persoalan 5 menit (ditinjau dari setting arlojiku maksudnya, he… he… he…). Kapan-kapan gara-gara lupa mampir beliin minyak wangi titipannya, lain waktu gara-gara ketiduran di gedung bioskop, dan sebagainya.
Berhubung kejengkelanku belum sirna sama sekali maka aku cabut dari kantor sebelum jam 4, toh berlama-lama di kantor juga percuma. Mondar-mandir ke toilet cuci muka, pura-pura buang hajat padahal ngerokok, pura-pura serius menatap monitor padahal tidak ada satu file-pun yang kubuka kecuali screen saver yang meliuk-liuk warna-warni (untung meja kerja kami diberi pembatas meskipun tidak penuh, sehingga masing-masing karyawan masih memiliki privacy yang cukup memadai).
Jadi sejak persengketaan tadi pagi sampai sore ini komunikasi kami sementara terputus, di mana masing-masing pihak sedang sibuk menenangkan (atau melepaskan) ledakan emosi dengan cara masing-masing. Aku suka keluyuran putar-putar tanpa arah yang penting adalah bergerak. Kalau cewekku paling pol juga mencari korban lagi di antara sahabat-sahabatnya untuk dicurhati sampai diusir saking kuping mereka sudah panas. Kalau yang sudah pernah pengalaman dicurhati bakalan jauh-jauh sudah pasang tampang pedes, staf-staf barulah yang masih hijau yang bakalan jadi sasaran empuknya. Tapi herannya kok ya masih pada mau berdekat-dekatan sama cewekku ini, masih mau bergerombol-gerombol makan siang atau jalan-jalan ke mall dekat kantor mereka. Demikian kali ya dunia kaum hawa. Mereka masih lebih membutuhkan satu sama lain meskipun suka saling omel-mengomeli.
Darahku semakin mendidih saja, lagi emosi begini kena macet lagi, sumpah serapahku mengalun tak henti-hentinya dan terus menderu-deru laiknya gas mobil yang kutekan-tekan. Ketololanku adalah aku lupa jam segitu di Jakarta adalah saat-saat lalu lintas lagi padat-padatnya, lha kok malah keluar jalan-jalan cari angin, rencananya, hasilnya yang ada malahan bukan jalan-jalan akan tetapi beringsut-ingsut. Kusumpahi semua orang di jalan kenapa mereka tumpah ruah tanpa mempedulikan kebutuhanku. Mbok ya sana cari jalan lain jauh-jauh dari aku atau bikin sendiri-sendiri saja, lebih bagus lagi kalau pada minggat dari Jakarta.
[Sosok-sosok] Sampai akhirnya kuputuskan daripada jalan tak tentu arah maka aku belok ke Grand Wijaya wilayah Blok A, di sana aku bisa memilih mau nonton atau pijat, atau nongkrong ngopi saja. Sejenak aku meminggirkan mobil untuk menimbang-nimbang. Ah, yang paling tepat adalah memarkirkan mobil di dalam kompleks. Perkara nanti akhirnya ingin sekadar nongkrong saja toh tinggal jalan kaki keluar menuju sisi luar dari kompleks, di sana ada beberapa cafe lumayan.
Kuarahkan mobilku menuju lokasi parkir dekat ATM berwarna biru sekalian mau narik cash. Syukurlah ternyata masih ada satu yang kosong. Dari dalam mobil kulihat ada beberapa orang yang lagi antre. Dan oh… Ada dua sosok cewek di antara antrean itu. Mereka bercanda. Yang satu berambut panjang, mata besar, hidung mancung, tinggi langsing, berkulit kuning langsat dengan kaos ketat warna pink.
Satunya sedikit lebih pendek, hidung lokal termasuk matanya, kulit krem (lebih terang dari hitam manis), berkemeja coklat, rambut potongan pendek, sedikit lebih montok, teteknya maksud saya. Hmm hehe. Keduanya memakai celana jeans di mana kaosnya sama-sama menggantung tidak menjangkau sampai celana. Standar pakaian cewek masa kini, menyisakan kulit-kulit pinggang untuk disiarkan. Bagus juga sih begitu, hihihi. Malah ada yang sampai CD-nya nyaris kelihatan semua ketika nungging dibonceng motor pacarnya atau dibonceng tukang ojek atau dibonceng pacarnya yang tukang ojek. Yang pasti adalah pantat yang berambut pendek ini lebih besar dari yang berambut panjang.
Sebaiknya kuberdiam diri dulu di dalam mobil saja sambil secara leluasa memandangi cewek-cewek itu secara lebih leluasa. Mereka tidak bakalan tahu kutatapi begini, film kaca mobilku 70%, sangat gelap. Sudah keluar satu makhluk dari ATM. Seekor cowok, sekilas melihat para cewek tadi. Terus ngeloyor entah ke mana. Masih ada 5 lagi, ada 3 ekor Om-Om selain ke dua bidadari itu (hihi, sori ya Om-Om). Kalau ternyata salah satu cewek itu hanya mengantar maka tinggal 4 antrean lagi. Baiklah, nyantai saja, aku toh punya waktu banyak. Kuputar CD lagu. ‘Girl from Ipanema’ yang Bossas itu yang pertama mengalun.
Seleraku memang rada-rada ndangdut, makanya koleksiku lebih mengarah pada lagu-lagu latin ketimbang rock atau pop. Ketukan-ketukan perkusi lebih mampu memikat hatiku ketimbang suara-suara tiup atau ringkikan-ringkikan gitar elektrik. Tinggal satu lagi sebelum para cewek itu. Aku keluar mobil persis satu lagu tadi habis. Kuberdiri di belakang si Krem Manis.
Kutatap tengkuknya (rambutnya pendek, jadi tengkuknya ternampak, lalu aku tengok saja), ada bulu-bulu halus. Mereka menoleh ke arahku, wajar sekadar ingin tahu kedatangan orang. Sengaja kutatap langsung ke arah mata salah satu dari mereka, yang berambut panjang. Yang satu ini berdirinya tegak lurus (90′) dengan arahku jadi dia lebih mudah membelokkan kepalanya ketimbang si Krem Manis yang membelakangiku. Kami agak lama saling bersitatap, kira-kira 7 detik (mungkin kalau kita menatap orang secara ‘menohok’ akan menimbulkan hawa hipnotis kali ya, sehingga lawan tatapan kita akan tercekat seolah-olah terperangkap seperti kucing menatap tikus).
Mereka melanjutkan canda tawa, cekikikan sana cekakakan sini, menimbulkan kesan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Anak gaul kali. Yang begini lebih tepat kalau langsung disapa bila kita memang ingin kenalan. Kalau memang mau maka tidak akan memerlukan waktu lama untuk segera berakrab-akraban, kalau memang tidak ingin juga akan jelas. Kalau cewek-cewek manis rumahan serba tidak jelas, mau dan enggak sulit dibedakan meskipun pada akhirnya mau. Tergantung tingkat kenekatan cowoknya.
Tapi itu persepsiku semua yang kusadur dari cerita teman-temanku yang berpengalaman yang sebentar lagi akan kupraktekkan (jadi jangan tersinggung ya pemirsa, cool aja). Anehnya kok sukses sekali pengalaman praktek kerja lapangan yang baru pertama kali kujalani ini. Oh, kenapa nggak dari jaman dulu kala.
[Salam-salaman]
Kucoba cari momen bersitatap kembali. Siapa saja dari kedua orang ini. Caranya, pandang mereka bergantian terus-menerus. Bila mereka akhirnya menoleh karena merasa diperhatikan, langsung lempar senyum dan ucapkan salam.
“Hai….”
Memang begitulah kebetulan akhir dari drama caper (cari perhatian) ini, lalu dilanjutkan dengan dialog-dialog standar sebagai berikut.
“Kenalin, Prakosa…” tanganku sudah melaju ke depan. “Winnie,” jawab si Langsat.
Untung disambut. Kalau enggak ya biasa, kadang untung kadang buntung. Kayak dagang, mengandung resiko.
“The Pooh,” batinku. “Ruly,” jawab si Krem. “Mau nonton?” aku bergegas. “Yoi,” jawab si Tinggi (atau sama juga dengan yang Kuning alias Winnie, baca lagi deskripsi di atas kalau lupa yahh). “Apa nih?”. “Collateral”. “Wah kok sama ya,” jawabanku akan selalu fleksibel dalam situasi darurat-darurat macem begini. Mengikuti arah angin. Jurus-jurus cowok sepanjang masa.
“He he he, kuno deh,” Ruly nyengenges bijak atas siasat-siasat kuno begini. “Tapikan manjur sepanjang masa. Ya kan?”. “Yoi, so bertiga nih?” potong si Mancung (hayo, ingat yang mana..). “Jelas, ada kasus?” maksudku ‘ada kasus’ adalah ‘ada masalah’ atau ‘keberatan’. Eh mereka cepat mengerti dengan kata yang baru kugunakan itu.
“No problem-lah. Tapi you yang antre, nih duit kami berdua.” “Ok deh, nggak mau dibayarin nih?” basa-basi kunoku muncul ulang. “Udah deh, rileks aja.” “Sip deh.”
Lalu kami meninggalkan lokasi ATM. Sambil ngobrol tentunya. Benarkan kataku, cewek-cewek ini emang anak gaul jadi enak digauli (maksudku diajak bergaul, jangan nafsu dulu dong, entar ada epsiodenya sendiri).
[Santap-santapan]
“Wah main jam 8 nih, gimana nona-nona?”. Ternyata jam main Collateral jam 8 ketika kulihat jadwalnya, masih ada 1 jam lagi. “Ya udah makan dulu aja yok,” Ruly menawarkan solusi. “Tapi mending beli tiket dulu kali,” ujarku. “Sure, antrelah dikau,” Winnie menginstruksikan.
Langsung aku menuju loket sementara mereka menuju sofa-sofa tunggu. Antrean tidak terlau panjang, soalnya bukan hari libur dan bukan harinya nomat. Ini hari Kamis pemirsa, tepatnya tanggal 16 September 2004 kalau mau tahu. Sori ya lupa kasih preambul. Sori dong. Giliranku maju.
“3 orang Mbak, minta di baris C tengah deket gang ada nggak?” pesanku sambil menyerahkan uang. “Baik.”
Kuamati si penjaga loket. Wow, di bibirnya ada bulu kumis tipis. Seksi sekali cewek ini. Dia tahu kalau kuamati. Senyum tipis ketika melirik. Disodorkan tiket. Kulirik tangannya, oh mijn god, ada bulu-bulu kucingnya juga. Kuambil tiket sambil sengaja kusentuh tangannya. Melirik dan tersenyum lagi doi. Secara cepat kilat kuambil kartu namaku dan kuserahkan bersamaan ketika dia menyerahkan uang kembalian. Kukedipkan mataku, dia mencebirkan bibirnya. Adegan-adegan ini amat merangsangku.
“Yok makan,” kejemput kedua bidadari tadi di sofa penunggu.
Mereka duduk membelakangiku. Kami keluar gedung kembali mencari tempat makan.
“Apa dong?” sejenak kami berembug. “Ayam goreng aja, tuh ada fast food,” sesuai dengan potongan rambutnya yang pendek, selera makannya pun praktis juga nih si Kemeja Coklat (Ruly, huh lupa melulu nih pemirsa). “Nggak nglawan, ayo,” nggak nglawan tuh setuju aja maksudnya. Kami mencari tempat duduk di pojok setelah memesan makanan. Giliran makan aku didiamkan saja untuk membayar. Ternyata mau juga dibayarin. Naluri kewanitaanya keluar deh, naluri dibayarin. Hihihi.
Lalu kami sambil bersantap melanjutkan perkenalan kami.
“Lu-lu pada kerja apa masih sekolah?”. “Kul, di LA”.
Untung aku tahu LA itu Lenteng Agung, pada suatu ketika sekian tahun yang lalu baca koran mengenai sebuah perguruan tinggi ilmu sosial swasta yang cukup dikenal itu.
“Dua-duanya?”. “Yup, kami sekelas.” “Jurnalistik?”. “Yup,” keriuk-keriuk ayam renyahnya tanpa sungkan-sungkan disiarkan suaranya oleh Ruly. “Ker di mana lu?”. “Di Kuningan, kantorku jualan alat-alat telekomunikasi.” “Wah untung lu nggak kena bom, kalau kena nggak bakalan lu nemuin cewek-cewek cakep kayak kita gini, hehe,” cengengesen melulu nih si Pantat Montok. “Hush, kita masih perlu berduka buat mereka jangan bercanda yang begituan,” aku pura-pura serius.
“Upps, sori Bang.” “Lu berdua rajin nonton ke sini emang?” kualihkan ke suasana yang kembali rileks. “Nggak sih, kadang. Tadi mau ke KC tapi mendingan ke sini aja, maklum anak sekolahan duit masih minta bokap,” jawab si Langsing. “Ooh…” aku hanya ber oh-oh. Soalnya sekelebat bayangan penjaga loket yang bibirnya berkumis halus muncul. “Lu tingkat berapa? Dan entar mau kerja di mana?”. “Lagi skripsi, kerja apa aja. Susah deh gini hari cari ker, mau nampung?” kata Winnie. “Mau numpang aja, hehe,” candaku memancing.
Tapi sekelebat bayangan si bulu kucing melintas lagi. Aku terhorni lagi.
“Jidat lu, enak aja numpangin orang, baru juga kasih makan dah nglunjak,” Ruly cekakakan menjawab. “Loh, ini bukan urusan makan, tapi urusan setelah makan,” aku nyosor terus.
Inilah gunanya cari tempat duduk mojok biar kalau ngomong kebablasan begini seminimal mungkin dipergoki orang.
“Lu nggak pingin jadi wartawan aja?” kucoba manuver biar nggak ketahuan terlalu bernafsu. “Boleh juga, tapi nggak tahulah entar aja. Kayaknya ramai juga persaingan jadi wartawan.” “Eeh, belon-belon kok pesimis. Lu pada mesti punya tujuan dari sekarang entar mau apa mumpung belon lulus,” sok tua deh aku menasihati mereka. “Maunya sih jadi pembawa berita, bacain doang tapi keren tuh,” cekikikan lagi Ruly. Kuevaluasi ternyata memang Ruly yang lebih bawel ketimbang Winnie.
[Sentuh-sentuhan]
“Eh sudah kurang 10 menit lagi, yuk,” sela Winnie. “Lu mau di tengah apa di pinggir,” kata Winnie lagi. “Tengah dong, biar adil,” hidungku kembang kempis serasa mendapat suplai oksigen berlebih. “Bener ya yang adil, awas kalau Ruly aja yang dijamah, huahaha,” meledak tawa Winnie atas kejorokannya sendiri. “Dijamin, dosa kalau enggak,” wah kubawa-bawa jargon agama segala. “Muka lu bawa-bawa dosa segala,” cekikikan Ruly.
Mereka sudah mulai mau merapat-rapat jalannya denganku. Kadang buah-buah mereka tersenggol-senggol lenganku. Permulaan yang bagus. Tapi masalahnya aku saat ini lagi horni ke orang lain. Jadi kubayangkan toket si Penjaga Loket yang gede juga ukurannya yang menyenggol-nyenggol lenganku. Suara-suara panggilan ke studio 3 sudah berkumandang. Itu studio di mana Collateral diputar. Kami langsung masuk dan tanpa sungkan aku mengambil duduk di tengah.
“Geer lu,” Winnie mendengus. Dengan mantap aku duduk di tengah mereka sambil nyengir. Dering SMS berbunyi, kubaca. Upps, dari Penjaga Loket. “Mau ketemuan nggak?” tulisnya. Kujawab dengan semangat, “Malam ini jam 11 langsung aja ke hotel M di M, ok honey?”. Uji coba langsung ke pokok persoalan. “Ok deh”. Eh disambut. Ruaarr biasa.
Mereka di kanan kiriku cuek dengan aktivitasku. Lengan-lengan kami sudah saling bersentuhan. Kanan kiri. Kayak raja minyak kupikir-pikir, dikelilingi wanita selalu. SMS berdering lagi.
“Lu di mana?”
Aduh pacarku sudah mulai mau berbaikan kembali. Kubiarkan saja besok tinggal bilang ketiduran dari sore atau HP dimatiin lagi dicharge. Kumatikan HP ketika film sudah mulai. Kutengok kanan kiri.
“Mau ngapain lu,”
Kupikir marah nggak tahunya serentak mereka mendekatkan diri dan memasukkan lengan masing-masing ke lenganku. Anak-anak gaul sejati. Mereka sudah membelitkan diri. Nah, tetek-tetek mereka sudah mulai langsung kontak dengan diriku. Yang terasa emang punya Ruly, lebih gede sih. Kepala mereka disandarkan di pundakku. Aku meregangkan tanganku ke arah paha-paha mereka. Di samping lengkanku dapat menekan-nekan penuh tetek-tetek mereka, aku mencoba lebih intim lagi. Kuusap-usap pelan lalu kubiarkan parkir dulu di sana.
“Hmm, mulai nafsu nih ye,” cekikikan mereka berdua. Kutoleh ke kiri, Ruly, “Excuse me, your lips”. Kukecup bibir Ruly. Lalu ke kanan, “Please.” Kukecup juga bibir Winnie.
Kulepas belitan lengan kemudian aku merengkuh melalui belakang punggung mereka. Maksudku agar aku dapat menjamah tetek mereka. Kalau dalam posisi tadi sulit sekali, posisi lenganku di depan tubuh mereka.
Film bagiku sudah menjadi nomor sekian. Aku sedang berkonsentrasi dan menyibukkan diri meraba. Kuusap pelan mulai dari perut. Arah hidung mereka tidak lagi ke depan, lebih dekat ke leherku. Secara perlahan hembusannya semakin dalam dan kuat.
“Ehhm..”.
Kuputari pinggiran tetek mereka dengan telapak tanganku dengan usapan-sapan, ujung jari telunjukku kusentuhkan ke puting. Tidak menekan, hanya menyentuh.
“Ehhm.. Ooh…” lenguhan-lenguhan tipis dan hembusan udara dari hidung mereka menerpa leherku semakin kencang. Kontolku semakin tegang. Sejak masuk ke ruangan sebenarnya sudah, saat ini semakin kencang. Lebih-lebih tangan-tangan mungil mereka mulai mencari-cari selangkanganku, persis di bawah kontol, lalu mengurut masing-masing kanan dan kiri. Ini sebenarnya lebih nikmat sebagai pembukaan ketimbang langsung pegang kontol. Lebih-lebih ketika menyentuh persis di pangkal batang di antara dua bola bakso itu. Wuuihh. Ampun deh. Nampaknya mereka ahli sekali. Jangan-jangan mereka eks tukang pijat, atau nyambil. Hihi.
Setelah agak lama aku mengusap-usap kaum tetek itu, kutingkatkan dengan meremas. Kusorong dari bawah ke atas. Pelan tapi kuat.
“Ohh.. Oohh.. Mas…” berselingan di telinga kanan-kiriku lenguhan-lenguhan yang agak keras suaranya. Aku sadar, lalu kutengok ke sekitar. Untunglah sepi, dan yang ada duduknya berjauhan. Barangkali mereka sedang beradegan sendiri juga. Kalau penontonnya pada begini mending mereka nyewain tempat aja, film nggak usah diputar, asal dikasih suara audio kenceng-kenceng dan lampu dimatikan. Hehehe. Kulanjutkan ya pemirsa.
Rupanya si Winnie sedang mencoba membuka resleting, kubantu mengangkat pantat. Jeans memang sulit dibuka resletingnya. Aku nanti nggak mau kalah juga ah, tapi sementara ini aku masih menikmati aktivitas meremas.
Kutoleh ke kanan, kupagut mulut Winnie. Lidah kami beradu seperti bergulat di dalam mulut dan saling memilin. Berkecap-kecap enak rasanya. Kugilir Ruly kemudian. Dia sudah menengadah siap dilumat. Dengan rakusnya kuhisap dan kutelan bibirnya secara penuh sementara lidahku menjulur ke dalam mencari lidahnya. Diadu dengan sekuat-kuatnya lidah-lidah kami.
Sementara itu Winnie sudah berhasil melolosi burungku dari sangkarnya. Kepalanya turun, dielus terlebih dahulu si my little brother. Lalu mulai dijilati dengan lembut. Ketika dia menunduk tanganku menyusup di balik kaosnya lalu menyusup di dalam kutangnya. Sekarang teteknya telah kujamah secara langsung. Lembut sekali kulitnya. Lumayan sudah keras, kucari putingnya lalu kusentuhi dengan ujung telunjuk jari. Semakin cepat kegiatan Winnie dalam menjilat akibat rangsangan di putingnya. Tangan kiriku tak kalah nggragasnya sudah
Meremasi tetek Ruly langsung di dalam kutangnya. Lidah kami masih beradu dan bertempur. Saking nafsunya aku lupa mengambil nafas sampai tersedak. Kuhisap oksigen sebanyak-banyaknya lalu mulai kuserbu lagi Ruly, kali ini leher dan belakang telinganya. Dia mengelinjang liar. Badannya tertegak-tegak, karena posisinya jadi lebih lurus menjadi terbuka kesempatan bagi tanganku untuk masuk ke dalam celananya. Kutelusuri sampai menemukan gundukan. Kuusap. Semakin liar goyangan kepala Ruly, desahannya sudah mulai tak terkendali. Biarlah, suara sound system sangat kencang, mungkin bisa melindungi erangan-erangan kami.
“Ahh.. Esshh.. Oohhss,” terjepit tanganku oleh selangkangan Ruly.
Horni berat nampaknya dia. Kucoba lepaskan dan mulai menyusup ke dalam CD-nya. Jembutnya tebal sekali dan kaku. Kubekap sejenap gundukan itu, gemas aku. Kuremas-remas.
“Masshh.. Ouugh.. Ahhg.. Shh…” dibantu tanganku meremasi gundukannya oleh tangannya dari luar celana.
Jari tengah tanganku tepat berada di belahan veginya. Kuperosokkan untuk mencari itilnya, telah basah sekali suasana internalnya. Ketemu. Kutekan-tekan.
“Aadduuhh.. Masshh.. Ahhgg.. Teruusshh.. Teruusshh…”
Semakin mengejang-ngejang Rulyku. Semakin cepat lalu menegang sampai tanganku terjepit kuat oleh selangkangannya.
“Ahh.. Masshh.. Uudaahh.. Keelluuaarrh.”
Gantian tangan kananku menyusup ke dalam celana Winnie. Dia masih asik mengenyot rudalku yang sudah mulai menetes-menetes.
Kutahan-tahan biar tidak jebol dengan mencoba memperhatikan film. Jembut Winnie tidak setebal Ruly dan lebih halus. Kubekap-bekap, lalu kucari itilnya dengan jari tengah. Banjirnya lebih banyak dari Ruly, tiba-tiba dia menghengtikan kenyotannya akibat tidak kuat menanggung deraan kenikmatan luar biasa atas itilnya yang mulai kutekan dan kujawil-jawil.
“Iigghh.. Eaarrgghh.. Uuhh.. Ehhmm…” erangannya nyaris membikinku menghentikan aksi jariku saking lumayan keras suaranya. “Teruusshh.. Oohh.. Terrusshh.. Ennakkss.. Sshh.. Sekkallii.. Oohhs.. Shh,” kupercepat genjotan jariku atas itilnya. Nggak mengerang lagi Winnie kecuali hanya menggeleng-nggelengkan kepalanya kanan-kiri dengan liarnya dan meremas erat kontolku. Cairan kewanitaannya semakin luber bersamaan kedutan veginya yang semakin cepat.
“Aagghh…” lalu dia lemas akibat telah mencapai orgasme.
Aku belum keluar. Aku punya agenda berikutnya sehingga aku tahan-tahan. Aku sudah merencanakan akan melanjutkannya dengan Si Bulu Kucing. Aku akan melakukan habis-habisan dengannya. Dia mau ke hotel, berarti siap untuk saling melahap.
Film selesai jam 10 kurang, lampu ruang mulai terang benderang. Untung kami sudah merapikan pakaian agak yang berantakan. Kutawarkan mengantar pulang pada mereka, basa-basi tentu saja sementara kuharap ditolak. Soalnya aku lelaki yang sedang memiliki agenda. He… he…
“Thanks, kami bawa mobil kok.”
Terus kami berpisah setelah saling bertukar no HP.
[Sudah Sampai]
Aku buru-buru memacu mobilku menuju hotel M di daerah M takut Si Bulu Kucing sudah menunggu. Aku tadi nggak berani menawarkan berangkat bareng, siapa tahu kedua bidadari tadi minta diantar. Jadi begitulah skenario yang dapat terpikir olehku saat itu.
Sudah sampai hotel yang kujanjikan tadi. Kumasuki pelataran hotel, nampak tidak terlalu ramai. Aku langsung menuju lobi, ku-SMS terlebih dahulu Si Bulu Kucing sebelum memesan kamar untuk memastikan bahwa dia jadi mau ketemu.
“Jadi ketemuan?” tulisku singkat. “Lagi nyari taksi, Om. Sabar ya hehe.,” sial sudah dipanggilnya aku Om. Memang sih sudah Om-Om, angka 36 pantaslah menggolongkan diriku ke dalam grup Om-Om. Karena sudah deal mau ketemu aku menuju resepsionis booking kamar. Kupesan kamar standar saja, yang smoking room.
Aku masih belum bisa berhenti merokok meskipun sudah diancam pacarku. Aku bilang sudah berusaha, tapi kalau gagal ya terserah mau diambil keputusan apa saja kataku. Yang penting tidak melukainya. Aku paling pilu kalau melihat wanita dilanda perasaan tak berdaya.
Entah kenapa sudah lama aku kehilangan hasrat bercumbu dengan pacarku. Sensasinya sudah hilang lama. Apakah semua ini karena kejadian setahun yang lalu, ketika dia ‘dikerjai’ orang. Padahal sudah berkali-kali kubilang, sebagai makhluk lemah harus antisipatif.
Antisipasi, hanya itu senjatanya bila kita tidak memiliki kekuatan. Hindari keadaan, tempat, atau waktu yang dapat membahayakan keselamatan ataupun kehormatan. Entah karena terlalu polos, entah terlalu berlebihan menganggap baik semua orang, entah karena menyepelekan himbauanku bahwa dipikirnya kejadian yang begitu nggak bakalan terjadi pada dirinya, lalu akhirnya terjadi juga.
Aku rajin menghimbau begitu mungkin pada dasarnya secara bawah sadar aku enggak mau menerima ‘korban’ orang lain. Ada semacam perasaan terhina bahwa aku hanyalah sebagai tempat pembuangan akhir para berandal-berandal itu. Enak di mereka dong. Mending yang ngerjain pacarku melebihi aku, eh ini malah berandal kampung yang enggak jelas KTP-nya. Ini sebenarnya yang pinter penjahatnya atau yang bodoh pacarku. Masak sama berandal udik begitu bisa dikerjain.
Tapi bagaimanapun aku amat sangat tidak prihatin sekali, jadi aku melanjutkan hubungan sebagaimana biasa. Rasa kasihanku tidak terperi sebenarnya, hanya pada saat yang sama secara bawah sadar egoku sulit menerimanya.
Hingga akhirnya aku kehilangan hasrat mencumbunya seperti sedia kala. Sudah terbang ke angkasa nafsuku. Pacarku merasakan perubahan ini, lalu sempat minta putus. Aku tidak mengiyakan atau menolaknya. Aku semacam lelaki yang terbengong di titik persimpangan. Rasa cedera dan prihatin sama kuatnya saling tarik-menarik. Energiku terkuras luar biasa karena jiwaku selalu berputat-putar tidak tahu akan menuju ke mana hubungan ini pada akhirnya. Pada saat itulah aku mulai merasakan gairah terhadap cewek-cewek di bawah strataku yang dulu di luar jangkauan radarku, misal si Penjaga Loket ini.
Aku sering mambayangkan menyetubuhi mereka. Mereka sekarang lebih mampu membangkitkan gairahku. Sudah campur aduk kali antara gairah seksual dengan gairah memainkan kekuasaan. Seolah-olah mereka lemah di hadapanku. Mungkin raja-raja dulu mengkoleksi banyak wanita lebih untuk alasan kekuasaan, lebih menikmati ketakberdayaan wanita di bawah kekuasaannya ketimbang murni urusan seksualitas. Tapi memang keduanya suka bercampur padu dan sulit dikenali mana yang lebih berperan.
“Hai dah lama ya Om, hehe,”
Bulu Kucing mengagetkanku. Om? Waduh aku sudah setara Om-Om. Memang sih, bilangan 37 menyudutkanku ke kategori Om-Om. Lantas aku bangkit dari sofa lobi menuju pintu lift bersama. Kamarku di lantai 7, bernomor 717.
Kami cepat intim. Tanpa canggung dia menggelayut ke lenganku. Lift sepi, hanya kami berdua. Kutekan tombol 7. Pintu menutup. Kupeluk dia dari belakang sambil menelangkupkan tanganku di depan perutnya. Kepalanya menyender ke belakang sehingga tercium bau rambutnya yang tebal dan ikal. Lumayan wangi, gairahku mulai merayap.
Untuk menuju lantai 7 memberikan waktu cukup bagi kami untuk bercumbu. Asik juga juga bercumbu di ruang publik begini. Dia menolehkan kepalanya, kucium pipinya lalu kugeserkan ke arah bibirnya dari pinggiran kanan. Aku ingin menyentuhkan bibirku ke kumis tipisnya. Tanganku mulai merembet ke arah buah dadanya. Dia pakai kaos putih diselimuti jas hijau seragamnya.
Kancing jas tidak dipasangkan, sehingga toketnya yang lumayan super tegak menantang-nantang. Kuremasi. Pantatnya kutekan kuat dengan burungku yang sudah mulai mengeras.
Kepalanya menggeliat-geliat sambil matanya terpejam. Kusapu bibirnya, dia memutarkan kepalanya ke belakang sambil menengadah merekah, bibirku dapat mencapai bibirnya secara penuh kini. Kami berpagut. Lidah saling menyentuh dengan pertukaran hembusan nafas dari hidung yang semakin bertekanan.
“Thing thong,” pintu lift terbuka.
Kami melepaskan pelukan karena di depan pintu berdiri dua orang. Kami belok ke kanan setelah membaca petunjuk nomor kamar di tembok depan pintu lift. Sambil jalan kurangkul pinggangnya. Kubuka pintu kamar dengan menggesekkan kunci kamar berupa kartu berlobang.
Kunyalakan lampu hotel dengan memasukkan kartu berlobang tadi di kotak yang terpasang di tembok belakang pintu. Byar. Kupandangi kumis tipis dan bulu-bulu kucingnya. Kupepet ke tembok. Kuangkat roknya sehingga melampau CD-nya, kuusap-usap pahanya. Kutekan ‘bocal’ di pangkal pahaku yang sudah semakin keras ke arah memeknya yang masih tertutup CD sambil kuangkat paha kanannya. Kuambil kedua tangannya terangkat dan kuletakkan di atas kepalanya menempel tembok. Tas tangannya terjatuh di lantai. Kupagut bibirnya kuat-kuat. Kumasukkan lidahku menyenggamai lidahnya. Dadaku kugesek-gesekkan ke toketnya yang menggunung itu.
“Shhss.. Ehhss…” begitu bunyinya. Semakin nafsu aku. Kulepas tangannya dan kusibakkan rambutnya. Kuselusuri telinga dan lehernya. Tekananku di tempat-tempat lain tak kulonggarkan sama sekali. Malah semakin menguat.
“Heemmff.. Aahh.. Sshh…” matanya mulai meredup dan bola hitamnya sudah di sisi atas. Seksi sekali. Aku harus membuang pikiran biar tidak cepat panas lalu tumpah duluan. Kuturunkan tangan kiriku menelusuri ke bawah. Kuusap-usap gundukan yang masih tertutup CD-nya. Kujilati dagunya, menengadah kepalanya. Kutengok sebentar bibirnya, lalu kujilati kumis tipisnya dari sisi ke sisi. Terus berulang-ulang.
“Ehhmmff.. Oohh.. Ehhsshh,” bola hitamnya semakin menghilang. Wajahnya merona seksi. Dadanya maju mundur berlawanan dengan pantatnya. Usapan-usapanku di gundukan memeknya terus berlangsung.
Kedua tanganku mulai menggerayangi pantatnya yang padat. Kuremas-remas lalu kubawa maju biar menekan ‘maskot’-ku sekuat-kuatnya. Posisi kaki-kakinya mengangkangi kaki-kakiku. Wow seksi sekali kalau diabadikan.
Akhirnya aku melepaskannya untuk beristirahat sambil mencari udara segar. Kami menuju ranjang. Dia melepas jas hijaunya lalu ditaruh di kursi. Aku membuka botol air mineral lalu kunyalakan rokok. Kusetel TV lalu aku menuju sisi kiri ranjang yang berdekatan dengan meja biar mudah menjangkau asbak. Aku berbaring sambil menonton TV. Dia melepaskan rok dan kaosnya, Bra dan
CD masih dikenakan lalu menyusul berbaring dan memelukku dengan posisi miring. Kepala disandarkan ke dadaku, toket menekan dadaku, dan kaki kanannya ditumpangkan di atas kaki kananku. Kuhisap rokokku satu dua. Jari-jarinya memencet-mencet hidungku. Menjawil-jawil bibirku. Lalu hidungnya digesek-gesekan ke pipiku. Kubiarkan agak lama masa gencatan senjata ini.
Tapi tangan kananku yang bebas dari batang rokok mengusap-usap pahanya yang menumpangi pahaku. Sesekali kusambut ciumannya. Aku ingin berlama-lama menikmati ritual persenggamaan ini. Tidak langsung bless bless crett creett.
Sebatang rokokku sudah habis. Kuajak dia menuju kamar mandi. Dilepasnya Bra dan CD-nya, aku lepas semua pakaianku. Kami bertelanjang menuju kamar mandi. Dalam perjalanan kuremasi pantatnya. Dia cekikikan. Dia menjamah kontolku yang sudah mulai reda dari ketegangan.
Kuputar kran shower, kutunggu sebentar dan kurasakan air sudah mulai hangat. Kubimbing dia menuju di bawah kran. Kusabuni bagian punggungnya. Bulu-bulu kucingnya nampak tegas di bawah guyuran air. Seluruh tubuhnya memiliki bulu kucing, halus dan panjang.
Dengan lembut kusabuni mulai dari tengkuknya. Menggelinjang kegelian sehingga terkikik-kikik. Kutelusuri sampai ke pantatnya. Pas di belahan pantatnya sengaja sabun kususupkan. Cekikikan lagi. Kusabuni pahanya sampai ke betisnya. Kubalikkan tubuhnya. Lehernya kugosok-gosok. Terangkat-angkat pundaknya kegelian. Tubuhnya dipenuhi busa. Kuangkat tanganya lalu kusapu
Ketiaknya dengan busa. Bulu kucing di ketiaknya lebih tegas dari wilayah lainnya. Belum dicukur bulunya. Ingin kujilat kalau aku enggak mencoba menahan diri. Buah dadanya kusabuni dengan cari melingkar dan meremas.
Tangannya yang tadi diangkat tiba-tiba turun bertumpu ke pundakku. Mencoba menahan birahi yang terbangkit. Lalu tanganku meluncur ke perut sebelum dia terbangkit lebih jauh. Masalahnya kalau dia mendesah-desah aku juga ikut hanyut. Giliran kugosok selangkangannya, sengaja tidak kusentuh veginya, lalu sampai ujung kakinya.
Selesai kupenuhi tubuhnya dengan busa, kubilas sampai habis busa yang menempel di tubuhnya. Kudekap dari belakang ingin menikmati wangi sabun sambil kuremas-remas teteknya. Tangan kanannya menjangkau ke belakang mencari-cari ‘my johnny’. Tangan kananku meremas tetek kanannya, tangan kiriku turun membekap gundukan veginya lalu kuusap-usap. Gairah kami mulai mendaki. Kontolku dikocoknya pelan. Jari-jariku mulai menekan-nekan pangkal bibir vegi bagian atasnya.
“Oohsshh.. Oohhss…” erangan kami mulai menggema di toilet. Semakin kuat kocokannya, semakin cepat tekanan-tekananku di pangkal veginya itu. Lalu kujebloskan jariku mencari itilnya.
“Yyaa.. Masshh.. Dii.. Ssiittuu.. Ceeppettinnh.. Oohh.. Sshh,” mulai meningkat pacuan hormon libidonya.
Meskipun pegel jariku mengocok itilnya namun kuberjuang terus sampai kubuat dia merem melek, kepalanya tertunduk dan tertegak bergantian.
Pantatnya menekan ke belakang semakin kuat sementara pegangan di kontolku dilepasnya. Dia sudah tenggelam dalam kenikmatannya sendiri. Biarlah dia duluan yang kupuaskan.
“Yaahh.. Eegghh.. Terussh.. Teruussh.. Masshh.. Ouuhss”.
Kontolku kujepitkan di selangkangannya. Aku nggak tahan, kucari lubang veginya lalu kuparkir di sana. Cairan sudah mulai memenuhi rongganya. Pantatnya mulai dimaju mundurkan. Kutahan dulu. Aku ingin dia orgasme duluan. Kupercepat kocokanku. Tangannya memegang tembok sambil menungging-nungging.
Kesadarannya sudah lenyap dilanda gelombang birahi yang kupersembahkan melalui jari-jariku. Setelah 15 menit tiba-tiba dia terpekik dan mengejang hebat.
“Oohhgg…”
Dirinya terbujur lemas setelah mencapai orgasme yang pertama sambil menyender ke tembok setelah menyemprotkan cairan di liang veginya. Kedutan-kedutan veginya yang cepat dan kuat menyebabkan aku ingin segera menyetubuhinya. Kugenjotkan kontolku maju mundur yang dari tadi sudah parkir di sana dengan perlahan. Kunikmati detik demi detik gesekan penuh antara permukaan kulit kontolku dengan kulit veginya yang masih kuat erat mencengkeram. Alangkah lezatnya.
Kumenunduk untuk menjangkau teteknya yang masih tegang.
“Sshh.. Shh…”
Mulai naik lagi birahinya. Tubuhnya bergoncang maju mundur seiring sodokan-sodokanku. Kusenggamai dia dari belakang selama 5 menit sebelum akhirnya kubalikkan dan kunaikkan dipangkuanku. Kuangkat lalu kumasukkan kontolku di veginya, kugenjot lagi dalam posisi berdiri. Kaki-kakinya membelit melingkari pinggangku. Kudekap erat sehingga tetek-teteknya menekan dadaku kuat-kuat. Kusedot lehernya dengan nafsu. Kugenjot, kupompa, kusodok sehingga dia tersentak-sentak naik turun. Matanya telah hilang di dalam pelupuknya yang menutup. Rambutku dijambak kuat-kuat.
“Aahh.. Ahh.. Ahh…” semakin kuat jambakannya. Aku semakin gregetan melihatnya telah kalap tenggelam dalam luapan birahi. Kujilati putingnya. Semakin liar kepalanya menekuk-nekuk ke samping. Lepas tangannya dari rambutku. Tangannya menjambaki rambutnya sendiri sekarang. Semakin kuat sodokanku, seolah-olah kuingin menembuskan kontolku sampai ke perutnya.
Nafas-nafas kami sudah berat dan terengah keras pertanda jantung sedang bekerja keras (penelitian mengatakan kalor yang dikeluarkan orang bersenggama melebihi olah raga renang). Keringat kami banjir hebat bercampur air mandi kami. Sambil masih terbenam kontolku di veginya, kugotong dia menuju ranjang.
Kurebahkan, kuangkat kakinya di atas pundakku, kupompa kembali liang memeknya yang sudah diluberi cairan kewanitaannya yang sudah amat sangat beceknya.
“Clop.. Clop.. Clop…” merembes cairannya membasahi sprei. Kutopangkan tangan-tanganku di kasur. Kaki-kakinya semakin tertekuk, bahkan paha-pahanya menyentuh perutnya sendiri. Kugenjot habis dalam posisi aku berdiri miring. Keringatku mengucur tumpah menimpa tubuhnya. Gila, kuat sekali aku kali ini. Sudah hampir setengah jam lebih aku belum keluar juga.
Aku naik ranjang, kumiringkan posisinya lalu kuangkat paha kanannya. Sekarang aku leluasa memasukkan kontolku dari belakang.
Kusenggamai dari belakang dalam posisi berbaring. Teknik ini baru kupraktekkan sekarang. Aku melihat film bokep di mana kontol gede dan panjangnya si cowok menghunjam dari belakang, sangat panjang sehingga masih tersisa separuh meskipun yang separuh sudah dalam menyeruak di dalam vegi ceweknya. Aku horni sekali melihatnya. Sambil kuhujami memeknya, kuremasi teteknya, kuciumi punggungnya. Gila, nikmmaatt sekalee.
“Yeesshh.. Oogghh.. Yyesshh.. Oouughh…” lenguhan-lenguhan panjangnya menandai orgasmenya bakalan datang lagi. Aku jadi ikut terangsang dan terpacu juga untuk segera mencapai klimaks. Tangannya kalang kabut mencengkeram sprei. Ranjang kami berdentam-dentam menghantam tembok. Tetangga kamar sebelah pasti akan terganggu sekali dengan kebisingan olah asmara kami. Namun kayaknya malam ini hotel sepi dari tamu. Semoga tidak ada tamu di sekitar.
Dan, “oouugghh.. Aarrgghh…” akhirnya kami bersamaan menyemburkan cairan dari alat-alat reproduksi kami seolah berliter-liter banyaknya. Akhirnya kami lemas dan letih tak terperi sampai seperti lumpuh rasanya.
Dengkul-dengkulku benar-benar seperti terlolosi. Nafasku jadi panjang-panjang kayak ikan megap-megap kekurangan zat asam. Tak tertahankan akhirnya kami jatuh tertidur sampai pagi.
[Selesai Sudah]
Pagi-pagi jam 7 sebelum pulang ke rumah untuk bersiap-siap ke kantor baru kujawab SMS pacarku minta maaf bahwa semalam aku sudah ketiduran sehabis ngobrol sama teman lamaku sampai larut. Memang pacarku tahu kebiasaanku dulu suka ngobrol dengan kawan-kawanku sampai larut.
Sebenarnya kejadian-kejadian yang baru kualami di luar dugaan, hanya sekadar iseng. Bahkan aku masih tidak percaya kalau aku bisa seberani itu. Selama ini aku tidak berani menyapa cewek asing di tempat umum. Malu.